Sinopsis Jodha Akbar episode 373 by Sally Diandra. Siang itu di halaman istana, Rahim menyuruh para prajurit untuk bertarung menggunakan pedang melawan para pangeran kecil Kerajaan Mughal, semua anak anak mengambil pedangnya masing masing, sementara pada saat itu tiba tiba Salim kembali teringat bagaimana Murad mengejeknya, kemudian Salim mulai berlatih bertarung dengan salah seorang prajurit, “Pangeran Salim, tolong konsentrasi … focus” kata prajurit, tapi Salim tidak mengindahkan kata kata prajurit tadi, Salim kembali teringat bagaimana Haidar mengejeknya tadi, Salim kesal dengan perlakuan Murad dan Haidar. Tak berapa lama kemudian Rahim datang menemui Salim “Pangeran ! mana konsentrasimu ?” tanya Rahim, “Buatlah pedang menjadi bagian dari tubuhmu dan lawanlah dengan seluruh kekuatanmu, Pangeran Salim” ujar Rahim.
Semua anak anak terlibat latihan pertarungan dengan para prajurit, mereka berusaha sekuat tenaga untuk melawan para prajurit, sampai akhirnya Rahim menghentikan latihan mereka “Berhenti semua ! sekarang kita istirahat dulu setelah itu kita akan berlatih memanah” ujar Rahim, anak anak nampak sangat antusias dalam hal berlatih pedang kecuali Salim
“Murad, kamu sangat menakjubkan dengan pedangmu tadi, kamu pasti akan menjadi kstaria yang tangguh ! tapi coba lihat pewaris tahta kerajaan kita, memegang pedang saja dia tidak becus” ujar Haidar sambil menuding ke arah Salim, Murad juga menoleh kearahnya dan mereka berdua tertawa bersama sama sambil berlalu dari sana, sementara itu Salim yang memperhatikan mereka dari tadi, merasa semakin kesal dengan ejekan Murad dan Haidar.
Siang itu dikebun istana, tampak Nadira, Sakina dan Qadir sedang bermain disana, mereka sedang melempari buah mangga dengan menggunakan batu dengan harapan salah satu batu yang mereka lempar itu bisa mengenai buah mangga tersebut hingga jatuh, tapi sayangnya tidak ada satupun batu yang mengenai sasaran. “Sudahlah, kalo begitu aku akan naik ke atas, aku akan petik buah mangga itu !” kata Qadir, “Jangan Qadir ! ini kebun istana ! sudah … aku tidak mau ikutan dengan kalian berdua, aku pergi !” kata Sakina sambil berlalu dari sana. “Dasar anak bodoh ! jangan khawatir Qadir, aku akan bareng kamu, tidak ada seorangpun yang akan kesini, ayoo naiklah … ambil buah mangga itu” kata Nadira,
Qadirpun menurut dan dia langsung melompat ke atas pohon mangga. Sementara itu disisi sebelah satunya pohon mangga itu, tampak Salim kembali mendekati pohon mangga yang juga dipanjat oleh Qadir, dalam hatinya Salim berkata : “Mereka telah melecehkan calon pewaris tahta kerajaan, sekarang aku akan mengenai target buah mangga itu dan aku akan bilang ke Murad bahwa aku pantas memiliki peralatan memanah ini !” bathin Salim sambil memandangi pohon mangga didepannya dan mulai mengarahkan anak panahnya ke sasaran buah mangga tersebut, kali ini sasarannya tepat mengenai target,
tapi tiba tiba Qadir yang saat itu sedang duduk di pohon mengerang kesakitan “Aaaarrrgghhhhh …” erang Qadir lalu dia pun terjatuh ke tanah. Salim sangat terkejut melihat ada seorang anak laki laki yang mengerang kesakitan, didadanya tertancap anak panah Salim yang dilesatkan kearah buah mangga tadi , sementara itu Nadira melihat Salim dan memandangnya dengan perasaan tidak suka, “Qadir, jangan khawatir … aku akan mencari bantuan, bertahanlah …” ujar Nadira, Qadir masih terus mengerang kesakitan …. Sementara Salim yang melihat dari kejauhan mulai menangis ketakutan, “Apa yang telah kamu lakukan Pangeran Salim ?” bathin Nadira
Dirumah Qadir, Qadir tidak sadarkan diri, luka lukanya sedang di obati oleh seorang dokter, saat itu Nadira dan Sakinah juga ikut menemani Qadir, paling tidak memberikan dukungan terhadap nenek Qadir yang sudah sangat tua, “Qadir saat ini dalam keadaan yg kritis, kita harus menungggu sampai nanti malam, mudah mudahan Qadir bisa melewati masa kritisnya” kata dokter, “Yaaa …. Allah, anak dan menantuku telah meninggal semua, aku cuma punya Qadir, satu satunya cucuku ini, kenapa dia menyerang Qadir ? siapa dia yang telah menyerang Qadir ?” ujar nenek Qadir,
“Orang itu adalah Pangeran Salim, nek …. Putra mahkota Raja Jallaludin Muhammad Akbar” ujar Nadira, “Nadira ! apa yang kamu katakan ? jangan menuduh orang lain !” kata dokter, “Saya tidak menuduh tapi saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, Pangeran Salim telah menyerang Qadir dengan panahnya” kata Nadira lagi, “Lalu … siapa yang akan memberikan keadilan untukku ???” tanya nenek. “Raja Jalalludin Muhammad Akbar, nek ! dia yang biasanya memberikan keadilan untuk rakyatnya, pergilah kesana, nenek bisa mengadu pada Yang Mulia, dia pasti akan mendengarkanmu” kata Nadira.
Sementara itu didalam istana, Salim berlari menuju kamar ibunya (Jodha), dan langsung duduk diatas tempat tidur dengan hati yang gelisah, perasaannya berbaur menjadi satu antara takut, sedih, was was cemas dan lain sebagainya. Jodha yang saat itu sedang merawat rambutnya dengan wewangian ditemani oleh Shamshad dan salah seorang pelayan langsung merasa ada yang tidak beres pada anaknya,
“Salim, kamu kenapa ?” tanya Jodha, “Ibu pikir ,,, kamu kecapekan yaa, Ibu tahu … latihan pedang itu memang sulit tapi kamu akan baik baik saja nanti” kata Jodha lagi, tapi Salim hanya diam saja, Salim nampak bingung tidak karuan, melihat anaknya gelisah, Jodha langsung menghentikan perawatan rambutnya dan berdiri lalu mendekati Salim, “Salim, adakah sesuatu yang kamu khawatirkan ?” tanya Jodha, “Tidak ibuu … aku hanya kecapekan” jawab Salim, “Ya sudah kalo begitu kamu minum susu dulu yaa, Shamshad … tolong buatkan susu buat Salim yaa” pinta Jodha,
“Baik, Yang Mulia … “ jawab Shamshad kemudian berlalu dari sana, “Maasa (ibu) … aku tidak lapar, aku hanya ngantuk, aku ingin tidur …” ujar Salim sambil membaringkan tubuhnya di pangkuan Jodha, “Baiklah … tidurlah …” kata Jodha, “Suatu hari nanti, kamu akan menjadi ksatria yang tangguh, nak …” ujar Jodha lagi tapi saat itu Salim masih ketakutan, bayangan Qadir yang terkena panahnya kembali hadir dalam ingatannya, Salim berusaha melupakan semua itu dan diapun tertidur.
Nenek Qadir meminta masuk kedalam istana ditemani oleh saudaranya yang menggendong tubuh Qadir, Qadir masih tidak sadarkan diri, setelah meminta ijin pada prajurit penjaga pintu gerbang, nenek Qadir dipersilahkan masuk. Tepat pada saat itu para Pangeran sedang bermain di balkon istana, semuanya nampak asyik bermain, sementara Salim memisahkan diri dari mereka, dia termenung diam sendirian. “Ayoolah, Salim …. kita bermain yuuuk !” ajak Murad, “Aku sedang tidak ingin bermain, main saja sendiri !” bentak Salim sambil menjauh dari mereka,
tepat saat itu Salim melihat Qadir di bopong oleh saudaranya bersama neneknya masuk ke dalam istana, Salim benar benar terkejut … “Waaah … gawat, mereka pasti akan mengadu ke ayah, bagaimana ini ??? apa yang harus aku lakukan ???” kata Salim.
Sementara itu dirumah Nadira, Zil Bahar bertanya pad Nadira tentang kenyataan yang sebenarnya yang menimpa Qadir, “Nadira, kamu yakin bahwa Pangeran Salim adalah pelakunya ???” tanya Zil Bahar, “Aku melihatnya sendiri, bu … Pangeran Salim memanah Qadir tepat di dadanya, aku sudah mengatakan hal ini pada neneknya Qadir” jawab Nadira, “Lalu apa yang harus kita lakukan, Nadira ???” tanya Zil Bahar,
“Aku telah mengatakan kenyataan yang sebenarnya cuma sama neneknya Qadir, bu … dimata Tuhan kita sebagai manusia adalah sama, iya kan, bu ?” ujar Nadira, “Hmmm … nanti kalo Yang Mulia memanggil kamu dipengadilan, lebih baik kamu diam saja” kata Zil Bahar, “Tapi ibuuu … aku akan mengatakan yang sebenarnya pada Yang Mulia” ujar Nadira, “Cukup Nadira !! Raja Jalalludin adalah penguasa kita disini dan Pangeran Salim hanyalah seorang anak kecil, dia mungkin telah berbuat kesalahan, tapi ini bukan dosa, ini hanya sebuah kesalahan yang tidak sengaja jadi lebih baik kamu tutup mulutmu didalam persidangan nanti !” tegas Zil Bahar
Siang itu di Pengadilan Kerajaan Mughal, tampak Jalal sedang duduk disinggasananya yang letaknya sangat tinggi diatas setinggi tubuh orang dewasa, sehingga para rakyat yang mencari keadilan disana harus mendongak keatas agar bisa melihat sang Raja, sementara para Ratu special dan ibu ratu Hamida berada di samping kiri dan kanan singgasana sang Raja tertutup sehelai tirai kelambu.
Jalal membuka pengaduan rakyatnya di pengadilan Kerajaan Mughal, sampai akhirnya tiba giliran nenek Qadir menghadap Jalal, nenek Qadir tak henti hentinya menangis melihat kondisi Qadir cucunya yang di baringkan di sebuah bale bale di hadapan Jalal, nenek Qadir memperlihatkan semua luka ditubuh Qadir. “Siapa yang melukainya, nek ?” tanya Jalal, “Aku akan memberikan keadilan” ujar Jalal lagi, “Yang Mulia … cucu saya ini Qadir adalah satu satunya harapan saya” ujar nenek Qadir sambil terus menangis,
“Aku berjanji aku akan menghukum orang yang melukai cucumu” kata Jalal, lalu nenek Qadir menceritakan semua kejadian yang menimpa Qadir, “Katakan siapa namanya, bu ?” tanya Jalal, “Pelakunya tidak lain adalah orang dalam istana, Yang Mulia” kata nenek Qadir lagi, “Katakan namanya, kamu tidak usah takut, siapa yang telah melakukan dosa ini ?” tanya Jalal penasaran. “Saya takut bahwa anda Yang Mulia tidak akan menghukum dia pelakunya” ujar nenek Qadir masih dengan berlinangan air mata,
“Tidak, nek … saya hadir disini untuk memberikan keadilan jadi jangan takut, katakan saja siapa namanya ?” tanya Jalal lagi, “Pelakunya adalah …. Pangeran Salim, Yang Mulia” ujar nenek Qadir. Jalal dan semua yang hadir disana sangat terkejut mendengar nama Salim disebut sebagai pelakunya. “Nenek, kamu tau siapa yang kamu tuduh ituu ???” tanya Jalal, “Iyaaa … saya tahu Yang Mulia, tapi itulah kenyataannya” ujar nenek Qadir, “Perempuan tua ini mungkin tidak waras, Yang Mulia ! atau ini adalah tipu dayanya untuk menghina Kesultanan Mughal !” kata Rukayah sinis,
“Saya hidup tidak lama lagi, Yang Mulia …. buat apa saya berbohong kepada anda, anda harus memberikan keadilan pada cucu hamba ini, Yang Mulia” ujar nenek Qadir, “Aku pasti akan melakukan itu, nek !” tegas Jalal. “Kahe Kahna (Rahim) apakah kamu melihat Salim menyerang anak ini ?” tanya Jalal ke Rahim, “Saya tidak melihatnya, Yang Mulia … kami semua sedang berlatih bertarung saat itu, tidak terjadi apa apa disana” jawab Rahim, lalu Jalal memanggil semua pangeran untuk masuk ke dalam ruang pengadilan,
Salim memberikan salam pada ayahnya tapi tubuhnya gemetar ketakutan, “Sekhu Baba, anak yang ada didepanmu itu sedang tidak sadarkan diri, dia terkena anak panah, ayah ingin tahu … apakah kamu yang melukainya, jawab ayah ???” tanya Jalal ke Salim, “Tidak , tidak ayah … aku tidak melukainya” jawab Salim, “Nah, nek … kamu dengarkan apa yang barusan Pangeran Salim katakan ? tidak ada yang melihat pada saat kejadian itu, tapi jika ada saksi yang bisa membuktikan tuduhan ini, kamu bisa mengatakannya” kata Jalal,
“Ada … ada Yang Mulia” kata nenek Qadir sambil mengangguk angguk, “Ada seorang anak perempuan yang melihat Pangeran Salim melukai cucu hamba dengan anak panahnya” ujar nenek Qadir, “Siapa dia ??” tanya Jalal, “Dia adalah anak perempuannya Rashid Khan, Nadira” kata nenek Qadir.
Jalal langsung menyuruh para prajurit untuk membawa Nadira masuk kedalam ruang sidang, tak lama kemudian Nadira memasuki ruang sidang ditemani oleh ibunya Zil Bahar, Nadira pun memberikan salam pada Jalal. Salim langsung menatap Nadira dengan perasaan was was, Nadira juga memandangnya dengan perasaan penuh kebencian. “Nadira, kata nenek tua ini Salim telah melukai cucunya, aku ingin tahu apakah kamu melihat Salim melukai anak ini ???” tanya Jalal. Nadira tampak kebingungan, kemudian dia menoleh kebelakang menatap ibunya untuk mendapatkan dukungan