Takdir bag 22 by Tahniat. Setelah menunggu cukup lama akhirnya Rahul menghampiri Freya. Dia menatap Freya sambil menggelengkan kepalanya, lalu pada Jodha dia berkata, “Jodha, aku minta maaf padamu. Entah apa yang sudah terjadi, tapi kurasa, Jalal tidak akan kesini. Kau saja yang kesana. Dia ada di kamar tamu. ~kata Rahul pada Freya~ kau bisa antarkan Jodha kesana? Aku yang akan menemui tamu.” Freya mengangguk dan menggandeng tangan Jodha agar mengikutinya. Jodha terlihat cemas, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam hati dia berdoa, semoga Jalal tidak kenapa-kenapa.
Freya mengajak Jodha naik kelantai atas dan memasuki sebuah kamar. Dalam kamar itu terlihat Jalal sedang duduk menyandar di sofa dengan mata terpejam dan kaki selonjor diatas meja. Jodha bergegas mendekatinya. Dengan cemas dia menyentuh kepala Jalal, takut kalau dia sakit atau deman. Merasakan sentuhan dikeningnya, Jalal membuka matanya. Saat ternampak Jodha, Jalal memanggil namanya, “Jodhaa…” Jodha segera menarik badannya sambil menutup hidung. Aroma alkohol tercium dari nafas jalal, tidak terlalu keras, tapi cukup mengganggu penciuman. Jodha menatap Freya, yang di tatap mengendikan bahu, dengan dagunya dia menunjuk sebuah botol antik di atas meja di dekat kaki Jalal. Jodha menatap botol itu, “Remy Martin XO”, isinya masih penuh.
Melihat Jodha menjauh, Jalal berusaha bangkit, tapi tubuhnya sangat lemah. Dia menggapaikan tangannya sambil berkata, “jangan pergi Jodha Begum…aku ingin bicara padamu.” Jodha menatap Freya dan bertanya, “Freya, aku belum pernah merawat orang mabuk. Aku harus bagaimana?” Freya menyahut, “aku juga tidak tahu, Jo. Tapi sebaiknya biarkan dia beristirahat dulu, setelah pengaruh alkohol hilang, baru kau membawanya pulang.” Jodha menatap Jalal dengan prihatin. Dalam hati dia bertanya masalah apa yang sampai membuat Jalal mabuk seperti ini. Rahul datang dan menanyakan keadaan Jalal, “bagaimana dia?” Freya menggelengkan kepala.
Pada Jodha Rahul bercerita, “dia datang awal, katanya ingin membantu persiapan. Tapi kemudian dia minum terlalu banyak. Aku juga heran, karena biasanya Jalal tidak seperti ini. ” Jodha dengan rasa ingin tahu bertanya, “apakah dia suka minum dan sering mabuk?” Rahul menggeleng, “tidak! Jalal minum pada saat-satt tertentu saja. Seperti saat menjamu kolega atau clien. Tapi tidak pernah tanpa alasan dan juga sampai semabuk ini. Hari ini adalah hari istimewa buatku, dan dia malah teler begini.”
Jodha menatap Freya dan rahul bergantian dengan tatapan menyesal, “aku minta maaf pada kalian. Kami datang kesini untuk merayakan kebahagiaan kalian. Tak menyankah akan seperti ini.” Rahul menjawab, “tidak apa Jodha. Jalal dan aku sudah seperti saudara. Dia pasti sedang punya masalah yang ingin di lupakannya. Tapi aku tidak tahu masalah apa, karena di kantor semua baik-baik saja. Dan waktu kutanya, dia juga tidak bercerita. Tapi jangan khawatir ~Rahul melirik Remy Martin~ dia cuma minum sedikit, pengaruh alkohol akan hilang tak lama lagi. Aku akan meminta pelayan untuk membuatkan kopi. Kau akan menungguinya di sini atau ikut kami ke depan?” Jodha tanpa berpikir lama menjawab kalau dia akan tinggal dalam kamar menjaga Jalal. Rahul mengangguk. Dia kemudian pergi sambil menggandeng tangan Freya.
Jodha berdiri tepat didepan Jalal dan mengawasinya. Ingin rasanya membuat Jalal tidak mabuk, tapi tidak tahu harus bagaimana. Jodha berpikir, “mungkin menyiramnya dengan air dingin bisa membantu. Tapi dia akan basah..dan lagi ini bukan di rumah.” Jalal membuka matanya lagi, dan menatap Jodha. Dia tertawa dan berkata, “kenapa kau banyak sekali, Jodha? Satu Jodha saja sudah membuatku seperti ini…” Jalal berusaha mengangkat kepalanya dari sandaran kursi, tapi dia mengeluh kalau kepalanya terasa sangat berat dan sekelilingnya berputar. Jodha tidak berkomentar. Dia hanya memandangi saja apa yang di lakukan Jalal.
Terdengar ketukan di pintu, Jodha membukakannya. Seorang pelayan berdiri di depan pintu sambil membawa secangkir kopi hangat. Jodha menerima cangkir itu dan mengucapkan terima kasih. Jodha segera menghampiri Jalal, menyuruhnya meminum kopi. Semula Jalal menolak. Tapi Jodha memaksanya. Dia menepuk-nepuk pipi Jalal agar dia membuka matanya. Jalal membuka mata, Jodha menyodorkan mulut cangkir ke bibir Jalal. Jalal menyeruput kopi itu sedikit. Jodha menyuruhnya lagi. Jalal meminumnya hingga separuh. Kemudian sambil menaruh kembali kepalanya kesandaran kursi, jalal mengucapkan terima kasih. Melihat tingkahnya, Jodha ingin tertawa, tapi juga merasa menyesal. Jodha berdiri dan duduk di sofa lain di depan Jalal. Dengan sabar Jodha menunggu sampai Jalal agak mendingan. Dia berharap kafein dalam kopi akan segera menurunkan pengaruh alkohol dalam tubuhnya.
Satu Jam telah berlalu. Jodha mendengar suara hiruk pikuk musik dan perbincangan orang di ruang pesta. Jodha tidak menyesal tidak bisa berada di luar sana. Yang di sesalinya adalah karena ini adalah hari spesial kawannya, dan dia tidak bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka. Jodha tidak tahu, sampai berapa lama mereka berdua akan berkurung di kamar ini. Jodha berpikir untuk membawa Jalal pulang dan istirahat di rumah saja. Tanpa membuang waktu lagi, Jodha keluar kamar untuk menemui Rahul di ruang pesta. Dia dengan mudah menemukannya sedang berdansa bersama Freya, Jodha berdiri di tepi menanti. Freya mengetahui kehadiran Jodha. Jodha tersenyum padanya. Untungnya tak lama kemudian musik sudah berganti. Freya dan Rahul mengucapkan terima kasih.
Di iringi tepuk tangan dan pujian para undangan dia menghampiri Jodha. Rahul bertanya, “bagaimana Jalal?” Jodha menjawab, “dia sudah agak baikan. Kalau kau tidak keberatan, ku pikir sebaiknya aku membawanya pulang. Dia bisa istirahat dengan tenang dirumah.” Rahul dan Freya bertatapan, keduanya mengangguk setuju. Kata Rahul, “ku pikir sebaiknya memang begitu. Aku akan mengantarmu.” Jodha menolak, “tidak usah, Rahul Ji. Biar aku sendiri. Mobilnya ada di sini kan? Aku hanya butuh bantuanmu untuk menuntunnya ke mobil.” Rahul mengangguk, “baiklah, akan ku suruh petugas parkir membawa mobilnya kedepan. Dan aku akan membawa Jalal ke mobil. Kau disini saja. Akan kuberitahu kalau semua sudah siap.”
Jodha mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Seperti merasakan ketegangan yang di rasakan Jodha, Freya segera memeluk dan merangkulnya, “Jangan sedih Jodha, besok juga dia akan baik-baik saja.” Jodha menyahut dengan lirih, “aku tidak sedih karena dia mabuk, tapi aku menyesal kenapa hari ini, ini hari istimewa untuk mu dan Rahul…” Freya dengan bijaksana berkata, “kita tidak bisa memilih kapan sebuah masalah sebaiknya menghampiri kita. Tapi kita cenderung mencari solusi paling mudah untuk melupakannya.” Jodha menatap Freya dan tersenyum tulus, “aku tidak tahu harus bagaimana tanpa dirimu dan Rahul.” Freya menyentuh pipi Jodha, “aku yakin kau tahu. Aku tahu siapa dirimu, Jodha. Kita berteman sudah cukupp lama. Kau pasti mampu menghadapi semua masalah. Kau hanya belum menyadarinya.”
Rahul datang mengatakan kalau mobil dan Jalal sudah siap di depan. Rahul dan Freya mengantar Jodha sampai di depan mobilnya. Sebelum pergi, Jodha mengucapkan terima kasih, meminta maaf dan minta diri. Freya memeluk Jodha dan mengucapkan sampai jumpa. Pada Rahul Jodha memberi salam dengan melipat tangan di dada. Rahul membalasnya. Dengan penuh percaya diri, Jodha duduk di belakang kemudi Audi putih. Jodha belum pernah mengendarai mobil sport, tapi dia yakin dia bisa. Dan keyakinannya itu telah membawanya tiba di rumah.
Moti membantu menuntun jalal dan mendudukannya di sofa ruang tengah. Jalal sebenarnya sudah kuat berjalan. Tapi masih sempoyongan. Setelah memasukan mobil ke garasi, Jodha menyuruh Moti pergi. Jalal sudah setengah sadar. Jodha menyuruh Jalal minum air putih. Jalal menurut. Jodha membantu Jalal melepas sepatu dan kaos kakinya. Setelah itu dia beranjak untuk mengunci pintu dan menutup semua korden jendela. Jalal mengawasi Jodha dan memanggilnya, “Jodha begum…” Jodha menoleh dan melangkah menghampiri jalal, “ya?” Jalal tersenyum dan berkata, “kau cantik sekali Jodha…!” Jodha tersipu sesaat, tapi begitu sadar, dia balas menatap Jalal dan tersenyum masam. Dengan lirih Jodha berguman, “ku rasa dia tidak sadar dengan apa yang di katakannya. Aku tidak akan meladeninya.” Jodha kemudian mendekati Jalal dan bertanya, “apakah kau bisa berjalan sendiri, Jalal? Ini sudah sangat malam. Aku akan mengantarmu pergi ke kamar.” Jalal mencoba berdiri, tapi sedikit sempoyongan. Melihat itu, Jodha jadi teringat saat dia terluka dan Jalal membopongnya. Kali ini, giliran Jodha untuk membantu Jalal.
Jodha meraih tubuh Jalal, dia meletakkan tangan Jalal kepundaknya dan dia sendiri merangkul pinggang Jalal. Dengan cara itu, Jodha memapa Jalal ke kamarnya. Jodha membaringkan Jalal di tempat tidur. Ketika Jodha akan beranjak pergi, Jalal meraih tanganya dan berkata, “jangan pergi Jodha. Tinggallah di sini malam ini..” Jodha dengan halus melepaskan pegangan Jalal di tangannya sambil berkata, “sudah malam, Jalal. Istirahatlah.” Jodha kembali hendak melangkah pergi, tapi kali ini Jalal meraih sareenya. Jodha menghela nafas dan berkata dengan sabar, “Jalal….!” Tidak ada sahutan.
Jodha menoleh, Jalal sudah berdiri di belakangnya dan dengan cepat memeluk pinggangnya. Jodha berbalik dan mendorong tubuh Jalal menjauh. Tapi Jalal semakin mempererat pelukannya. Dia bahkan mencoba mencium Jodha. Dengan sekuat tenaga Jodha mendorongnya. Jalal terpelanting jatuh, kepalanya terantuk pinggir tempat tidur. Jodha kaget sendiri melihat akibat perbuatannya, dia berseru, “Jalal..!” Jalal meringis kesakitan. Jodha mendekati Jalal hendak membantunya bangkit. Tapi Jalal menepis tangan Jodha. Dengan menahan sakit Jalal berusaha berdiri sendiri. Matanya yang merah menatap penuh amarah, dengan geram Jalal berkata, “aku suami mu Jodha, aku hanya ingin bermesraan denganmu. Kenapa kau mendorongku?” J
odha menyahut dengan nada menyesal, “maafkan aku, aku tidak bermaksud mendorongmu. Kau sedang mabuk Jalal. Kau sebaiknya istirahat.” Tanpa menunggu sahutan Jalal, Jodha hendal melangkah pergi. Jalal berteriak marah, “pergi! Pergi kau dari sini! Aku tidak akan memaafkanmu, Jodha! Pergi kau dari sini!” Jalal meraih bantal yang tak jauh dari dirinya dan melemparkannya kearah Jodha. Jodha menoleh menatap Jalal dan ingin mengatakan sesuatu, tapi mengurungkannya. Pikir Jodha, “tak ada gunanya berdebat dengan orang mabuk yang sedang marah, besok juga dia akan lupa.” Tanpa bicara apa-apa lagi, Jodha bergegas pergi kekamarnya sendiri…. Takdir bag 23