Takdir bag 9 by Tahniat. Jodha menjauhi Jalal. Orang-orang masih bertepuk tangan dan mengucapkan selamat sambil memuji ketrampilan Jalal dan Jodha di lantai dansa. Jalal tersenyum. Seorang teman Jalal yang bernama rahul menghampiri Jalal, menepuk pundaknya dan berkata, “wow Bro, aku terkesan sekali dengan ketrampilan mu dan istrimu berdansa. Lantai dansa terasa membara terbakar oleh percikan api cinta kalian.” Lalu pada Jodha rahul memuji, “kakak ipar, kau sangat cantik sekali.” Jodha tersipu malu. Rahul menatap Jodha dengan penuh kekaguman. Melihat itu, Jalal segera menyeret Rahul pergi. Tapi sebelum beranjak, Jalal berpamitan, “Mrs Jalal, tak apakan kalau kau ku tinggal sebentar?” Jodha mengangguk. Jalal melanjutkan, “tetap di sini. jangan kemana-mana, sebentar lagi aku akan kembali.” Sambil tertawa Rahul mengikuti tarikan Jalal di bahunya. Jodha berdiri seorang diri, merasa canggung, dia segera beranjak mendekati kursi yang kosong di sudut ruangan.
Jodha duduk di kursi itu seorang diri. Dia menatap kesekeliling, tak satupun wajah yang di kenalnya. Jodha merasa bosan. Dia menatap smartphonenya, membuka sebuah aplikasi dan mulai membaca sesuatu di sana, (kuharap dia membaca FF- Jodha Akbar ini dan meyukai (LIKE) Fan Page nya ). belum lama Jodha menikmati aktivitasnya, tiba-tiba terdengar suara cempreng memanggil namanya, “Jodhaaa…!” Jodha menoleh kearah siempunya suara. Jodha terkejut dan gembira melihat Freya. Jodha berdiri, Freya berlari menghambur ke arah Jodha dan memeluknya, “jodhaa.. lama tidak bertemu.” Setelah cukup lama berpelukan, Jodha melepas pelukannya dan menatap Freya dengan rasa bahagia campur heran. Jodha berkata, “freya, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Apa yang kau lakukan di sini?” Freya pura-pura cemberut, “kau menikah dan tidak mengundangku? Teganya kau!”
Jodha tak tahu harus berkata apa. Tapi kemudian wajah cemberut Freya lenyap di gantikan tawa bahagia, “tapi tak apa. Untung Rahul menunjukan surat undangan resepsi pernikahan kalian. Semula aku tidak yakin kalau nyonya Jalal yang di maksud dalam undangan itu adalah dirimu. Tapi Rahul memaksaku untuk datang. Dan aku senang sekali karena telah menurutinya…. sehingga bisa bertemu denganmu di sini.” Jodha mengajak freya duduk. Keduanya langsung larut dalam perbincangan dua sahabat lama yang baru bertemu kembali. Freya memuji Jodha, “aku tidak tahu kalau kau bisa dansa, Jodha. Kau dan Mr Jalal telah membuat kami semua merasa kagum dan iri. Sungguh pasangan yang serasi. Aku dan rahul tak akan bisa menandingi kemesraan yang kalian tunjukan di lantai dansa tadi.”
Jodha menatap Freya dengan rasa ingin tahu, “Rahul?” Freya mengangguk, “ya Jodha, Rahul. yang tadi pergi dengan Mr Jalal. Aku dan Rahul telah bertunangan setahun yang lalu, jika tidak ada halangan, bulan depan kami akan menikah.” Jodha tersenyum bahagia mendengarnya dan mengucapakan selamat pada Freya. Sedang asyik-asyiknya Jodha dan Freya berbincang-bincang, muncul Rahul dan Jalal. Rahul pura-pura terkejut melihat Freya berbicara dengan Jodha, sambil menatap Freya dengan mesra, Rahul berkata, “sudah kubilang! Untung kau mau mendengarkan aku, kalau tidak kau tidak akan bisa bertemu teman lamamu.” Freya bangkit dari duduknya dan bergayut manja pada rahul, “iya sayang. Untung aku mendengarkan apa katamu ya.”
Jalal menatap Freya dan Jodha bergantian dengan bingung, “jadi Freya dan Jodha…?” Rahul yang menjawab, “…iya Jalal, mereka adalah teman kuliah. Bisa kau bayangkan? wow man… setelah ini, kita pasti akan sering pergi bersama-sama.” Freya dan Rahul tertawa. Jodha tersenyum, Jalal pun turut tersenyum. Lalu pada Jodha, Jalal berkata, “Jodha ayo kita pulang duluan. Aku sangat lelah.” Freya menahan Jodha, “tapi acara belum juga selesai.” Jalal sambil tersenyum berkata, “kalian saja yang melanjutkan. Besok aku ada meeting pagi-pagi sekali.” Rahul dengan tatapan mengoda berseloroh, “ada meeting atau….” Jodha tersenyum penuh arti, yang membut Rahul malu sendiri.
Freya menepuk pipi Rahul dan mengedipkan mata padanya. Jalal meraih pergelangan tangan Jodha dan menariknya agar berdiri, “kami pergi dulu, ya. Selamat bersenang-senang.” Jalal baru akan melangkah pergi ketika Rahul memanggilnya dan memberitahu kalau orang tuanya masih ada di sini. Dengan tatapan tidak tertarik Jalal menggeleng, “kalian saja yang pamitkan. Aku terburu-buru.” Tanpa menunggu komentar Rahul, Jalal segera menarik tangan Jodha agar mengikutinya. Jodha menyempatkan diri menatap Hamida yang saat itu juga sedang memandang kearahnya. Jodha mengangguk memberi hormat. Hamida membalas anggukan Jodha dengan tatapan sedih. Ingin rasanya Jodha mengajak Jalal menghampiri Hamida dan berpamitan padanya secara baik-baik. Dari gerak-geriknya, Jalal terlihat seperti tidak ingin di bantah. Tapi Jodha tetap mencobanya, “Jalal, sebaiknya kita pamitan pada orang tuamu dulu.”
Jalal menjawab, “Tidak. Jodha, kau dan aku akan pergi dari sini sekarang juga. Aku sudah sangat letih.” Jodha tetap memaksa. Jalal tidak mengubrisnya. Jalal menarik tangan Jodha menuju pintu keluar, di mana mobil audi putihnya telah menunggu dengan mesin yang sudah menyala. Petugas parkir memberikan kunci mobil pada Jalal. Tanpa bicara, Jalal membukakan pintu untuk Jodha. Setelah Jodha duduk, Jalal menutup pintu dan segera masuk kebelakang kemudi. Tak lama kemudian, Mobil yang dikendarai Jalal melaju di jalan raya. Jodha memecah keheningan diantara mereka dengan memprotes sikap Jalal terhadap orang tuanya, “…mereka adalah orang tuamu, Jalal. Kenapa kau bersikap begitu? Tidak kah kau melihat rasa sedih yang terpancar di mata ibu? Sikapmu telah melukai hatinya. Apa yang kau lakukan pada tuan Khan tidak dapat di tolerir. Sudah sewajarnya, orang muda menhormati yang tua. Apalagi kalau mereka adalah orang tuamu. Karena merekalah kau ada di dunia ini. Dan ibu…..” Belum selesai Jodha berkata, Jalal meminggirkan mobilnya dan membuka kunci pintu. Dengan suara tajam dia menyuruh Jodha keluar dari mobil. Jodha dengan kaget bertanya, “apa maksudmu?”
Jalal mengulang kata-katanya dengan lantang, “apakah kau tidak dengar? Keluar dari mobilku sekarang juga!” Jodha menatap sekeliling tempat itu, sangat sepi. Malam semakin larut, tidak terlihat ada alat transportasi umum. Dengan gugup Jodha bertanya, “…dan kemana aku harus pergi? Tidakkah kau lihat tempat ini sangat sepi…” Jalal dengan ketus menjawab, “aku tidak perduli! Yang penting keluar dari mobilku sekarang juga!” Jodha menatap Jalal dengan tatapan tidak terima. Jalal balas menatapnya dengan melotot marah. Melihat itu Jodha berpikir kalau dia memang sebaiknya menuruti apa kata Jalal. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jodha keluar dari mobil. Jalal segera menarik knop pintu dan segera melaju meninggalkan Jodha sendirian berdiri di pinggir Jalan yang sepi.
Jodha sama sekali tidak tahu apa yang membuat Jalal bergitu marah hanya karena dia membicarakan orang tuanya. Jodha juga betul-betul tak habis pikir kenapa Jalal tega meninggalkannya begitu saja di pingir jalan yang sepi seperti ini. Jodha menatap sekeliling. Benar-benar sepi. Hanya sedikit kendaraan yang lewat, itupun hanya kendaraan pribadi. Jodha menatap langit, dia melihat rembulan yang bersembunyi di balik awan. Udara dingin menrpa tubuhnya. Jodha merapatkan sari yang membalut tubuhnya. Tiba-tiba dia merasa sangat kesepian dan merasa tidak punya siapa-siapa. Tidak akan ada orang yang menunggunya pulang dan mengkhawatirkan dirinya. Jodha merasa iba pada dirinya sendiri. Dia tidak tahu harus bagaimana dan harus kemana. Dia tidak punya tempat untuk di tuju. Untuk kembali kerumah orang tuanya tidak mungkin. Ram pasti akan sangat murka. Pulang kerumah Jalal, juga tidak mungkin, …dia baru saja meninggalkannya di pingir jalan sendirian. Jodha benar-benar putus asa, tak tahu harus bagaimana….Takdir bag 10