Takdir bag 16 by Tahniat. Melihat Jalal yang begitu perhatian padanya, Jodha merasa senang. Dia berharap setelah ini hubungannya dengan Jalal menjadi baik. Bagaimanapun akan lebih enak kalau hidup serumah dengan berbagi kasih sayang dari pada bermusuhan. Dan lagi kesalah pahaman antara mereka sudah pun di jelaskan. Meski Jalal masih menyiratkan kalau dia belum bisa memaafkan Jodha sepenuhnya karena telah menamparkan, tapi Jodha yakin, dari gestur tubuhnya dan mimiknya saat mengucapkan kata-kata itu, dia tidak bersungguh-sungguh. Jodha bertekad akan membuat Jalal melupakan sakit hatinya dan memulai lebaran baru bersamanya. Lagi pula, dia adalah Jodha Bai, putri Rajvanshi… apa yang tidak bisa dia lakukan kalau sudah di tekadkan? Jodha tersenyum.
Jalal yang sempat melihat senyum tipis di bibir Jodha terlihat heran dan bertanya, “apa yang membuatmu tersenyum? Apakah kakimu sudah tidak sakit lagi?” Jalal kemudian menyentuh pergelangan kaki Jodha yang sudah di kompresnya dengan kompres dingin. Jodha seketika berteriak kesakitan. Jalal memicingkan mata menatap Jodha, mengamati raut wajahnya yang masih meringis menahan sakit, “kau tau, aku telah memesan meja untuk dinner kita. Apakah kau bisa berjalan?” Jodha mengendikkan bahu. Lalu dengan di bantu Jalal, Jodha berdiri dan mencoba melangkah. Tapi dia mengurungkan niatnya, karena rasa sakit semakin terasa saat dia mengerakkan pergelangan kakinya. Dengan putus asa, Jodha kembali duduk di sofa, “sepertinya aku tidak bisa pergi denganmu. Kau pergilah sendiri saja..!”
Jalal menatap Jodha dengan kening berkerut, menghela nafas, lalu berkata, “ya, sebaiknya memang begitu. Sayangkan aku sudah memesannya maham-mahal, tapi tidak jadi datang. Kau tak apa kan kalau kutinggal?” Ada sebersit rasa kecewa di mata, Jodha. Tapi dia coba menyembunyikannya dengan menundukkan kepala. Kemudian Jalal berkata, “tapi dinner sendirian juga tidak nikmat, aku harus mengajak seseorang… siapa ya?” Jodha merasa terganggu dengan kata-kata Jalal, “kenapa tidak kau ajak salah satu teman wanitamu?” Jalal terngangah, lalu sambil tersenyum gembira dia berkata, “hah… ide yang bagus. ~jalal dengan sudut matanya mengamati perubahan wajah Jodha, ada rasa tidak senang dan cemburu di sana, tapi Jalal pura-pura tidak melihatnya dan terus berkata~ baiklah, aku harus ganti baju dulu. Bajuku terasa lembab karena air matamu..” Jodha mengangkat wajahnya menatap Jalal, Jalal tersenyum. Jodha terpana melihat senyuman itu. Jalal melirik jam tanganya, “sudah hampir pukul 7, aku bersiap-siap dulu..” tanpa menunggu sahutan Jodha, jalal bergegas pergi ke kamarnya.
Sepeninggal Jalal, Jodha bebas melampiaskan kekecewaannya. Dia benar-benar kecewa melihat sambutan Jalal atas usulnya. Padahal dia berharap, Jalal akan menolak dan memilih menemaninya di rumah. Karena walaupun kakinya sakit dan dia kesulitan melangkah, tapi dia yakin kalau dia masih bisa membuat makan malam spesial untuk mereka berdua. Tapi Jalal berpikir lain. Dia lebih memikirkan reservasi meja daripada perasaannya. Dan yang membuat Jodha lebih kesal lagi adalah karena dia juga setuju dengan sarannya untuk mengajak salah satu teman wanitanya. Tanpa mempertimbangkan perasaannya. Padahal meski dia tak mengatakannya, dia merasakan sedikit rasa cemburu. Memikirkan rasa cemburu yang hadir di hatinya, Jodha tersipu malu. Dia tidak tahu, kenapa dia cemburu. Tapi memang dia merasakan itu. Di tidak senang mengingat Jalal akan mengajak teman wanitanya dinner. Dia kecewa dan sedih. Tanpa tau pasti alasannya. Untuk menenangkan keresahan hatinya, Jodha coba menyadari batas kemampuannya sendiri. Kakinya terluka dan terasa sakit saat melangkah. Tidak mungkin baginya untuk pergi bersama Jalal dengan kaki pincang. Dia hanya akan menjadi beban.
30 menit telah berlalu, Jalal kembali keruang tamu. Jodha terpesona dan heran melihat penampilan Jalal. Katanya mau pergi dinner, tapi dia malah mengenakan setelan casual, t-shirt ketat putih dan celana pendek bermuda abu-abu. Dadanya yang bidang terpampang nyata d balik tshirt yang dikenakannya. Melihat Jodha menatapnya begitu rupa, Jalal balas menatapnya dan bertanya, “apa?” Jodha cepat cepat mengalihkan pandanganya dan menjawab, “tidak apa-apa. Kau bilang akan pergi dinner. Kenapa memakai pakaian seperti itu?” Jalal menatap setelan yang di pakainya dan bertanya dengan heran, ‘oh..apakah ada yang salah?” Jodha menggeleng. Dalam hati dia menyesali diri karena telah menunjukan perhatian yang berlebih. Jodha berpikir, “Kenapa memangnya kalau dia memakai pakaian seperti itu? Biarkan saja. Bukan urusanmu. Hanya karena kau sudah tidak marah dan tidak membencinya lagi, bukan berarti dia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu. Jadi berhentilah mencampuri urusannya.“
Jalal melangkah ke depan jendela kaca di samping pintu. Dia membuka kordennya sedikit dan mengintip keluar dengan tak sabar. Kelakuannya persis seperti orang yang sedang menunggu. Jodha berpikir, mungki Jalal sedang menunggu wanita yang akan di ajaknya pergi dinner. Muncul perasaan tidak senang dalam hatinya. Tidak ingin menyiksa diri lebih lama karena perasaan-perasaan tidak masuk akal yang muncul di hati dan pikirannya, Jodha memberitahu Jalal kalau dia akan pergi ke kamarnya.
Dari tatapan matanya, Jalal terlihat keberatan. Tapi Jodha sudah terlanjur melangkah. Dengan tertatih-tatih dan menahan rasa sakit dia menaiki tangga. Melihat itu Jalal merasa iba. Jalal kemudian meraih pinggang Jodha dan memegang pundaknya untuk membantunya. Jodha melangkah sangat pelan, terlalu pelan. Jalal merasa tidak sabar. Tanpa basa basi, Jalal meraih tubuh Jodha dan membopongnya. Semula Jodha memberontak dan protes. Jalal tidak mengubrisnya. Dengan langkah tegap dia menaiki tangga sambil membopong tubuh Jodha. Karena takut jatuh, mau tak mau Jodha merangkul tubuh jalal erat, dan menyembunyikan kepalanya di dada bidang Jalal. Jalal mengangkat tubuh Jodha seperti mengangkat tubuh anak kecil saja. Dia tidak terlihat ngos-ngosan karena membawa beban berat. Di depan pintu silver, dia menurunkan tubuh Jodha dengan perlahan.
“Nah..sudah sampai. Cepatkan? Kau bisa masuk sendiri atau aku harus membopong mu lagi?” tanya Jalal dengan nada mengoda. Jodha tersenyum, “tidak, aku bisa sendiri. Terima kasih.” Jalal mengangguk. Dia menunggu sampai Jodha masuk dan menutup pintu kamarnya. Setelah itu baru dia melangkah pergi keruang bawah sambil menyentuh dadanya. Wajahnya yang sedari tadi terlihat tenang, kini terlihat tidak karuan. Nafasnya terengah-enggah dan pipinya memerah. Jalal memutar bola matanya dengan kacau, dalam hati dia berkata, “apa ini? apa yang kurasakan ini? kenapa aku merasa begitu bahagia saat bersentuhan denganya? kenapa dadaku berdebar-debar saat mendekapnya. Kenapa aku memeluknya dan tak ingin melepaskannya lagi? Kenapa? ada apa? mengapa?“
Di kamar Jodha juga kebingungan dengan perasaanya sendiri. Dia merasa hatinya berbunga-bunga saat Jalal membopongnya. Saat kepalanya menyentuh dada Jalal, jodha merasakan kedamaian. Jodha sempat menghirup aroma tubuh Jalal yang menghanyutkan. Jodha bahkan sempat berharap, Jalal akan membopong dia lebih lama. Dan tidak akan melepaskannya. Pikiran dan perasaan yang campur aduk itu membuat Jodha pening sendiri. Dia segera membuka pintu lemari, mengambil satu stel pakaian ganti dan segera masuk kemar mandi. Jodha kini berusaha untuk selalu berhati-hati. Karena tidak ingin insiden tadi pagi terjadi lagi…. Takdir bag 17