Malam Pertama: Arti Mencinta! bag 4. Hari sudah pagi. Moti berlari-lari kecil menuju kamar Jodha. Dia kemarin lupa menyiapkan persediaan Ghee untuk melakukan arti. Moti berharapp Jodha belum melakukan puja. Moti bernafas lega, ketika melihat mandir masih tertutup. Moti mendekati tempat tidur, memanggil nama Jodha dan membuka tirai. Moti terkejut saat dia melihat Jalal berbaring disana dengan memeluk Jodha. Jalal sudah bangun dan memberi tanda pada moti agar tidak berisik. Dengan isyarat Jalal menyuruh Moti mendekat. Moti mendekati Jalal dari sisi terdekat tempat tidur. Jalal dengan suara lirih memberi perintah, “tolong jaga di pintu. AKu tidak ingin siapapun masuk dan menganggu tidur ratu Jodha.” Moti mengangguk dan pergi.
Jodha masih terlelap dalam tidurnya. Dia miring ke samping memunggungi Jalal. Jalal melingkarkan satu tanganya ketubuh jodha sedang tangan lainnya menyanggah kepalanya sehingga psosisi kepala Jalal lebih tinggi dari kepala Jodha. Dengan cara itu dia bisa menatap wajah Jodha dengan leluasa meski hanya dari samping. Jalal selalu merasa bahwa Jodha kalau tidur seperti malaikat, kebaikan dan ketulusan terpancar di wajahnya yang damai. Jalal tersenyum bahagia. Akhirnya setelah sekian lama, kesabarannya telah terbayar lunas. Jodha telah menjadi miliknya seutuhnya. Membayangkan itu, sebentuk getaran mengelitik dadanya dan berdenyut indah.
Jalal berpikir, “aku mencintaimu, Ratu Jodha, dan akan selalu mencintaimu.” Jodha menatap rambut hitam yang tergerai di depan hidungnya. Lalu leher putih bak pualam yang tersembul dari balik rambut itu. Jalal ingin menciumnya, tapi dia takut membangunkan Jodha. Setelah apa yang dia berikan padanya semalam, Jodha berhak untuk terlelap lebih lama.
Moti benar-benar berjaga di pintu kamar Jodha seperti yang di perintahkan Jalal. Dari tempatnya berdiri, Moti bisa melihat Ruq yang melangkah bergegas ke kamar Jalal dan keluar dengan kecewa. Lalu muncul Atgah khan, dia berpapasan dengan Ruq. Keduanya berbincang-bincang serius sesaat lalu menoleh kearah Moti. Seperti telah bersepakat, kedua orang itu berjalan menghampiri Moti dan bertanya apakah Moti melihat jalal. Moti mengangguk dan dengan jempolnya dia menunjuk ke kamar Jodha. Ruq hendak melangkah masuk, tapi Moti mencegahnya. Moti mengatakan kalau itu perintah Jalal. Ruq kesal dan geram. Dia berteriak memanggil Jalal. Atgah meminta Ruq menghentikan aksinya, takut kalau Jalal marah. Setelah lama menunggu di depan pintu dan jalal tidak juga keluar, Ruq dengan kesal pergi meninggalkan tempat itu. Tinggal Atgah yang setia menanti.
Di dalam, Jalal mendengar keributan kecil itu sayup-sayup. Dan dia juga mendegar suara Ruq memanggilnya. Bukannya bangkit, Jalal malah panik dan sibuk menutupi telinga Jodha dengan tanganya agar dia tidak terganggu suara Ruq. Jalal juga mendengar suara atgah. Dia berada dalam dilema. Antara menemui Atgah dan menunggu Jodha bangun. Jalal tak ingin meninggalkan Jodha. Karena dia ingin melihat reaksi Jodha saat dia terbangun dan melihat dirinya ada di sisinya. Jodha pernah mengisyaratkan itu beberapa waktu lalu, ketika jalal tidur di kamar Ruq, tapi ternyata dia kemudian terbangun di kamar Jodha. Dan Ruq uring-uringan karenanya.
Bukannya merasa bangga karena telah menjatuhkan kesombongan Ruq, Jodha malah memarahi Jalal. Saat itu Jodha berkata kalau seorang istri selalau ingin melihat suaminya ada di sisinya saat dia terbangun. Dan sekarang Jalal memenuhi keinginan Jodha itu. Bukan karena terpaksa tapi karena keinginan untuk melihat wanita yang di cintainya bahagia. Jalal mengamati wajah Jodha dengan seksama. Matanya, bentuk hidungnya, bibirnya yang terkatup rapat saat terlelap, dan tengkuknya yang putih bak pualam. Jalal menyingkapkan rambut yang menutupi tengkuk Jodha, dan menciumnya dengan lembut.
Jodha tersentak bangun karena rasa geli yang menjalari tengkuknya. Perlahan dia membuka matanya dan merasakan sebuah tangan menindi tubuhnya. Tubuh Jodha menegang. Tapi saat dia teringat apa yang sudah terjadi semalam, tubuhnya mengendur relax. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya. Jalal yang mengamatinya dari samping menyapa, “selamat pagi, ratuku.”
Refleks Jodha menoleh. Gerakan itu menyebabkan pipi Jodha menyentuh hidung Jalal dan bibir mereka terpisah seinci jauhnya. Manyadari itu, Jodha hendak menarik kepalanya menjauh, tapi Jalal telah lebih dulu mendaratkan kecupan di bibir Jodha. Jodha tersipu. Jalal menatapnya penuh gairah. Merasa tidak nyaman di tatap begitu, Jodha mengangkat tangan Jalal dari tubuhnya dan segera bangkit. Jalal menangkap pergelangan tangan Jodha, dan menyentuhkan kedadanya. Dengan santai Jalal berbaring dan memejamkan mata.
Jodha menarik tanganya dan bergegas turun dari tempat tidur. Dia kaget, melihat hari sudah sangat terang, “hei bhagwan…aku kesiangan.” Jalal dengan mata terpejam menyahut, ” ya.. kau tidur lelap sekali Ratu Jodha. Sampai kau tidak tahu kalau terjadi keributan di luar sana.” Jodha menatap jalal dengan heran, “keributan apa yang mulia?” Jalal tanpa pikir panjang menjawab, “ada seorang wanita yang marah-marah karena kehilangan suaminya….” Mendengar kata-kata Jalal, wajah Jodha pucat seketika dan tubuhnya mengejang kaku.
Melihat itu Jalal segera bangkit menghampirinya dengan rasa bersalah. Dia segera merengkuh pundak Jodha sambil berkata dengan nada menennagkan, “wow…wow.. Ratu Jodha. Aku hanya bercanda.” Jodha dengan cemberut memukul dada Jalal. Jalal mengadu kesakitan. Jodha cepat-cepat minta maaf. Jalal tertawa, jodha sadar kalau jalal hanya mengodanya.
Jodha melangkah ke meja rias, membenahi pakaiannya, merapikan dupattanya, dan berkata kalau dia sudah terlambat melakukan puja. Jalal tersenyum dan menyahut, “aku juga ratu Jodha. Kau telah membuatku kehilangan banyak waktu. Rakyatku pasti sedang menunggu…aku pergi dulu.” Sebelum pergi jalal mendekati Jodha dari belakang membelai rambutnya dan mncium ubun-ubunnya lalu pergi. Jodha menatap kepergian jalal dengan senyum bahagia. Dia telah merasa menjadi istri Jalal yang sesungguhnya.
Moti berdehem kecil melihat Jodha melamun. Ada tatapan mengoda di matanya, Tapi sebelum Moi membuka mulutnya, Jodha sudah menatapnya dengan tatapan mengancam. Moti tertawa dan berkata, “aku sudah menyiapkan air mandimu. Ayo pergi mandi. Aku akan suruh pelayan membereskan kamarmu.” Jodha berkata, “tidak moti. Aku ingin kau sendiri yang membereskan tempat tidurku.” Moti mengangguk, “baiklah. Kau pergilah dulu kekamar mandi. Nanti aku menyusul.” Jodha mengangguk dan beranjak pergi.
Siang hari, Jodha sedang melakukan Bhog Arti ketika Ruqaiya datang dengan wajah kesal dan geram. Jodha menawarinya prasad. Ruq menolaknya. Dengan geram Ruq bekata, “aku tahu apa yang telah kau lakukan pada Jalal, ratu Jodha. Aku tidak menyangkah, kau melakukan trik serendah itu untuk mendapatkan perhatian Jalal. Aku tidak marah karena itu, tapi karena kau telah berbuat ceroboh dan telah membahayakan hidup Jalal. Bagaimana kalau obat yang kau berikan pada Jalal itu beracun?”
Jodha tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Ruq, dengan rasa ingin tahu dia bertanya, “obat apa yang kau maksud ratu Ruqaiya?” Ruq berteriak kersal, “jangan pura-pura bodoh, Ratu Jodha. Semua orang juga sudah tahu kalau kau semalam memberi obat perangsang pada Jalal agar dia tidur dengamu.” Jodha terhenyak, tubuhnya terasa lemas seketika. Dia tidak menyangka kalau masalah itu bisa di dengar orang lain dan tersebar. Tidak ada rumor yang bisa di redam di istana ini. Setelah puas mengejek dan menghina Jodha dengan kata-katanya yang pedas, Ruqaiya pergi dengan puas. Setelah Ruq pergi, Moti yang datang dengan tergopoh-gopoh. Dia memberitahu Jodha gosip tentang dirinya yang beredar diharem. Moti dengan segan bertanya apakah berita itu benar? Jodha menjawab dengan tegas kalau itu tidak benar, “aku bahkan belum membuka bungkusan obat itu.”
Baru juga, Moti akan membuka mulut, sorang pelayan datang memberitahu Jodha kalau dia di tunggu Jalal di ruanganya. Jodha jadi deg-deg an dan penasaran. Kenapa jalal menyuruh pelayan memanggilnya dan tidak datang sendiri menemui dirinya seperti biasa. Tapi tanpa pikir panjang, Jodha segera memenuhi panggilan Jalal. Sampai dikamar Jalal, di sana telah berkumpul para Ratu dan Jalal yang berdiri tegang menunggunya. Hamida, dan Salima tersenyum senang menyambutnya. Jodha memberi salam pada mereka, hamida mengangguk, Salima membalas salam Jodha. Ruq membalas dengan cemberut dan geram. Jalal dengan kening berkerut.
Melihat Jodha, Jalal dengan lantang bertanya, “Ratu Jodha, Ratu Ruqaiya menuduhmu memberiku obat perangsang semalam, apakah itu benar?” Jodha terlihat jengah dan malu, sambil menunduk Jodha menjawab kalau itu tidak benar. Ruq mengatakan kalau Jodha berbohong. Jalal balas bertanya pada Ruq, “apa buktinya kalau ratu Jodha berbohong? Apakah kau melihat dengan mata kepala sendiri ratu Jodha memberiku minum obat perangsang?” Ruq terlihat bingung.
Jalal melanjutkan, “aku bahkan tidak merasa telah di beri minum sesuatu yang aneh oleh ratu jodha.” Ruqaiya masih tidak puas, “kalau begitu kenapa dia perlu meminta di buatkan obat perangsang oleh hakim saiba?” Jalal balik bertanya, “dari mana kau tahu kalau itu obat perangsang? Apakah hakim saiba sendiri yang mengatakannya padamu?” Ruq menjawab dengan gugup, “tidak Jalal. Para ratu dan pelayan membicarakannya.”
Jalal berkata, “para ratu dan pelayan, apalagi yang bisa mereka kerjakan selain bergosip? Aku tahu, kalian para wanita saling cemburu, tapi menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak di lakukannya adalah kesalahan besar.”
Ruq berkata, “aku tidak cemburu Jalal, aku hanya memikirkan keselamatanmu. bagaimana kalau obat itu ternyata racun? Apa yang akan terjadi padamu?” Ratu Hamida menimpali, “Ruqaiya, aku yakin Jodha tidak akan melakukan hal seperti itu. Dia tidak mungkin membahayakan hidup jalal untuk hal sepele seperti itu.” Ruqaiya tak bisa berkata apa-apa lagi.
Jalal dengan tegas berkata, “Ruqaiya, kau bertanggung jawab atas harem, aku ingin gosip itu di redam, aku tak ingin mendengar siapapun juga membicarakan hal itu lagi. Kalau tidak aku akan menghukum mereka. Ini menyangkut kehormatan dan harga diriku.” Ruq protes, “bagaimana aku bisa melarang orang bicara, yang mulia?”
Jalal menyahut, “tentu saja kau bisa, beritahu mereka, siapa saja yang masih bergosip tentang hal akan di usir dari istana saat itu juga. Mengerti?” Ruq dengan sangat terpaksa mengangguk dan segera berpamitan pergi. Sebelum pergi dia melirik Jodha dengan marah dan penasaran. Hamida dan salima pun berpamitan. Jodha ikut-ikut pamitan. Tapi Jalal menyuruhnya tinggal.
Jalal dengan tangan dibelakang punggung berdiri didepan Jodha, mengamatinya dengan seksama hingga membuat Jodha jengah. Tapi walaupun jengah, Jodha tidak memalingkan kepala, ataupun menunduk. Dia balas menatap Jalal. Jalal mendekatkan wajahnya dan bertanya, “apakah kau memberiku obat perangsang, Ratu Jodha?”
Jodha balik bertanya, “apakah kau pikir aku akan melakukan hal seperti itu yang mulia?” Jalal menjawab dengan cepat, “tentu saja tidak. ~tapi kemudian dia terlihat berpikir~ Lalu untuk apa kau menyuruh hakim saiba membuat obat itu?” Jodha terdiam tidak tahu harus menjawab apa, dia tertunduk. Jalal menatap Jodha dengan kening berkerut. Tiba-tiba muncul pikiran di benaknya yang menbuatnya terkejut. Jalan mengangkat dagu Jodha membuat Jodha mau tak mau menatapnya.
Dengan setengah tak percaya jalal bertanya, “kau membuat ramuan itu untuk dirimu sendiri? ~jodha tercengah~ Jawab aku ratu Jodha!” Jodha dengan gugup menatap Jalal. Jalal mundur menjauhi Jodha. Mengawasinya dari kejauhan, lalu membalikan badan. Setelah beberapa lama, dia berbalik menghadap Jodha lagi, melangkah mendekatinya dan memegang kedua pundaknya sambil bertanya, “benarkah dugaanku, Ratu Jodha? Kau membuat ramuan itu untuk dirimu sendiri?” Melihat Jodha hanya diam, Jalal hilang kesabaran. Dia menguncang tubuh Jodha dan berkata, “jawab aku, Ratu Jodha!” Jodha dengan ragu-ragu menjawab, “ya.”
Jalal menatap Jodha tak percaya, terluka dan terhina. Tapi dia mencoba meredam emosinya dan bertanya dengan nada kaku dan rasa ingin tau, “kenapa kau lakukan itu Jodha? Tahukan kau dengan melakukan itu kau telah melukai harga diriku? Aku telah begitu sabar menunggumu. Aku ingin kau menerimaku dengan sepenuh hatimu bukan karena terpaksa. Kalau aku mau aku bisa memaksamu. Dengan kekuatan yang ku miliki, apakah kau pikir kau bisa lepas dari aku kalau aku memaksamu? Tapi aku tidak melakukannya. Karena aku sangat mencintaimu. Dan aku ingin kau juga mencintaiku. Dan menerimaku dengan hatimu,”
Jalal meraih tangan Jodha dan mengenggamnya, “pagi ini, aku bangun dengan perasan yang sangat bahagia, yang belum pernah kurasakan sepanjang hidupku. Tapi kau menodai kebahagianku itu. Aku tidak menyangka kau melakukan perbuatan serendah itu. Kau tahu betapa bahagianya aku ketika kau akhirnya mau menerimaku? kau pikir aku sangat menginginkanmu bukan? Memang! Tapi aku tidak membutuhkan semua itu darimu. Aku punya banyak istri yang bisa ku datangi kapan saja aku mau. Aku lebih memilih melampiaskan hasratku pada mereka daripada memaksamu..menyakitimu. Tapi apa yang kau lakukan?”
Jodha menyahut, “itulah yang tidak aku inginkan, Yang Mulia. Kau mencumbuku, memesraiku, tapi kemudian kau pergi menghabiskan malam dengan istrimu yang lain. Kau pikir aku tidak terluka? Tidak cemburu? Tidak sakit hati? Aku mencintaimu, yang mulia, Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku?”
Jalal menatap mata Jodha, “kalau kau mencintaiku, kenapa kau menolakku?” Jodha menjawab, ‘karena….karena setiap kali kau mencumbuku, aku membayangkan kau sedang mencumbu istrimu yang lain.” Jalal terngangah tak percaya kemudian dia tertawa.
Melihat Jalal menertawainya Jodha marah, “apa yang membuatmu tertawa? apakah perasaan yang kurasakan hanya lelucon untuk mu? Aku tahu aku hanya satu dari sekian ribu wanita yang kau miliki. Tapi apakah salah kalau aku punya perasaan itu? Setiap wanita selalu ingin punya suami untuk dirinya sendiri. Yang hanya mencintainya saja. Dan aku harus berdamai dengan takdirku karena kemudian aku menikah dengan lelaki yang punya begitu banyak istri. Walaupun begitu aku tetap ingin menjadi istrimu seutuhnya, ingin memberimu kebahagiaan….”
“Dengan meminum obat perangsang?” potong Jalal dengan nada menuduh. Jalal tak tau apakah harus marah atau tertawa bahagia.
Jodha dengan ketus menjawabnya, “aku tidak meminumnya! Aku bahkan belum membuka bungkusnya. Jika kau merasa terhina dengan apa yang terjadi semalam.. baiklah! Aku tidak akan melakukannya lagi. Kau tak perlu mendekatiku lagi….” Lalu dengan berlinang airmata Jodha meninggalkan Jalal yang terpana tak percaya.
Setelah sadar dari keterkejutannya, Jalal segera berlari mengejar Jodha merengkuh tubuhnya dan memeluknya erat. Jodha memberontak dengan mendorong tubuh Jalal. Tapi Jalal malah mempererat pelukannya, sehingga Jodha hanya bisa pasrah dan menangis dalam pelukan Jalal. Jalal menepuk-nepuk punggung Jodha dan membelai kepalanya, “ssshhhh… cup. cup….ratu Jodha, jangan menangis. Jangan marah! Maafkan aku, ya.”
Tangis Jodha malah semakin menjadi meski tanpa suara. Beberapa pelayan dan prajurit yang melihat adegan itu menundukan kepala atau memalingkan wajah. Jalal menjadi sedikit jengah. Tapi dia tak memperdulikannya. Yang dia pikirkan hanyalah Jodha. Lalu terdengar suara kecil menyapa, “kenapa kau membuat Choti ami jaan ku menangis, shahenshah?” Mendengar suara Rahim, Jodha cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Jalal dan menghapus air matanya. “Apakah shahenshah mencubitmu Choti Ami jaan?” Jodha menyahut, “ya rahim.”
Rahim segera menarik tangan Jodha, “kalau begitu jangan main dengannya, ikutlah denganku Choti ami jaan, aku mempunyai sesuatu untukmu!” Mau tidak mau Jodha mengikuti tarikan tangan Rahim. Sebelum pergi, Jodha sempat melirik jalal dengan tatapan sengit yang dibuat-buat. Jalal tertawa.
Malamnya, Jodha sedang duduk berbincang-bincang dengan Moti ketika Jalal datang. Moti segera meninggalkan Jodha. Jodha berdiri dan memberi salam pada Jalal. Jalal tersenyum dan mendekati Jodha. Jodha tertunduk diam. Dengan lembut Jalal bertanya, “ratu Jodha, kau marah padaku?”
Jalal menyentuh tangan Jodha. Jodha menepisnya. Jalal berkata, “baiklah, aku minta maaf.” Jodha tidak menyahut. Lalu dengan nada memerintah seorang raja, Jalal berkata, “oh ya mana obat itu sekarang? ~Jodha masih tidak mau menjawab~ Ratu Jodha? kau tidak mendengar perintah seorang raja? Bawa obat itu kesini, aku ingin melihatnya.”
Jodha dengan terpaksa berjalan ke meja riasnya dan mengambil obat dari Hakin Saiba dan memberikannya pada Jalal. Jalal mengamati obat dalam botol kecil itu yang masih tertutup rapat, lalu berkata, “ambilkan segelas air.” Jodha terbelelak menatap jalal, mau tak mau dia bertanya, “untuk apa yang mulia?” Jalal dengan wajah serius menjawab, “kita akan sama-sama meminumnya.” Jodha menyahut cepat, “tidak…yang mulia.” Jalal bertanya, “kenapa, Ratu Jodha? kalau kau tidak mau, biar aku saja yang meminumnya.”
Jodha mendekati Jalal dan merebut botol itu dari tanganya, “tidak…kita tidak memerlukannya.” Jalal dengan nada mengoda bertanya, “kita? apa kau tidak marah lagi padaku, Ratu Jodha?” Jodha tahu kalau Jalal hanya mengodanya. Jalal tertawa dan meraih tubuh Jodha lalu memutarnya menghadap cermin, “coba lihat, alangkah cantiknya kau saat sedang marah…! dan akan lebih cantik lagi kalau ada semburat merah di sana.” Tanpa aba-aba, Jalal mencium pipi Jodha. Membuat Jodha tersipu malu. Jodha membalikan badannya dan memeluk Jalal. Jalal membelai rambut Jodha. Mencium kepalanya, keningnya, hidungnya…….dan….. TAMAT