Takdir bag 19 by Tahniat

Takdir bag 19 by Tahniat. Jodha sebenarnya tahu harus bagaimana. Dia hanya  tidak yakin mampu melakukannya. Dalam pandanganya, sebuah rumah tangga akan berjaya di bina jika ada cinta. Dengan cinta  dua pendapat yang berbeda bisa di satukan sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan. Jodha menimang hatinya, “apakah aku mecintai jalal?”  Jodha merasa dirinya tidak lagi membenci Jalal, tapi juga tidak menyintainya. Tapi kalau sedikit rasa suka….mungkin ada. Benaknya berkata, “hanya sedikit? lalu atas alasan apa kau kemarin menciumnya dengan begitu bergairah? Dan kenapa ketika dia membopong mu kau merasa damai? Kenapa ketika dia bersikap baik padamu kau terharu?” Jodha blank, tak tahu atau pura-pura tak tahu akan jawaban dari semua perasaan itu. Yang dia tahu hanya satu, ketika Jalal melakukan kontak fisik denganya, ada getaran aneh yang merambati tubuhnya, getaran yang kemudian menciptakan debaran-debaran aneh di dadanya.

Sudah cukup lama, Jodha bersantai di sofa. Jodha bangkit dari duduknya dan hendak pergi kekamarnya. Dia sudah melangkah sampai anak tangga ketiga, saat dia menyadari, kakinya sudah tidak terasa sakit lagi. Ramuan dari Moti ternyata sangat mujarab. Jodha tersenyum gembira.

Hari itu, berlalu begitu begitu saja. Petang menjelang malam, di bantu oleh Moti, Jodha memyiapkan makan malam untuk dirinya dan Jalal. Tapi sayang setelah semua makanan siap dihidangkan, Jalal menelpon. Jodha dengan segera mengangkat telpon itu. Dari seberang terdengar suara Jalal yang memberitahunya kalau malam ini, dia akan pulang larut malam karena ada meeting. Dia menyuruh Jodha makan duluan dan tidak usah menunggu dirinya karena dia akan makan di luar bersama koleganya. Setelah Jalal menutup panggilanya, Jodha menghela nafas kecewa. Melihat itu moti bertanya, “kenapa Jodha?” Jodha menjawab, “Mr Jalal ada meeting di luar, dia tidak pulang untuk makan malam.” Moti turut merasakan kekecewaan yang di rasakan Jodha. Setelah menyisihkan sedikit hidangan untuk dirinya sendiri, Jodha menyuruh Moti membawa hidangan yang baru mereka masak kebelakang untuk di makan bersama teman-temannya.  Moti mengangguk.

Jodha menyantap makan malamnya, Moti membereskan dapur. Setelah Jodha selesai makan, Moti pun selesai bebersih. Sambil membawa nampan berisi makanan, Moti berpamitan dan mengucapkan selamat malam. Jodha membalas salam moti tapi menahanya sebentar agar tidak pergi. Jodha berkata, “Moti, besok pagi aku ingin pergi kekuil bersamamu. Biasanya kau pergi jam berapa?” Moti menjawab, “biasanya aku pergi jam 5.00.” Jodha mengangguk setuju, “baiklah, kalau begitu. Besok pagi kau ketuk pintu kamarku ya…” Moti mengangguk bersemangat. Setelah tidak ada lagi yang akan di katakan, Motipun beranjak pergi.

Jodha sudah berbaring di ranjang, ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Jodha melirik jam dinding. Hampir tengah malam.  Jodha bergegas sturun dari ranjang dan berjalan ke pintu dengan rasa heran. Selama dia menempati kamar ini, belum pernah dia mendengar pintunya di ketuk. Jodha menduga kalau itu pasti Moti. Karena kalau Jalal, dia tak mungkin menggunakan pintu depan. Hobinya adalah menyergap masuk dari pintu penghubung.  Suara ketukan terdengar lagi. Jodha segera memutar kunci dan membuka pintu. Jalal berdiri di depan pintu dengan seulas senyum terukir di bibinya. Jodha dengan jengah membalas senyuman itu.

Jalal menatap kaki Jodha dan bertanya, “bagaimana kakimu?” Mendapat pertanyaan yang tidak di duganya itu, dengan sedikit rasa haru, Jodha menjawab. “sudah sembuh.”  Jalal tidak percaya. Dia menyuruh Jodha melangkah bolak-balik di depannya. Dengan sedikit enggan Jodha melakukan apa yang di mintanya. Melihat Jodha tidak lagi pincang, Jalal tersenyum puas. Lalu dia mengulurkan paper bag warna merah dengan logo sebuah bank ternama di India ke arah Jodha sambil berkata, “aku harap kau bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.” Jodha menerima paper bag itu. Dan melihat isinya. Sebuah buku tabungan, sebuah kartu kredit dan sebuah kartu Atm. Semua atas nama Mrs. Jalaluddin Muhammad. Jodha tak tahu harus berkata apa, bukannya mengucapkan terima kasih, Jodha malah bertanya, “aku tidak tahu kalau kita bisa membuka rekening di bank hanya dengan menggunakan nama gelar. Apakah orang bank tahu, kalau Mrs Jalaluddin Muhammad yang di maksud di sini adalah aku?”

Jalal tersenyum, “apa yang membuat mereka tidak tahu? Pernikahan kita telah diumumkan di media massa. ” Jodha terngangah tak percaya, “kenapa aku tidak tahu? Tidak ada orang yang datang mewawancarai aku.” Jalal pura-pura terkejut, “benarkah?” Jodha tahu kalau dia sedang mempermainkannya. Kalau urusan penting seperti membuat rekening bank saja dia tak membutuhkan kehadirannya, apa lagi hanya sebuah berita. Tanpa menunggu jawaban Jodha, Jalal berkata, “sudahlah, aku sangat letih, permisi. Selamat malam.” Setelah berkata begitu, Jalal melangkah ke kamarnya. Tapi sebelum jalal jauh, Jodha memanggilnya. Jalal menoleh dengan kening berkerut, “apa?” Jodha denga tulus berkata, “terima kasih.” Jalal tersenyum dan mengangguk, “tidak apa-apa. Sudah tanggung jawabku untuk memenuhi kebutuhanmu. Kau istriku!” Entah disengaja atau tidak, saat mengatakan ‘kau istriku’, Jalal memberi tekanan pada kata ‘istri’. Setelah berkata begitu begitu Jalal menuju ke kamar dan segera lenyap di balik pintu. Jodha sambil tersenyum heran campur senang kembali masuk kekamarnya dan mengunci pintu.

Setelah menyimpan buku tabungan, kartu ATM dan karu Kredit dalam laci, Jodha meletakkan paper bag merah itu di atas meja di samping tempat tidur. Sambil berbaring dia menatap paper bag itu. Dalam hati Jodha berpikir, “apa dia sungguh-sungguh mengakui aku sebagai istrinya? Istri sebenarnya? Bukan orang yang dinikahinya untuk di buat menderita?” Begitu cepatnya perlakuan Jalal padanya berubah. Dari kejam dan tak berperasaan berubah menjadi lemah lembut dan penuh perhatian. Sambil memikirkan Jalal, akhirnya Jodha terlelap.

Jalal selalu bangun pagi, setelah sholat subuh, dia tidur lagi dan bangun-bangun setelah sinar pertama dari matahari menerobos jendela kamar dan jatuh kewajahnya. Setelah mandi dan berpakaian rapi,  Jalal keluar dari kamarnya. Dia hendak berjalan menuju tangga ketika ternampak pintu kamar Jodha yang separuh terbuka. Jalal membalikan badan dan menyempatkan diri untuk mengintip kedalamnya. Suasana sangat sepi. Tidak biasanya Jodha membiarkan pintu kamarnya terbuka. Jalal mengetuk pintu dua kali. Sejak insiden kamar mandi, Jalal berusaha untuk berhati-hati. Hubunganya dengan Jodha mulai membaik, dia tak mau karena kesalahannya hubungan itu menjadi masam lagi. Karena tidak ada sahutan, Jalal mengetuk pintu lagi. Jalal mendengarkan kalau ada suara-suara dalam kamar mandi. Tapi kamar itu benar-benar sepi.

Jalal dengan rasa ingin tahu masuk kadalam. Pintu kamar mandi terbuka menandakan kalau tak ada orang di dalamnya. Dia mengamati tempat tidur yang tertata rapi seperti tak tersentuh.. Jalal melihat paper bag merah pemberiannya ada di atas meja. Jalal mengintip isinya, kosong. Jalal berpikir kalau Jodha mungkin sudah turun untuk sarapan. Tanpa buang waktu lagi, Jalal segera turun. Tapi diruang bawah sepi. Dapur, ruang makan dan ruang keluarganya menjadi satu. Sehingga hanya satau kali pandang, Jalal akan tahu kalau ada orang. Tapi tempat itu juga sepi. Jalal melangkah ke ruang tamu. Sepi juga. Jalal memgamati sofa, dan semua tempat tersembunyi. Jangankan bayangannya, sosoknya juga tidak ada. Jalal berteriak memanggil nama Jodha. Tidak ada sahutan. Jalal mengintip keluar rumah, tidak ada siapa-siapa. Dadanya mulai berdebar tak menentu, benaknya di liputi pikiran yang bukan-bukan.

Jalal mulai panik. Dugaan kalau jodha melarikan diri dengan membawa kartu ATM dan kartu kredit yang di berinya tadi malam muncul di benaknya. Jalal coba menepis pikiran itu. Dia yakin Jodha tidak mungkin melakukan itu. Tapi benaknya berkeras, “apa yang tidak mungkin? Tidak ada batasan untuk pengkhianat di dunia ini.” Jalal masih mencoba berpikir jernih.  Dia mengambil handphone, dan menelpon no Jodha. Terdengar suara ringtons dari hp Jodha di kamar atas. Jalal masih berusaha tenang. Dia memanggil para pelayan, bertanya kalau-kalau ada dari mereka yang melihat Jodha. Mereka menjawab kalau mereka tidak melihatnya. Mau tidak mau, Jalal terpengaruh juga oleh pikiran buruknya.

Setelah menyuruh semua pelayan pergi. Jalal berteriak marah dan merasa di khianati. Jalal hendak menelpon hamida, tapi dia mengurungkan niatnya.  Jalal yakin kalau melarikan diri, tidak mungkin dia pergi menemui Hamida. Lalu kemana dia pergi? Pulang kerumahnya?  Jalal segera mengeluarkan mobil audi dari garasi. Tapi belum semua badan mobil keluar dari pintu garasi, dari kaca spion dia melihat Jodha dan Moti sedang berjalan memasuki gerbang.  Dengan marah, Jalal memasukan kembali mobil audinya ke garasi. Tanpa mematikan mesin mobil, dia bergegas menghampiri Jodha dengan wajah merah menahan marah. Tanda basa-basi Jalal menarik pergelangan tangan Jodha, sampai nampan berisi bunga yang dibawahnya terjatuh di tanah. Moti menatap Jalal hendak bertanya. Tapi Jalal mengangkat tangan kearah Moti, dan menarik Jodha masuk rumah.

vlcsnap-2014-12-10-08h09m04s164Jodha yang tidak tahu mengapa jalal marah tanpa protes mengikuti seretan tanganya. Sampai di dalam rumah, Jalal menyentakkan tangan Jodha, hingga tubuh Jodha terpelanting beberapa langkah. Dengan marah Jalal berteriak lantang, “tidakkah kau terpikir untuk berpamitan padaku sebelum pergi atau melakukan sesuatu?” Jodha dengan tatapan tidak mengerti balik bertanya, “apa maksudmu?”  Jalal tidak menyahut, “apakah pernah kau bayangkan betapa paniknya aku saat aku tidak menemukanmu dirumah? kenapa kau lakukan itu? Apa susahnya berpamitan padaku? Kalau itu masuk akal, aku pasti mengijinkan.” Akhirnya Jodha mengerti mengapa Jalal marah-marah, dia tersenyum menenangkan, “Jalal, aku hanya pergi ke kuil. Dan kau masih tidur. Aku tidak ingin membangunkanmu. Dan lagi aku tidak pergi sendiri, aku pergi bersama moti.”

Mendengar kata-kata Jodha yang tenang, kemarahan dan ke panikan Jalal pun meredah. jalal menyahut, “tetap saja. Kalau kau tak sempat pamitan padaku, kau bisa pamitan pada para pelayan.  Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu. Aku jadi berpikiran buruk padamu.” jodha memicingkan matanya denga nada mengoda, “pikiran buruk apa? Seseorang menculikku?” jalal tidak mengubrisnya. Jodha mencoba lagi, “atau kau berpikir aku akan kabur darimu?” Wajah Jalal memerah. Melihat itu Jodha terperangah tak percaya, “kau berpikir kalau aku kabur darimu?” Menyadari tebakannya benar, Jodha tertawa renyah.

Jalal sakit hati mendengarnya, “berhentilah tertawa. Tidak ada yang lucu! ” Dengan rasa ingin tahu, Jodha bertanya, “apakah kau tidak percaya padaku, Jalal? Aku istrimu!” Jodha coba memberi tekanan pada kata ‘istri’. Jalal dengan nada dingin menyahut,  “aku pernah memberi banyak kepercayaan pada orang, tapi mereka dengan tega mengkianati aku. Sekarang, aku bahkan tidak percaya pada bayanganku sendiri! Aku tahu aku pernah menyakitimu. Aku berpikir kau akan balas menyakitiku.” Mendengar alasan ketakutan Jalal, Jodha tersneyum. Dia mendekati Jalal dan meyentuh tangannya, “tak perlu sekuatir itu, Jalal. Aku Rajvanshi, kami tidak bisa berkhianat. Aku tidak akan kabur darimu. Dan lagi aku tidak punya tempat untuk di tuju. Ayahku… kau tahu sendiri, lebih memetingkan proyeknya daripada aku. Sekarang aku hanya punya dirimu. Aku bergantung padamu.”

Mendengar pengakuan Jodha, hati Jalal menjadi tenang. Setitik rasa bangga dan bahagia muncul dalam hatinya mendengar kata-kata Jodha. Dalam hati Jalal berkata, “aku akan menjaga mu! Aku janji!” Jalal meremas tangan Jodha yang menggenggam tangannya. Sambil megangguk dia berkata, “berjanjilah satu hal, kalau kau hendak kemana-mana beritahu aku dulu!” Jodha bertanya, “bagaiman caranya? apakah aku harus membangunkanmu kalau kau sedang tidur? Menelpon mu kalau kau sedang kerja? atau… ” Jalal tersenyum, “kau bisa melakukan semua itu. Aku akan memberimu prioritas pertama. Kau juga bisa menitip pesan pada pelayan, atau menulis pesan dan menempelkannya di dinding kulkas. Aku sering melakukan itu dengan ibuku…..~raut wajah Jalal berubah saat menyebut kata ‘ibu’~ Apapun, setidaknya beritahukan keberadaanmu. Dan jangan lupa bawa selalu telponmu. Sekarang kau adalah istri Jalalludin Muhammad. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu!”

Jodha tertawa, “apa yang bisa terjadi padaku? Aku tahu aku akan aman bersamamu.” Jodha kemudian menarik tangannya dari genggaman Jalal dan  keluar menemui Moti yang berdiri mematung di halaman. Moti dengan ketakutan bertanya, “Jodha…?” Jodha tersneyum, “tidak apa. Mister mengira aku kabur dari rumahnya.” Jodha mengambil nampan arti dari tangan moti dan membawanya masuk kedalam. Jalal masih berdiri mematung mengawasi Jodha. Jodha menyodorkan nampan arti, “arti?” Jalal mengambil arti dan memakan prasad yang di sodorkan Jodha. Jodha bertanya, ‘kau tidak kekantor hari ini?” Jalal seperti tersadar, ” Ya khuda, aku ada meeting pagi ini!” tanpa membuang waktu Jalal segera berlari pergi……Takdir bag 20

PRECAP: Jalal melihat Jodha bersama seorang pria

Ep20

Ep 21