Takdir bag 17 by Tahniat. Dari sejak masih gadis, Jodha kalau mandi memang lama. Dulu Mainawati seringkali dengan tidak sabar mengetuk pintu kamar mandi hanya untuk mengecek keberadaanya. Apalagi jika dia ingin menghindari sesuatu atau menenangkan diri, dia pasti akan berendam lama-lama di bathtub. Kebiasaan seseorang memang susah di ubah. Seperti kali ini juga. Dia tahu Jalal pasti akan pergi tanpa terpikir untuk berpamitan padanya. Jodha tidak merasa keberatan, itu malah lebih baik, jadi dia tidak perlu basa basi di depan teman wanitanya. Sambil menyabun tubuhnya, Jodha membayangkan kembali apa yang telah dialaminya beberap hari terakhir ini.
Belum seminggu dia menikah dengan Jalal, tapi telah begitu banyak peristiwa terjadi. Jodha tidak sanggup membayangkan apalagi yang akan terjadi kedepan nanti. Karena itu dia tidak mau mencoba menduga-duganya. Memikirkan apa yang terjadi dan sudah di alaminya saja dia sudah sangat-sangat lelah. Merasa sudah cukup berendamnya, Jodha segera keluar dari bathtub, membilas diri, mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaiannya. Ketika memakai pakaian ganti, peristiwa memalukan tadi pagi terbayang lagi. Jodha menggeleng-gelengkan kepala berusaha menepisnya. Dalam hati dia berkata, “sudah terjadi. Untuk apa disesali… yang penting, lain kali akau akan berhati-hati.”
Jodha keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan pakaian rapi. Jodha melihat pintu kamarnya terbuka lebar. Jodha heran, karena dia ingat sebelum masuk kamar mandi, dia sudahpun menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tapi rasa herannya tidak berlangsung lama, dari balik pintu kamar, muncul Jalal dengan senyum lebar, “aku baru saja akan mengetuk pintu kamar mandi. Aku takut kalau kau pingsan di dalam..” Jodha mencibirkan bibir dengan manis. Jalal berkata lagi, “ayo keluarlah, aku sudah mempersiapkan semuanya.” Jodha dengan rasa ingin tahu, melangkah tertatih-tatih keluar kamar. Di depan pintu dia terhenti, dia melihat di depan kamarnya ada sebuah meja, dengan berbagai hidangan diatasnya dan sebuah lilin yang menyala. Jodha tak tahu harus berkata apa, ada rasa haru dan senang menyesaki rongga dadanya.
Jalal menarikkan kursi untuk Jodha sambil berkata, “bisa kita makan sekarang? ~Jalal menepuk perutnya~ Aku sudah lapar.” Jodha merapikan letak handuk kecil yang tergulung bersama rambutnya yang basah. Jodha tanpa buang waktu lagi duduk di kursi yang di tarikkan Jalal. Bukan karena dia kelaparan, tapi karena kakinya terasa sakit kalau berdiri terlalu lama. Jalal membuka semua alumunium Foil yang menutupi wadah makanan yang ada di atas meja. Jodha dengan heran bertanya, “dari mana kau mendapatkan semua hidangan ini?” Jalal menarik garis bibirnya membentuk senyuman setengah mengoda dan setengah mengejek, “hanya karena kita tidak bisa datang kesana, bukan berarti mereka tidak bisa mengantarkan makanan kemari. Bahkan meja dan kursi ini, mereka yang menyiapkannya.” Jalal kemudian duduk di kursinya. Jodha ingin bertanya, kenapa Jalal tidak jadi pergi bersama teman wanitanya. Tapi Jodha menahan pertanyaan itu di pikirannya, takut merusak suasana.
Jalal menuang nasi dan lauk-pauk ke piringnya. Dia menatap Jodha yang terdiam setengah melamun. Jalal berdehem pelan, Jodha tersadar. Jalal bertanya, “kita makan sekarang?” Jodha mengangguk. Dia mengambil nasi dan lauk-pauk secukupnya. Sebelum makan, keduanya mengheningkan cipta dulu dan berdoa. Mereka makan dengan hening. Ada sedikit rasa canggung diantara keduanya. Bagaimanapun, malam ini adalah malam pertama mereka duduk semeja dengan perasaan berbeda. Malam-malam yang lalu, mereka memang makan bersama, tapi dengan rasa terpaksa. Itupun di sertai dengan tatapan benci dan marah, serta kata-kata bernada sindiran dan ejekan. Tapi malam ini, suasana memang hening, tapi hening yang damai.
Selesai makan, Jodha berniat membereskan sisa-sisa makanan dan membawanya turun ke dapur. Tapi Jalal mencegahnya. Dia menyuruh Jodha masuk kekamarnya. Jodha menolak, dia merasa tidak enak membiarkan jalal beres-beres sementara dia tidak melakukan apa-apa. Melihat itu dengan nada pura-pura marah, Jalal berkata, “kau akan punya banyak kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan seperti ini. Kali ini, kau duduk sajalah. Biarkan aku yang mengerjakan. Ini lebih mudah daripada membopong tubuhmu naik turun tangga sambil membawa piring.” Jodha protes, “kau tidak perlu membopongku, aku bisa berjalan sendiri.” Jalal tidak terbujuk dan dengan tatapan kesal dia berkata, “cukup, Jodha, aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Lakukan saja apa yang ku suruh…..” Akhirnya, karena tidak ingin membuat suasana menjadi tegang, Jodha menurut saja apa kata Jalal. Dia masuk ke kamarnya meski dengan perasaan tidak enak.
Jodha bangun kesiangan. Semalam dia tidak bisa tidur, benak dan pikirannya terfokus pada Jalal dan pada apa yang telah di lakukannya. Baru jelang dini hari, karena terlalu letih dia terlelap. Jodha melirik Jam dinding, hampir pukul 8. Dia bergegas ke kamar mandi, tapi tak lama kemudian keluar lagi, untuk mengambil baju ganti. Setelah mandi dan berdandan dia keluar kamar. Sakit di kakinya sudah agak mendingan. Jalannya belum normal, tapi setidaknya tidak memalukan. Kebayangkan apa kata orang, cantik-cantik pincang. Jodha yakin, Jalal pasti sudah pegri ke kantor. Semalam, dia sudah sangat baik padanya. Menyiapkan dinner dan membereskannya. Kini giliran Jodha untuk membalas kebaikannya dengan membersihkan rumah dan merapikannya. Bagaimanapun itu adalah salah satu tugas istri. Menyebut dirinya sebagai ‘istri’ Jodha jadi malu sendiri. Dia sadar pernikahan mereka mempunyai tujuan berbeda di awalnya. Tapi sekarang, setelah semua jelas, dia akan berusaha menjadi istri yang baik. Jalal mungkin belum bisa menerima dirinya sepenuhnya, karena rasa sakit hatinya. Tapi sebagai istri, adalah tanggung jawabnya untuk dapat di terima oleh suaminya.
Jodha keluar dari kamarnya. Di depan pintu kamar, dia berdiri tertegun dengan heran melihat seorang wanita masuk ke kamar Jalal. Hati Jodha langsung berdebar-debar tak karuan. Dia ingat kata-kata pelayan saat baru pertama datang, kalau Jalal seringkali membawa perempuan kerumahnya. Wanita itu berambut sebahu dan mengenakan sari berwarna biru, dengan Chaniya Choli berwarna senada. Jodha tidak tahu harus bagaimana. Membuntuti wanita itu kekamar Jalal dan melabraknya atau…..
Dalam kebigungan, tiba-tiba wanita itu keluar dari kamar Jalal dan menutup pintunya. Ditanganya ada segepok pakaian. Melihat Jodha, ~wanita itu yang ternyata masih sangat muda, mungkin seusia dengan Jodha~ menghamirinya, melipat tanganya di dada dan memberi salam, “salam Jodha begum.” Jodha merasa pernah melihat wanita itu, dia mencoba mengingatnya. “Saya Moti, siap melayani anda.” Hah… jodha ingat, dia adalah pelayan yang mengantarkannya ke kamar malam itu. Jodha merasa sangat lega dan tersenyum sumringah. Dia membalas salam Moti…..Takdir bag 18