Jangan Panggil Aku Jodha bag 4 by Sally Diandra. Jodha terhenyak dengan kata kata Jalal yang terakhir … “Kamu tidak ubahnya sebagai seorang pelayan buatku !!!!” kata kata Jalal terus berulang ulang terngiang ngiang dalam kepalanya, “Jodha ! Jodha …. kamu tidak apa apa, Jodha….” ujar Moti sambil memegang bahu Jodha yang saat itu masih duduk terjatuh dibawah, begitu dilihatnya sahabat dekatnya itu, Jodha langsung menangis dalam pelukan Moti, “Motiiii ….. “ tangis Jodha, “Jodha, kenapa kamu merendahkan dirimu seperti ini, ini tidak benar, Jodha … kamu seorang putri Rajput dan Ratu Mughal, tidak sepantasnya kamu melakukan itu semua” kata Moti sambil memeluk Jodha erat berusaha untuk menenangkannya, “Apalah artinya semua gelar itu Moti … bila suamiku sendiri tidak menganggap aku ada, apalah artinya diriku ini bila suamiku mengabaikan aku” kata Jodha dalam tangisannya, “Aku tau kamu sangat mencintai Yang Mulia, tapi jangan sampai cintamu mengalahkan logika, Jodha … itu tidak baik, mana Jodhaku yang dulu ? manaaaa ???” ujar Moti, “Jodhamu sudah mati, Motiii ….” kata Jodha sambil terus menangis dalam pelukkan Moti, tepat pada saat itu Hamida Bano datang menemui Jodha ditemani oleh bibi Gulbadan dan Jiji Anga, Hamida terkejut melihat Jodha yang sedang duduk bersimpuh dilantai sambil memeluk Moti dengan tangisan yang menyayat hati, “Jodhaaa ….” panggil Hamida Bano, sesaat Jodha mendongakkan kepalanya dilihatnya ibu mertuanya sudah berdiri disana bersama kedua bibinya, “Jodha, bangun nak …” pinta Hamida Bano sambil mengulurkan tangannya hendak menolong Jodha, sambil menyeka air matanya dengan kedua tangannya Jodha berujar : “Jangan panggil aku Jodha, ibuuu” kata Jodha sambil berusaha berdiri dibantu oleh Moti, semua yang hadir disana langsung terkejut mendengar kata kata Jodha “Jodha ! ucapan macam apa itu ???” tanya Hamida Bano, “Kamu tetap anakku, Jodha Bai ! tidak ada yang bisa menggantikan itu !” ujar Hamida Bano, “Ibuu … tolong mengertilah, anakmu Jodha Bai telah mati, aku bukan Jodha yang dulu, apalah artinya diriku ini bila aku tidak dianggap oleh suamiku sendiri dan hanya dianggap sebagai seorang pelayan” kata Jodha dengan nada memelas, “Jodhaaa … aku tau kalau saat ini Jalal sedang labil, hatinya terluka karena kematian anak anak kalian… aku sedih, Jodha … tapi aku harap jangan kamu tambah penderitaanku dengan ucapanmu barusan, nak” bujuk Hamida Bano sambil mendekati Jodha dan mulai memeluknya, Jodhapun membalas pelukan Hamida Bano erat seakan akan semua beban penderitaannya ingin segera ditumpahkan semuanya disana, “Ibuu … kami bangsa Rajput selalu menganggap suami kami adalah Dewa yang sangat kami hormati, tapi apalah jadinya bila aku telah diabaikan oleh Dewaku sendiri, ibu … tolong katakan padaku ! bagaimana aku bisa hidup bila Dewaku pergi meninggalkan aku, aku tidak tahan dengan semua ini, ibuuu” tangisan Jodha semakin meledak dalam pelukan ibu mertuanya, lama mereka berpelukan ,,, Hamida Bano seakan akan ingin memberikan ruang untuk Jodha agar bisa melepaskan semua penderitaannya, sementara bibi Gulbadan dan Jiji Anga hanya bisa diam membisu, terharu … tak terasa mereka pun ikut menangis melihat kondisi Jodha, sesaat kemudian Jodha melepaskan pelukannya dan sambil terisak isak juga terbata bata Jodha berkata : “Ibu, mulai saat ini … jangan panggil aku, Jodha” pinta Jodha dengan nada memelas sambil mengatupkan kedua tangannya didepan dadanya sambil berlinangan air mata, “Aku mohon, ibu tidak menegur Yang Mulia akan hal ini, karena ini adalah hukuman yang harus aku terima, aku hanyalah seorang pelayan bagi Yang Mulia” kata Jodha memelas, “Anakku …. Ibu tetap menganggap kamu sebagai anakku, Jodha” ujar Hamida sambil merengkuh Jodha kembali dalam pelukkannya, keduanya saling berpelukkan dan menangis bersama, semua yang hadir disana nampak terharu dan tak terasa pipi merekapun basah karena air mata.
Keesokan harinya, Hamida Bano mencoba menemui Jalal diruangannya yang saat itu sedang berkumpul dengan beberapa menterinya, begitu pelayan menginformasikan kedatangan Hamida Bano, semua yang hadir disana langsung berpamitan dan meninggalkan Jalal, “Ada apa, ibu ???” Jalal langsung bertanya begitu melihatnya ibunya datang, “Kamu tidak menjawab salamku, Jalal ?” tanya Hamida Bano, “Langsung to the point saja, apa yang ingin ibu bicarakan ?” kata Jalal ketus, “Aku tidak tahu kemana hilangnya anakku selama ini, tolong katakan dimana kamu sembunyikan anakku Jalalludin Muhammad Akbar !” bentak Hamida Bano, “Akulah … Jalalludin Muhammad Akbar !!!” kata Jalal dengan nada tinggi, “Bukan ! kamu bukanlah Jalalludin Muhammad Akbar ! kamu adalah orang lain yang menggunakan topeng dan berperan sebagai dia !” bentak Hamida Bano, “Aku Hamida Bano adalah ibunya, aku tahu sekali seperti apa anakku Jalalludin Muhammad Akbar ! dia adalah orang yang bijaksana, selalu mengambil keputusan berdasarkan keadilan dan satu yang pasti dia tidak pernah menyia nyiakan istrinya !” bentak Hamida Bano, Jalal yang mendengarkan secara seksama ucapan ibunya tanpa memandangnya secara langsung merasa geram, ditahannya kemarahannya yang rasanya ingin meledak begitu mendengar ibunya berkata seperti itu, “Kamu bukan Jalal ! kembalikan anakku Jalalludin Muhammad Akbar !” pinta Hamida Bano dengan nada melemah, “Anakmu Akbar sudah mati ibu ! aku adalah Jalalludin Muhammad Akbar yang dulu ! aku bebas melakukan semuanya !” kata Jalal dengan nada tinggi, “Jalal, ingat nak … bukan hanya kamu yang menderita, semua orang diistana ini juga merasakan hal yang sama, kami semua menderita, kami semua sedih, sakit atas kematian anak kembarmu terlebih lagi Jodha !” kata Hamida Bano, “Kamu pikir hanya kamu yang menderita, Jalal ? Jodha lebih menderita daripada kamu, tidakkah kamu bayangkan bagaimana keadaannya setelah mengandung si kembar selama 9 bulan, melahirkannya ditengah cuaca yang buruk dimana dia harus berjuang sekuat tenaga antara hidup dan mati, untuk memberikanmu seorang pewaris tahta kerajaan, tapi lalu sekarang semuanya hilang begitu saja, pernahkah terlintas dalam pikiranmu, Jalal ???” tanya Hamida Bano sambil menangis, “Semuanya hilang karena kecerobohannya, ibu ! semua ini karena salahnya …” belum Jalal selesai berbicara, Hamida Bano sudah menghentikan ucapan Jalal, “Cukup Jalal ! aku tahu bagaimana anak perempuanku itu ! jangan kamu mengkambing hitamkan dia atas semua peristiwa ini, itu tidak adil buat Jodha anakku ! ini semua karena takdir, Jalal !” bentak Hamdia, “Hhhh … takdir ibu bilang ?! ini bukan takdir ibu ! dan lagi aku tidak percaya lagi pada Yang Maha Kuasa ! karena dia dengan sengaja telah mengambil anak anakku ! kelak aku akan mengambil nyawa anak anaknya !” kata Jalal tegas, “Apa yang kamu lakukan ini tidak benar, Jalal … kamu harus percaya pada Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kita kehidupan, yakinlah dibalik semua peristiwa yang kita alami, Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah buat kita semua” kata Hamida Bano, “Sekali lagi aku tegaskan ibu ! aku tidak percaya pada Tuhan Yang Maha Kuasa !” ujar Jalal sambil meninggalkan Hamida Bano begitu saja, Hamida Bano benar benar sedih melihat perubahan sikap Jalal yang begitu tragis.
Sementara itu di kamar Jodha, Jodha nampak sibuk mencari cari bajunya didalam peti pakaiannya, dicarinya kesana kesini tapi ditemukan juga sesuatu yang diinginkannya, sesaat kemudian ketika Moti datang menghampiri Jodha, Jodha langsung memberondong Moti dengan berbagai macam pertanyaan, “Kamu dari mana saja, Moti ? tidakkah kamu tahu saat ini aku sedang kesulitan mencari baju bajuku ? disimpan dimana baju bajuku itu, Moti ? kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku ?” tanya Jodha gusar sambil terus sibuk mencari baju bajunya, “Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaanmu ? pertanyaanmu banyak sekali, Jodha … dan lagi baju mana yang kamu maksud ?” tanya Moti sambil menghampiri Jodha dan duduk disebelahnya, “Baju biasaku ,,, yang biasa aku pakai kalo aku menyamar sebagai rakyat biasa” kata Jodha, “Lho bukannya baju baju itu sudah kamu sumbangkan ke fakir miskin ?” ujar Moti, “Oooh iya … aku lupa, Moti … kalo begitu pinjamkan aku baju bajumu, Moti” pinta Jodha sambil menengadahkan kedua tangannya tanda meminta, “Buat apa, Jodha ???” tanya Moti penasaran sambil memegang tangan Jodha lembut dan menurunkanya kebawah, ”Berulangkali sudah aku bilang,Moti … jangan panggil aku Jodha…” kata Jodha dengan nada mengiba, ‘Tidak Jodha, kamu tetap ratuku yang sangat aku sayangi dari dulu, sekarang katakan padaku mau kamu apakan baju bajuku itu ?” tanya Moti penasaran, “Pinjamkan dulu padaku, Moti … nanti kamu akan tahu apa yang akan aku lakukan” pinta Jodha dengan nada memelas. … Jangan panggil aku Jodha bag 5