Takdir bag 13 by Tahniat. Sampai dirumah, Jodha segera naik ke lantai atas. Jalal membuntutinya. Jodha masuk ke kamarnya dan hendak menutup pintu, ketika dia melihat Jalal berdiri mematung di pintu kamarnya. Dengan heran Jodha menatap Jalal, “apa?” Jalal mengendikkan bahu dan menunjuk ke pintu kamarnya sendiri. Tanpa menunggu komentar Jodha, Jalal segera melangkah pergi. Belum juga Jalal masuk kekamarnya, Jodha dengan ragu-ragu memanggilnya, “Jalal..” Jalal dengan cepat membalikkan badan dan menatap Jodha dengan tatapan aneh. Jodha jadi jengah, tapi di paksakannya juga berkata, “aku ingin…..pindah kamar, boleh?” Jalal memicingkan mata dan tersenyum, “tentu saja boleh. Kamar ku cukup luas untuk kita berdua.”
Jodha terperangah tak percaya, “bu..bukan pindah ke kamarmu. Tapi ke salah satu kamar di depan itu, ~Jodha menunjuk pintu kamar purple atau pink yang ada di depannya~ Aku merasa tidak nyaman tinggal di kamar ini!” Senyum di bibir Jalal hilang, dengan tegas dia menggeleng, “tidak! Kedua kamar itu untuk para tamu. Kalau kau ingin pindah, kau bisa pindah ke kamarku.” Jodha membantin, “pindah ke kamarmu? sama saja bohong. Aku hanya tidak suka kalau kau tiba-tiba muncul di kamarku melalui pintu penghubung.” Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Jodha masuk kekamarnya, Jalal menatap kepergiannya dengan seulas senyum licik terukir di bibir.
Begitu sampai di dalam kamar, Jodha segera masuk kekamar mandi. Mengisi bathtub dan segera merendam diri. Segar rasanya. Sambil mengosok tubuhnya, Jodha membayangkan kembali apa yang sudah dialaminya semalam. Bagaimana ketakutannya dia saat di tinggalkan Jalal di pinggir jalan yang gelap dan sepi itu. Untungnya dia tidak harus menunggu lama, Sebuah BMW hitam lewat di depannya, sudah jauh melaluinya, tapi kemudian BWM itu mundur lagi. Jodha sudah was-was dan panik. Ketika pintu BMW itu terbuka, Jodha sudah bersiap-siap untuk lari.
Sebuah suara yang tidak di kenal memanggil namanya, “Jodha…” Jodha menoleh kearah pintu mobil. Di sana berdiri Hamida Bano dengan tatapan cemas dan heran. Dengan lega dan gembira, Jodha berlari memeluk Hamida dan menangis di dadanya. Hamida kemudian membawanya pulang kerumahnya tanpa bertanya apa-apa. Hanya ada tatapan penuh rasa sesal dan rasa bersalah yang terbayang dimatanya. Membayangkan Hamida yang lemah lembut, perhatian dan penuh kasih sayang dan membandingkannya dengan Jalal yang arogan, apatis dan tidak berperasaan. Jodha merasa sangsi kalau kedua orang itu punya hubungan darah. Setelah merasa cukup lama berendam, Jodha segera keluar dari bathtub dan membilas tubuhnya.
Jodha lupa membawa baju ganti. Dengan hanya berbalut handuk, dia keluar dari kamar mandi dan tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan, dia segera menuju ke lemari. Memilih satu setelan yang akan di pakainya, dan melemparkannya ke tempat tidur. Sambil membungkuk, Jodha mengambil baju dalam di laci paling bawah lemari. Lalu sambil memegang baju dalam, Jodha menutup pintu lemari dan membalikan badan. Dan, “achhh…” Jodha terbelalak kaget, saat melihat Jalal berdiri menyandar sambil bersendekap di samping pintu penghubung. Tanpa membuang waktu, Jodha segera meraup setelan yang di lemparkannya di tempat tidur tadi, dan berlari ke kamar mandi. Karena tergesa-gesa belitan handuknya terlepas. Untungnya dia sudah sangat dekat dengan pintu kamar mandi. Dan selama beberapa detik, Jalal sempat melihat tubuh polos Jodha yang mempesona.
Jalal menelan ludah dan terpana tak percaya dengan peruntungannya. Sedangkan Jodha, dia memaki panjang pendek menyesali kebodohannya. Dia sama sekali lupa tentang pintu penghubung itu. Dengan gemetaran dan dada berdebar-debar, Jodha mengenakan pakaian. Setelah selesai dia tidak segera keluar. Dia berdiri menyandar di meja toilet. Dalam hati Jodha berdoa, semoga jalal sudah pergi ke kantornya. Dia tak tahu bagaimana harus menghadapi Jalal. Sebersit rasa malu memenuhi hati dan pikirannya. Jodha bisa membayangkan kalau Jalal pasti telah melihat semuanya… semua yang seharusnya tidak dia lihat, apalagi saat dia membungkuk di depan lamari tadi.
Jodha menepuk jidatnya, sekali lagi dia menyesali keteledorannya. Jodha hilir mudik di kamar mandi dengan gelisah, malu dan berbagai perasaan yang sebagian tidak bisa dia definisikan. Setelah cukup lama mengurung diri, dan berpikir kalau Jalal pasti sudah pergi, Jodha segera membuka pintu kamar mandi yang terkunci itu dengan pelan-pelan. Dan sekali lagi, dugaannya meleset. Saat pintu sudah terbuka separuh, dia melihat Jalal berdiri di depan pintu sambil memegang handuk yang jatuh tadi. Jodha di sergap dilema, antara mengurung diri kembali di kamar mandi atau keluar dan berhadapan dengan Jalal. Jodha berpikir kalau dia mengurung diri kembali dalam kamar mandi kesannya “childish”. So, dia memilih option kedua. Menghadapi Jalal. Meski dengan wajah merona merah.
Jalal menatap Jodha tanpa ekspresi, tidak ada tatapan mengejek, mengoda ataupun gairah. Datar saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Dia mengulurkan handuk yang di pegangnya pada Jodha sambil berkata, “apa yang kau lakukan di dalam sana? Kenapa lama sekali?” Jodha menerima handuk itu tanpa berani menatap Jalal. Jalal melanjutkan, “aku hanya ingin mengatakan kalau nanti tidak usah masak untuk makan malam. Aku ingin mengajakmu dinner di luar.” Jodha denga cepat mengangguk, berharap Jalal akan segera meningalkannya. Melihat Jodha seperti enggan bicara padanya, Jalal segera melangkah pergi ke pintu, bukan pintu penghubung, tapi pintu kamar yang mengarah keluar. Dia membuka kunci pintu kamar Silver, dan menoleh lagi pada Jodha, “aku pergi ke kantor. Sebaiknya kau istirahat, dan jangan keluar rumah. Mengerti?” Jodha mengangguk. Sebelum pergi, sekali lagi Jalal memandang Jodha dan melempar senyum aneh.
Begitu terdengar suara mobil Jalal menjauh, Jodha baru bisa bernafas lega….Takdir bag 14