Sepasang Lulugu Biru by Benny Rhamdani

Sepasang Lulugu Biru by Benny Rhamdani.   “Heh! Gue punya kejutan buat elo.”  Rara mendongakkan kepala dari komik Asterix-nya. Dilihatnya Ludi masuk dengan senyum khasnya. Membuat Rara urung melemparkan beker di atas meja karena kekurangajaran cowok itu seenak hati masuk ke kamar. Sudah berulang kali sebenarnya Rara mengingatkan bahwa Ludi bukan lagi anak kecil dan mestinya mengerti yang namanya privacy.
“Simpan dulu komik ini. Nggak bakal lari!” paksa Ludi. Tangannya menarik komik yang dipegang Rara.
Rara menguntit Ludi. Semoga kali ini kejutannya bukan yang aneh-aneh. Tahun lalu Ludi memberi kado ulang tahun yang membuat mukanya merah. Setengah lusin buku pengetahun tentang seks! Mana Rara membukanya di depan puluhan pasang mata lagi.
Ludi terus berjalan ke luar rumah. Ia baru berhenti di depan VW kodok biru tosca, kado ulang tahun ke tujuhbelas Rara dari Papa dan Mama sebulan lalu. Ludi membuka pintu mobil.
“Nah, perhatiin deh di dalam. Ada yang berubah, kan?” tunjuk Ludi sambil tetap tersenyum. Ia yakin kali ini Rara akan terkejut bercampur senang karenanya.
Rara memperhatikan satu persatu ruang dalam mobilnya. Jok kursi, koleksi kaset, dan tumpukan komik sudah ada dari kemarin. Tapi… mata Rara membelalak sewaktu melihat rangkaian bunga imitasi yang menggantung di kaca spion dalam mobil. Dadanya serasa sesak.
“Ludi! Elo buang kemana Lulugu Biru gue? Trus siapa suruh elo masang bunga jelek itu di dalam mobil?” teriakan Rara menyengat kuping Ludi. Untung nggak ada benda yang bisa dilempar ke arah Ludi.
Ludi buru-buru masuk ke mobil mengambil bunga plastik yang ia gantung. Sementara didengarnya Rara terus memakinya habis-habisan.
“Elo emang nggak tau diri banget! Nggak tau malu! Pokoknya jangan temui gue sebelum mengembalikan Lulugu Biru itu!”
“Lulugu Biru?” tanya Ludi. Ia bingung karena omelan Rara bercampur dengan mata yang basah.
“Boneka biru yang elo culik itu, bego!” Rara cepat membalikkan badannya dan menghamburkan diri ke dalam kamar.
Boneka yang berjajar rapi di dekat tempat tidur tak mampu menghibur kesedihan Rara. Buat Rara, lebih baik ia kehilangan semua boneka mahal di kamarnya ketimbang Lulugu Biru. Boneka itu memang tampak tak berharga. Cuma sekecil telunjuk tangan Rara, dibuat dari kain satin berwarna biru. Tapi kenangan manis yang menyertai Lulugu Biru tak akan pernah dilupakan Rara. Tak pernah!
Rara masih ingat saat sembilan tahun lalu ia selalu merengek agar Bunda Ris mendongeng kisah Lulugu Biru setiap malam. Ia juga tak bisa melupakan saat penghuni panti asuhan lainnya memandangnya iri karena Bunda Ris menghadiahinya sepasang boneka Lulugu Biru.
“Sengaja Bunda memberikan sepasang boneka ini hanya padamu. Karena cuma kamu yang suka kisah Lulugu Biru,” kata Bunda Ris saat memberikan sepasang Lulugu Biru. “Jaga baik-baik keduanya.”
Rara pun masih ingat saat ia menangis seharian –dua hari sebelum kepindahan Rara ke rumah Mama dan Papa yang mengangkatnya– karena satu dari sepasang bonekanya hilang. Itu sebabnya ia bertekad menjaga sisa satu boneka yang ia miliki.
“Rara, kamu nangis?” suara Mama yang menyembul di pintu kamar mengejutkan Rara.
Rara menyeka matanya. Ia pernah janji dalam hati nggak akan pernah nangis di depan Mama lantaran akan membuatnya sedih.
“Mama dengar kamu marah-marah tadi,” ujar Mama seraya mendekati Rara. Dibelainya lembut tangan Rara.
“Ludi cari gara-gara lagi, Ma. Lulugu Biru yang Rara gantung di mobil diilangin dia,” tutur Rara. Ia menyesal memindahkan boneka itu dari kamarnya.
Mulanya lantaran beberapa hari ini ia sering bepergian dengan mobilnya, maka Rara merasa perlu memindahkan Lulugu Biru, agar senantiasa berada di dekatnya.
“Tapi nggak usah sampai maki-maki Ludi gitu, Ra. Jangan sampai kesalahannya nggak kamu maafin.”
“Ini kesalahan besar, Ma. Cuma Lulugu Biru yang bisa menentramkan Rara bila teringat panti, Bunda Ris, dan…” Rara memutus kalimatnya begitu melihat mata Mama. Mama memang tak pernah mau mendengar Rara mengenang panti itu.
“Ludi terlalu baik untuk kamu musuhi walau dengan kesalahan sebesar apapun, Ra. Ingat siapa yang jadi teman perjalananmu pulang pergi ke sekolah sejak SD sampai sekarang? Siapa yang membelamu kalau teman-teman mengejek kamu anak angkat, Ra? Siapa …”
Rara membiarkan Mama menghitung-hitung kebaikan Ludi. Sementara pikirannya tertuju pada Lulugu Biru yang hilang.
*****

boneka biru

Ludi termangu menatap boneka koyak di tangannya. Ia bingung lantaran Rara nggak pernah cerita bahwa boneka itu amat berarti. Padahal selama ini hampir nggak pernah ada rahasia antara mereka.
Aku harus segera mengembalikan boneka ini biar muka Rara nggak cemberut lagi, batin Ludi. Yang sudah-sudah, Rara sering menghukumnya bila ia marah. Dan itu sangat tak diinginkan Ludi.
Ia mengingat-ingat kepada siapa bisa minta tolong membetulkan Lulugu Biru yang koyak. Rasanya mustahil memperbaikinya tanpa menggantinya dengan yang baru. Untung Ludi ingat saudara sepupunya yang kuliah di fakultas seni rupa. Sore itu juga ia bergegas menuju studio tempat Wibi sering berkumpul.
Ludi senang sewaktu tiba di studio langsung bertemu Wibi. Tanpa basa-basi ia langsung mengajukan permohonan. “Tolong deh, Bang Wibi, boneka ini kalo bisa dibetulkan secepatnya. Abis bingung minta tolong ke siapa lagi nih,” kata Ludi dengan muka memelas. Kalau nggak gitu, ia nggak yakin Wibi mau menolong.
“Aduh, Di, kalo materi kain gini gue nggak bisa. Kecuali boneka ini dibuat dari gips, kayu, atau keramik,” timpal Wibi setelah mengamati boneka yang disodorkan Ludi. Tapi Wibi tak tega membiarkan sepupunya itu tampak cemas. Ia berjalan mendekati temannya yang tekun mendesain mainan anak. “Res, elo bisa membetulkan boneka ini nggak?”
Resnu yang terusik mulanya nggak ingin menghiraukan, namun mendadak merubah raut mukanya saat melihat boneka di tangan Wibi. Tangannya langsung meraih boneka itu.
“Boneka siapa ini?” tanya Resnu cepat. Keningnya berkerut.
“Aku nggak tahu. Sepupuku yang bawa. Barangkali punya adik pacarnya. Kenapa memangnya?” Wibi bingung melihat reaksi Resnu.
Resnu mendekati Ludi. Ia memperhatikan dengan seksama cowok yang duduk dengan pandangan penuh harap kepadanya. “Elo tau nama boneka ini?” tanya Resnu seperti orang yang sedang menguji.
“Ya. Lulugu Biru,” Ludi menyebut nama yang diingatnya.
“Gue sih bisa aja betulin boneka ini asal elo mau janji.”
“Janji apa?” Ludi belum mau memberi kepastian.
“Ngenalin gue ama pemilik boneka ini.” Di benak Resnu langsung terlintas bayangan seorang anak kecil dengan mata bundar dan suara tangis yang menggemaskan. Seperti apakah dia kini? Cantikkah?
Ludi mengerutkan keningnya. Ia yakin Resnu sudah mengenal Rara dari cara Resnu memandang Lulugu Biru. Tapi apa hubungan mereka? Ludi yang mengenal semua teman Rara jadi bingung.
“Gimana?” Resnu menyentak Ludi.
Ludi mengangguk tanpa ragu-ragu. “Kapan kira-kira selesainya?”
“Besok sore gue ke rumah elo. Gue jamin bonekanya udah jadi,” jawab Resnu sambil senyum.
Senyum Ludi jauh lebih mengembang.
*****

Resnu nggak pernah bisa ngelupain Tara. Si Mata Bundar yang sering minta perlindungannya. Resnu berdoa setiap malam agar mereka nggak dipisahkan. Tapi memang ada doa yang dikabulkan dan nggak. Ia amat kecewa begitu tahu Tara akan diangkat oleh sepasang suami istri kaya.
“Kamu jangan sedih, masih banyak Tara lain yang bisa kamu jadikan adik,” hibur Bunda Ris setelah kepergian Tara.
“Apakah Resnu bisa mendapatkan alamat Tara, Bunda?” tanya Resnu. Ia ingin sekali bisa menemui Tara suatu saat nanti.
“Itu melanggar aturan, Resnu. Orangtua angkat Tara nggak menghendaki hal itu. Dan mungkin, Tara pun sudah ganti nama. Berdoalah agar suatu hari Tuhan mempertemukan kalian.”
Ah, kalo begitu biarkan Tara yang kelak mendatanginya. Resnu nggak akan pindah ke rumah siapapun karena ia sudah terlalu besar untuk diadopsi. Ia memang nggak tahu kalau Tara kemudian menjelma menjadi Rara, lalu pindah dari kota kecil itu ke Bandung.
Namun pertemuan yang sudah di atur Tuhan memang tak ada yang menduga. Setelah sekian lama menunggu, begitu lulus SMU ia memutuskan kuliah di Bandung dengan biaya sendiri. Resnu mencoba mencari Tara di sela perjalanan hidupnya. Siapa sangka ada Ludi, penghubungnya.
Buru-buru Resnu meninggalkan kamar kostnya begitu melihat matahari sore. Kedatangannya ternyata amat diharapkan Ludi.
Seharian ini Ludi sudah uring-uringan diperlakukan Rara. Dimulai pagi tadi saat Rara berangkat ke sekolah duluan tanpa menunggunya. Dan di kelas ia duduk ke ujung belakang menjauhi Ludi. Pulangnya, Ludi kehilangan jejak Rara. Benar-benar komplit hukuman Rara untuknya.
Maka nggak ada yang menggembirakan Ludi saat ini selain melihat Lulugu Biru dalam keadaan seperti semula.
“Gue udah nepatin janji. Giliran elo yang nepatin janji sekarang,” ungkit Resnu setelah membiarkan Ludi girang sesaat.
Ludi diam. Ia sendiri masih bingung apakah Rara akan menerima dirinya atau nggak. Yang penting memang harus dicoba dulu. Bergegas ia mengajak Resnu ke rumah sebelah. Dari pintu pagar ia melihat Rara sedang bersiaps-siap membersihkan VW-nya.
“Rara!”
“Heh, ngapain elo ke sini? Bawa-bawa orang segala! Udah elo temukan belum Lulugu Biru?” hardik Rara sambil bertolak pinggang. Tangannya menghempas selang yang dipegang.
“Nih, boneka elo,” Ludi menyerahkan Lulugu Biru kepada Rara yang tetap memasang wajah angker. “Due udah dimaafin, kan?”
“Enaknya! Nggak segampang itu!” Rara berteriak. Ia membalikkan badannya dan siap masuk ke rumah.Tapi telinganya menangkap suara Resnu.
“Tara …Tara…” Resnu yang terdiam beberapa saat terpana melihat sosok remaja Rara, akhirnya bersuara didorong kerinduannya.
Rara menoleh. Nama itu memang sudah lama tak didengarnya, tapi kenangan di panti tak pernah dilupakannya. Juga nama itu. Nama masa kecilnya di panti. Ia mengamati cowok yang datang bersama Ludi. Siluet masa lalu mengungkit kenangan pemilik dagu dengan gurat luka yang pernah Rara gores dulu.
“Kak … Resnu?” Rara ragu-ragu sejenak. Tapi begitu hatinya yakin ia langsung menggamit tangan Resnu tanpa sungkan. Rara bahagia banget menemukan sepenggal perjalanan hidupnya yang hilang. “ Masuk yuk, Kak Res. Iiih, gimana ceritanya Kak Resnu bisa tahu Rara di sini?”
“Ludi yang nggak sengaja mempertemukan kita. Loh, kamu nggak ngajak Ludi masuk?” Resnu bingung karena Rara tak mengacuhkan Ludi. Spontanitas Rara bergayut manja di lengannya pun membuat rikuh.
“Ah, dia sih udah biasa nyelonong. Kalo mau masuk, ya masuk aja!”
Ludi mengikuti suara hatinya masuk ke rumah tanpa berpikir lagi. Ia ingin tahu reaksi Rara berikutnya.
“Kak Ludi mau minum apa? Masih suka susu cokelat?” tanya Rara sesaat sebelum berteriak memanggil Bi Uti.
“Kamu masih ingat minuman kesukaanku. Padahal kamu masih terlalu kecil waktu itu,” ujar Resnu kagum.
“Ih, gimana bisa lupa dengan Kak Resnu? Yang suka ngebelain Rara kalo diganggu Idon, suka metikin mangga, suka…”
“Suka bikin kamu nangis sampai menjerit-jerit,” timpal Resnu. “Lantas aku ikut nangis karena dijewer Bunda Ris.”
Keduanya tertawa dan tertawa. Sesekali mereka menyeruput susu cokelat buatan Bik Uti. Obrolan tak juga beranjak dari kenangan masa kecil mereka. Lambat laun Ludi menyadari ia berada pada tempat yang salah.
“Ra, gue pamit duluan. Ada yang mesti gue kerjakan di rumah,” pamit Ludi beringsut pulang.
Tak ada komentar apa-apa dari Rara. Cuma ucapan terima kasih Resnu atas kebaikan Ludi mempertemukannya dengan Rara.
Dari kamarnya di balkon rumah, Ludi melihat Resnu pulang agak larut malam diantar Rara. Ludi yakin dengan kegembiraan di hati Rara kini, cewek itu akan manis kembali kepadanya besok pagi.
*****

Apa yang diharapkan Ludi semalam ternyata nggak dikabulkan sepenuhnya. Memang Rara sudah mau diajak berangkat bareng ke sekolah Rara. Tempat duduk Rara pun kembali ke asal, di depan meja Ludi. Cuma Rara masih irit mengeluarkan kalimat dari mulutnya.
Ludi nggak berani mengusikya, takut Rara sewot lagi. Yang penting ia bisa kembali dekat dengan Rara. Maka begitu bel pulang sekolah berbunyi, Ludi langsung mendekati Rara agar nggak kehilangan jejaknya lagi. Entahlah … ia kini sering merasa tersiksa bila berjauhan dengan Rara.
“Jadi nanti sore kita ke pameran buku?” tanya Ludi mengingatkan Rara pada janji empat hari lalu.
“Kayaknya sih nggak, deh,” Rara tak yakin. Langkahnya semakin cepat memburu pintu gerbang. Bahkan Rara harus menubruk beberapa orang.
Ludi terkejut sewaktu melihat Rara menyeberang jalan, menghampiri seorang lelaki dengan motor gedenya. Resnu! Rupanya Rara sudah janjian akan dijemput. Ludi menelan ludahnya. Ia cuma mengangguk ketika Resnu melambaikan tangan ke arahnya. Sekejap kemudian mereka sudah hilang.
Ludi terpaksa pulang sendirian. Pantas tadi pagi Rara nggak mau membawa VW-nya. Malah ngotot ingin naik angkot.
Di rumah Ludi masih berharap Rara ingat janjinya ke pameran buku bersama. Tapi hampir larut malam dari kamarnya Ludi melihat Rara baru pulang diantar Resnu. Ludi baru tahu ke mana mereka pergi ketika bertanya esok paginya.
“Ke Sumedang. Elo tau kan dulu gue diangkat dari kota kecil itu,” tukas Rara ketus.
“Tapi elo kan bisa pulang dulu.”
“Elo jangan sok ngatur. Gue udah minta ijin Mama sebelumnya. Elo pikir gue nggak tahu aturan!” Rara memang bisa meyakinkan Mama bahwa kenangan masa kecilnya nggak perlu ditutupi lagi.
Ludi terdiam. Ia nggak mau bertengkar lagi. Apalagi mereka lagi di angkot. Seperti yang diduga Ludi, pulang sekolah ternyata Rara dijemput Resnu. Itu terulang terus esok, esok, dan esoknya lagi. Nyaris nggak ada waktu Rara tersisa untuk Ludi. Ia jadi menyesal dengan tindakan konyolnya menukar Lulugu Biru.
Padahal sewaktu Rara menginjak usia tujuhbelas Ludi sudah berniat menjalin lebih manis lagi hubungan mereka. Tak ada gadis lain yang memikat hatinya selain Rara.
Apakah Rara dan Resnu saling jatuh cinta? Itu nggak mustahil. Apalagi mengingat kebersamaan mereka yang berlebihan. Bukankah hasrat yang timbul di hati gue juga karena kebersamaan? Kalo memang demikian, gue harus melupakan hasrat di hati gue. Asalkan Rara bisa bahagia karenanya, Ludi membatin.
Cuma sewaktu ia ngobrol dengan Wibi, kegentaran hatinya kembali terusik.
“Resnu pacaran dengan Rara? Ah, gue rasa cuma temporal. Yang udah-udah Resnu nggak pernah serius dengan cewek lebih dari sebulan,” tutur Wibi datar.
Cerita itu membuat Ludi gelisah melebihi sebelumnya. Gimana kalo Resnu benar-benar ninggalin Rara? Gimana kalo hati Rara terluka? Ludi nggak bisa menerima hal itu. Tapi usaha apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Rara pasti akan bilang Ludi kekanak-kanakan, bila menceritakan reputasi Resnu yang ia ketahui dari Wibi. Lagi pula agak sulit membuka percakapan dengan Rara pada posisi yang tak menguntungkan kini.
Sore sedang hujan sewaktu Ludi menemukan satu cara yang ia yakini keberhasilannya. Ia harus menemui Resnu.
*****

Resnu pernah melakukan kesalahan terhadap Rara di masa kecilnya. Karenanya ia amat berharap bisa berjumpa dengan Rara. Tapi begitu pertemuan digariskan Tuhan, Resnu masih perlu waktu untuk mengakui dosanya.
Kini, di sebuah kafe yang berdiri di jalan Dago Resnu merasa kesempatan itu telah tiba.
“Maafkan aku sebelumnya, Ra. Aku ingin mengakui kesalahan kecilku dulu. Aku … akulah yang mencuri salah satu boneka Lulugu biru milikmu. Waktu itu lagi bingung banget karena merasa sedih bakal kehilangan kamu. Karena aku nggak tahu kenangan apa yang akan kuperoleh, maka kucuri diam-diam bonekamu,” tutur Resnu hati-hati.
Rara terpana. Matanya menembus kaca jendela kafe. Di luar hujan turun. Ia ingat hujan pun turun sewaktu ia menangis saat salah satu Lulugu Biru. Rara tak pernah menyangka bahwa bonekanya itu telah dicuri oleh orang yang telah dianggapnya sebagai kakak. Ludi yang konyol itu juga mengambil Lulugu Biru, tapi Ludi tak pernah tahu makna boneka itu bagi Rara. Sementara Resnu tahu betapa berartinya boneka itu buat Rara.
“Kamu nggak mau maafin aku, Ra?”
Selalu perlu waktu bagi Rara untuk memberi maaf kepada orang lain. Sekalipun itu kepada orang yang amat dekat dengannya. Rara merasa hidungnya tersumbat tiba-tiba. Ia langsung pergi ke toilet. Namun ketika kembali ke tempat duduknya, ia tak menemukan Resnu. Ada secarik kertas di dekat cangkir kopi susu Resnu.
Ra, aku harus ke Jakarta. Kuharap waktu seminggu cukup untuk berpikir dan mau memberiku maaf. —Resnu—
Resnu mengendarai kencang motornya tanpa memedulikan hujan. Ia harus segera konsentrasi pada rencana pamerannya di Jakarta. Resnu berusaha melupakan sementara beban yang mengganjal di hatinya.
Sampai di tempat kostnya, Resnu terkejut mendapatkan Ludi menunggu di depan kamar kostnya. Ia segera mengajak Ludi ke dalam kamar. Resnu mencoba menebak maksud kedatangan Ludi sambil mengganti pakaiannya yang basah.
“Bang Wibi bilang Kak Resnu akan ke Jakarta besok. Makanya gue langsung ke sini,” kata Ludi langsung.
“Pasti penting. Soal apa, Di?” tanya Resnu langsung. Pengalamannya mengajarkan ia tak perlu menutup-nutupi satu hal.
“Soal Rara. Tepatnya soal hubungan Rara dengan Kak Resnu.”
Resnu tersenyum. Cowok didepannya tampak cukup kuat mental untuk mengutarakan kegelisahannya. “Kami memang akrab. Tapi jangan elo salah tafsirkan hubungan kami. Sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun gue nggak akan merubah pendirian gue. Gue hanya mengangap Rara sebagai adik. Nggak pernah lebih,” ucap Resnu kemudian.
Ludi menghela nafasnya. Ia jadi malu dengan prasangkanya.
“Dan elo, Di? Elo mencintai Rara, kan? Sudah gue baca dari mata elo sejak pertemuan pertama kita. Sayang elo terlampau rapuh. Elo kurang mempertegas sikap dan posisi elo sebagai cowok … ”
“Kak Resnu tahu itu?” Ludi melupakan tingkat kedewasaan dan pengalaman Resnu.
“Dari cerita-cerita Rara tentang elo. Hanya elo yang sering ia ceritakan selama kami berduaan. Sayangnya elo nggak nyadar. Rara bukan cuma menginginkan seorang pengawal, tapi juga orang yang bisa ngebimbingnya tanpa gentar dengan kemanjaannya itu. Hal itu yang diharapkan Rara dari elo. Percaya deh … hanya elo yang ia cintai,” Resnu berusaha membesarkan hati Ludi.
Ludi berusaha mencerna kalimat Resnu.
Sesungguhnya, Resnu tak sejauh itu tahu perasaan Rara terhadap Ludi. Tapi apa salahnya ia membantu Ludi. Paling nggak menyambung kembali ikatan mereka yang sempat goyah lantaran kehadirannya. Resnu sadar Rara memperalatnya untuk menghukum Ludi, tapi Rara kurang pandai menyembunyikan perasaannnya sehingga kerap bicara mengenai Ludi di depan Resnu.
Ludi tak bisa membuka mulut. Jadi betapa bodohnya ia selama ini. Larut dalam ikatan persahabatan sejak kecil sehingga tak menyadari adanya tuntutan yang berbeda dalam ikatan tali kasih.
“Ludi, gue minta tolong serahkan boneka ini pada Rara. Gue nggak sempat lagi menemuinya besok.” Tahu-tahu Resnu menyerahkan sebuah boneka yang diambilnya dari laci.
“Loh Lulugu Biru ini kan udah dikasih ke Rara seminggu lalu?” Ludi bingung.
“Biar Rara yang nanti jelasin. Heh … elo udah pernah denger dongeng Lulugu Biru dari Rara?”
Ludi menggeleng.
“Dongeng komplitnya aku kurang ingat. Secara garis besar, itu kisah tentang seorang puteri raja yang diberi hadiah oleh sang peri biru. Hadiah itu sepasang boneka bernama Lulugu Biru. Suatu hari salah satu bonekanya hilang. Raja mengadakan sayembara, bagi siapa yang menemukan boneka itu akan menjadi pangeran. Ternyata boneka itu hilang di istal istana. Penjaga kuda yang memang sahabat sang puteri beruntung menemukan boneka itu. Ia akhirnya menjadi pangeran …”
Kisah yang indah, Ludi membatin. Ia jadi ingin segera menyerahkan Lulugu Biru di tangannya kepada Rara. Dan menjadi pangeran di sisi Rara!
THE END