Bila Saatnya Tiba bag 6 by Sally Diandra. Setelah puluhan tahun lamanya mereka berpisah, akhirnya hari ini Meinawati dan Hamida bisa bertemu kembali, masih tergambar dengan jelas dalam benak Meinawati puluhan tahun yang lalu ketika mereka sekeluarga harus pindah ke Papua karena suaminya, Bharmal mendapat tugas disana, saat itu Maan Sigh baru berusia 2 bulan sedangkan Hamida yang sudah lama menikah dengan Humayun belum dikaruniai anak juga. “Ayah, ayah ingat ini siapa ?” Meinawati mencoba untuk mengingatkan Bharmal akan sosok Hamida yang kali ini sudah duduk disebelah Bharmal, dengan seksama dan cukup lama Bharmal memperhatikan Hamida, sejak stroke berat yang menimpa organ tubuhnya yang sebelah kiri beberapa tahun yang lalu, hingga menyebabkan kelumpuhan di kaki kirinya, ingatan Bharmalpun mulai menurun, “Ha – mi – da …. Is – tri Hu – ma – yun” tiba tiba terdengar suara Bharmal yang terbata bata dan terdengar lamat lamat ditelinga, “Iyaa betul Hamida istri Humayun” Meinawati mencoba memperjelas suara suaminya yang saat ini agak cedal sedikit karena stroke, sehingga selalu lebih memilih banyak diam, sementara Hamida tersenyum bahagia karena bisa bertemu lagi dengan sahabat mendiang suaminya “Oh yaa … bagaimana kabar Humayun ?” mendengar ucapan Meinawati barusan, tak terasa air mata Hamida mulai membasahi pipinya, Meinawati yang melihat hal ini langsung mendekati Hamida dan menyuruh Maan Sigh untuk mengawasi ayahnya, “Ada apa Hamida ? apa yang terjadi ?” Meinawati berusaha menghibur Hamida, “Humayun … telah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakit jantungnya yang disembunyikannya selama ini” ujar Hamida disela sela isak tangisnya, “Aku turut berduka cita, Hamida … yang sabar yaa, mungkin itulah yang terbaik untuk Humayun, lalu anakmu ? kalau tidak salah waktu kami berangkat ke Papua, kamu sedang hamil tujuh bulan kan ? oh iyaa …kenalkan dulu ini Maan Sigh, kamu ingat waktu kami ke Papua, dia baru berusia 2 bulan”, Maan Sigh langsung berdiri dan memberikan salamnya ke Hamida “Salam bibi” , “Yaaa…ampun sudah besar sekali yaaa, lalu kakak kakaknya ?” tanya Hamida penasaran, “Bhagwandhas dan Sujamal sudah menikah semua, aku sudah jadi nenek sekarang” ujar Meinawati sambil tersenyum, “Lalu kesini, siapa yang sakit ?” tanya Hamida, ”Cuma control rutin sama fisioterapi untuk Bharmal, kamu sendiri ngapain kesini ?”, “Aku biasa juga cek lab” , “Sendirian juga atau sama anak ?” Hamida langsung menunjuk ke kursi yang ada disebrang sana, tampak Bhaksi sedang asyik dengan tablet dan eraphone ditelinganya, “Itu anakku namanya Bhaksi, ayoo aku kenalin kamu ke dia” Hamida dan Meinawati langsung mendekati Bhaksi yang masih asyik surfing melalui tabletnya,”Bhaksi … “ Bhaksi sedikit terkejut ketika tangannya disentuh oleh ibunya dan dilihatnya ibunya sedang berdiri didepannya bersama seorang wanita yang tidak dia kenal, “Bhaksi kenalkan ini bu Meinawati, suaminya adalah sahabat dekat ayahmu sejak SMA” Bhaksi yang berusaha berdiri langsung dihentikan oleh Meinawati ”Tidak usah,tidak apa apa, kamu duduk saja …” ,”Salam bibi” , “Salam … wajahnya persis seperti Humayun yaa” Hamida langsung mengangguk dan duduk disisi sebelah kiri Bhaksi sedangkan Meinawati disebelah kanan, “Sudah berapa bulan ?” , “Jalan lima bulan, bibi” Bhaksi langsung merasa nyaman dengan teman ibunya yang baru dikenalnya ini , “Jadi ini bayi yang kamu kandung dulu ketika kami ke Papua ?” tanya Meinawati penasaran, “Bukan masih ada lagi kakaknya, anakku dua … dia dan kakak laki lakinya Jalal, anakmu tiga juga laki laki semua yaa ?” Meinawati langsung menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, “Tidak …. kalau aku ceritakan lucu” , “Maksudmu ???” , “Waktu Maan Sigh berusia 7 tahun aku kebobolan, sekarang anakku 6 Hamida” , “Enaaam ??? waah … keluarga besar yaaa” , “Iyaaa….tiga anak laki laki dan tiga anak perempuan”, “Jadi kamu punya anak perempuan ?” Hamida merasa senang sekali begitu mendengar Meinawati akhirnya mempunyai anak perempuan, “Iyaa … adiknya Maan Sigh persis namanya Jodha 21 tahun, saat ini sudah hampir skripsi, lalu Sukaniya 19 tahun dan yang paling kecil masih kelas 2 SMA namanya Shivani” , “Mereka pasti cantik cantik, sama seperti kamu” , “Selain cantik, anak anak perempuanku juga mandiri, mereka bukan anak yang manja, apalagi dengan kondisi ayahnya yang seperti saat ini, mereka tidak mengeluh … aku bangga dengan mereka” ujar Meinawati bangga, “Rasanya aku ingin sekali aku bertemu dengan anak anakmu” , “Mainlah kerumah … kami tunggu dengan senang hati” , setelah bertukar alamat dan nomer telfon tiba tiba terdengar nama Hamida disebut melalui mikrofon rumah sakit, “Itu pasti hasil lab – ku sudah keluar, aku masuk dulu yaa … “ , “Silahkan aku juga akan mengantar Bharmal, sampai ketemu nanti” akhirnya mereka berpisah menuju tempat masing masing.
Beberapa hari kemudian, walaupun setiap pagi Jodha selalu mendapat kiriman bunga dari JMA alias Jallad, Jodha tidak pernah menggubrisnya karena perhatiannya kali ini hanya satu yaitu Suryaban, “Tidak adakah jawaban yang lain yang bisa aku dengar, Jodha ?” dengan menahan sesak didadanya, Jodha menggelengkan kepalanya lemah “Aku belum siap ,,, aku belum bisa menjadi seorang istri, aku tidak ingin mengecewakanmu dan lagi aku belum bisa meninggalkan ayahku saat ini” ujar Jodha lirih, “Tapi hatimu masih untukku kan ?” Jodha mengangguk “Yaa … hatiku akan selalu untukmu, tak akan kubiarkan orang lain mengambilnya, aku akan menjaganya … Surya, buat kamu, aku akan selalu menunggumu” diraihnya tangan Suryaban dan dikecupnya pelan, sesaat kemudian Suryaban langsung merengkuh Jodha dalam pelukannya, mereka menangis bersama malam itu, seakan akan enggan dipisahkan satu sama lain “Kamu tau …aku selalu takut kehilanganmu, Jodha … aku ingin sekali menjadikanmu sebagai milikku selamanya” , “Aku juga punya perasaan yang sama, Surya … rasanya berat berpisah denganmu saat ini” , “Kamu akan selalu menunggu aku kan, Jodha “ , “Aku akan selalu menunggumu, Surya … aku akan selalu setia padamu” perlahan Suryaban melepaskan pelukannya lalu dibelainya wajah Jodha yang cantik karena hari ini adalah hari terakhir Suryaban bisa melihat kekasihnya secara langsung, “Kamu janji akan selalu balas semua email , sms , wa , bbm yang aku kirim ?” , “Aku janji … kenapa nggak skype sekalian ? kita kan bisa chat langsung via video onlinenya” Suryaban tertawa kecil, “Aku akan selalu merindukan masa masa indah bersamamu, Jodha” sesaat kemudian Suryaban mencium kedua pipi Jodha, Jodha hanya bisa pasrah tapi begitu bibirnya hendak mencium bibir Jodha, Jodha mengelak “Kenapa ?” tanya Suryaban, “Aku malu …” Jodha merasa risih ditempat umum seperti itu memadu kasih, meskipun resto yang dipilih oleh Suryaban sedikit remang remang tapi Jodha merasa sungkan untuk beradegan mesra disana, untungnya Suryaban bisa mengerti tentang Jodha, bagi Suryaban … dengan memeluk, memegang dan mencium pipi Jodha, itu sudah cukup baginya karena Jodha itu jinak jinak merpati … kadang dia bisa begitu mesra tapi kadang pula Jodha bisa sangat judes sekali, Suryaban sudah bisa membaca karakter Jodha, oleh karena itu malam ini dia tidak memaksa Jodha, yang pasti dirinya sudah merasa yakin bahwa Jodha akan menantinya hingga dia pulang menimba ilmu di London, Inggris.
Tiga hari setelah kepergian Suryaban dari sisinya atau selama satu minggu kiriman bunga Jallad yang tidak kunjung berhenti, Jodha mulai merasa kesepian dengan kepergian Suryaban, sore itu Jodha baru selesai latihan koreo disanggar tari, sebagian teman temannya sudah pulang, tapi masih ada tersisa beberapa yang masih asyik memperdalam gerakan tarian yang baru. Dari kejauhan Jodha hanya bisa memperhatikan mereka sambil duduk berselonjor dilantai, sedangkan badannya sengaja disandarkannya kedinding sambil mendengarkan lagu kesukaannya melalui earphone ponselnya, sejenak Jodha memejamkan matanya, semua penat yang terasa selama seharian ini hilang seketika. Namun tanpa Jodha sadari dari kejauhan dipintu masuk, nampak Jalal mulai memasuki sanggar tari tersebut dan bertanya tentang keberadaan Jodha pada salah satu teman Jodha, saat itu masih ada segelintir orang yang berada disana. Ketika Jalal sudah mengetahui posisi Jodha, Jalal langsung berjalan menghampirinya, sesampainya disana dilihatnya Jodha sedang memejamkan matanya sambil mendengarkan lagu dari earphone ponselnya, sementara salah satu lengannya memegang ponsel, sedangkan lengan yang lain dibiarkan terkulai lemah, dengan rambut yang dikucir ekor kuda dan wajah yang penuh dengan sisa sisa keringat tidak mengurangi kecantikan alami yang terpancar dari wajahnya, apalagi dengan balutan kaos dan celana senam selutut yang membalut tubuhnya plus sepatu kets warna putih membuat Jodha semakin sexy di mata Jalal, lama Jalal memandangi Jodha sambil berdiri, ada keinginan untuk membangunkannya tapi ragu ragu. Kemudian Jalal berjongkok didepan Jodha dan perlahan lahan dilepasnya kedua earphone dari telinga Jodha, sesaat Jodha kaget kemudian membuka matanya, dlilihatnya didepannya saat ini ada Jallad si pria berkumis, “Mau apa kamu ?” Jodha langsung marah begitu Jalal ada didepannya saat itu, “Aku cuma mau membangunkanmu dan mengatakan bahwa hari sudah mulai malam, apa kamu nggak pulang ?” , “Terserah aku ! aku mau pulang atau tidak itu bukan urusanmu !” Jodha langsung berdiri kemudian segera mengemasi barang barang bawaannya, Jalal pun ikut berdiri, “Iyaaa … itu memang bukan urusanku, tapi kalau sekedar mengingatkan, apakah itu salah ?” bela Jalal, “Kamu tidak usah mencampuri kehidupanku dan lagi aku juga tidak ingin mencampuri kehidupan pribadimu ! dan satu lagi tidak usah kamu kirim kirim lagi bunga ke rumahku ! asal kamu tau yaaa aku nggak suka !” hardik Jodha dengan nada marah, “Aku kan hanya ingin meminta maaf sama kamu, apakah salah dengan mengirimkan bunga sebagai tanda permintaan maaf, aku ingin meluruskan yang salah diantara kita” , “Tidak ada yang perlu diluruskan !” , “Kamu bilang kalau kamu sudah menerima maafku, itu tandanya kamu sudah bisa menerima aku jadi temanmu kan ?” , “Tidak ! maaf mu aku terima tapi aku nggak mau jadi temanmu !” bentak Jodha sambil berlalu kearah pintu, namun Jalal langsung menyambar tangan Jodha, sesaat Jodha menoleh kearah Jalal dilihatnya Jalal menatapnya dengan tatapan marah yang belum pernah dilihatnya selama ini, “Kamu tau selama ini aku belum pernah dibentak oleh perempuan manapun ! baru kamu yang melakukannya !” bentak Jalal dengan nada marah, “Lalu kamu mau apa ? mau memukul aku ? pukul !” Jodha malah semakin menantang Jalal, “Huh … sombong sekali sih dirimu ! aku sudah berusaha datang secara baik baik untuk meminta maaf padamu tapi kamu selalu menghindar ! apakah kamu kira kamu adalah perempuan yang paling cantik ? kamu kira aku akan mengiba padamu ! asal kamu tau saja diluar sana banyak perempuan yang menunggu kehadiranku ! aku tidak terima perlakuanmu terhadapku ! tunggu pembalasanku !” hardik Jalal dengan nada tinggi , “Aku tidak takut !” bentak Jodha, mendengar ucapan Jodha, Jalal semakin menunjukkan amarahnya lalu tangannya seperti hendak menampar Jodha namun segera dihentikannya “Aaarrhhhggggg !!!” Jalal mencoba mengeluarkan amarah dari dalam dadanya lalu seketika itu juga berlalu dari hadapan Jodha tanpa melihat kearah Jodha sedikitpun, Jodha yang saat itu sudah pasrah menerima tamparan Jalal, merasa lega karena akhirnya Jalal sudah menghilang dari dirinya, Jodha sangat berharap Jalal akan menghilang dari kehidupannya selama lamanya. Bila Saatnya Tiba bag 7