Takdir bag 44 by Tahniat. Sampai di kamar, Jalal uring-uringan tak karuan. Dia sama sekali tidak bisa percaya apalagi menerima kalau rekamam CCTV ada yang menghapusnya. Kata jalal dengan gusar, “aku sama sekali tidak percaya ini!” Jodha mendekati Jalal yang duduk disofa di dekat jendela. Jodha duduk di sandaran kursi dengan tangan merangkul pundak Jalal dan dagu yang di tempelkan di ubun-ubun kepala nya. Jalal melingkarkan tangan kirinya di pinggang Jodha. Jodha berkata, “dear, begitu pentingkah untuk mengetahui siapa mereka? Bisa jadi mereka hanya penculik biasa yang menculik untuk mendapatkan uang tebusan.” Jalal menyahut, “tidak peduli apa tujuan nya, setiap perbuatan Jahat harus mendapat hukuman.” Jalal mendongakkan kepala menatap Jodha, “kenapa?” Jodha mengeleng, “aku hanya ingin tahu, kapan kita kembali ke delhi..” Jalalmenatap Jodha heran, “kau tak betah di sini?” Jodha sedikit mengangguk, “cuacanya terlalu dingin.” Jalal menatap Jodha dengan tatapan menyelidik, “karena cuaca dingin atau ada seseorang yang ingin kau temui di delhi?” Jodha tidak menjawab. Dia membuang padanganya ke jendela. Jalal berdiri, meraih dagu Jodha dan memaksanya agar menatap kearahnya, “kau ingin menemui seseroang di delhi? Kau tahu aku mencemaskan dirimu… dan kau sedang mencemaskan orang lain!” Jodha tidak tahu harus berkata apa. Dia memang sedang Jalal dengan cemas. Dia mencemaskan Ranvir. Dia tidak tahu bagaimana keadaannya kini. Jalal sepertinya tahu apa yang di pikirkan Jodha. Jalal berkata dengan nada sedikit kesal, “kita akan tinggal disini, sampai pelakunya tertangkap..” Jodha menatap Jalal dengan mulut terngangah takpercaya, “kalau tidak juga tertangkap bagaimana?” Jalal menjawab sekenanya, “kita tinggal di sini selamanya.” Jodha melengos manja mendengarnya. Dia tahu Jalal hanya mengodanya. Tapi dalam hati dia takut juga kalau tiba-tiba Jalal berniat menetap di Simla.
Melihat Jodha termenung, Jalal beranjak dan berdiri di depan Jodha. Dengan tatapan tajam lurus menatap mata Jodha, jalal bertanya, “boleh aku tanya sesuatu?” Jodha menatap Jalal dan menunggu. Lanjut Jalal, “tapi aku ingin kau menjawabnya dengan jujur…” Jodha mengangguk. Jalal memandang Jodha tepat di matanya, “apakah kau masih mencintai Ranvir?” Jodha tidak menyangka Jalal akan menanyakan itu secara langsung padanya. Jodha balas menatap Jalal, sambil memicingkan mata dan nada menggoda, Jodha bertanya, “menurutmu?” Jalal ikut-ikutan memicingkan mata dengan bibir mengatup rapat. Jodha tertawa melihatnya dan berkata, “seorang istri tidak diizinkan untuk mencintai pria lain selain suaminya.” Jalal menyela, “itu bukan jawaban dari pertanyaanku, Jodha. Apakah kau masih mencintai Ranvir dan merindukan Suryabhan Singh?” Jodha terbelakak tak percaya, “kenapa pula nama surya di bawa-bawa?” Jalal menjawab, “karena aku ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya. Aku tahu kalau Ranvir pernah menjadi kekasihmu, dan Suryabhan… kau pernah berharap menikah dengannya. Sebagai seorang suami aku ingin istriku memikirkan aku saja. Bukan memikirkan pria lain atau mencemaskan bekas kekasihnya.”
Jodha berkata, “aku mencemaskan Ranvir dan memikirkan Suryabhan singh karena kau telah melibatkan mereka denganku melalui tindakanmu.” Jalal heran, “apa maksudmu?” Jodha berdiri dari duduknya dan hendak bernajak pergi ketika Jalal mencekal lengannya, “kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku!” Jodha mencoba melepas cekalan jalal, “aku mau ke toilet.” Jalal semakin mempererat cekalannya, “jelaskan dulu! Bagaimana bisa kau menuduh aku melibatkan mu dengan mereka?”
“Dear, karena aku, kau telah menolak proposal Suryabhan Singh, walaupun kau tahu kalau proposalnya sangat bagus. Kau telah bersikap tidak adil padanya. Lalu pad Ranvir, kau telah membuatnya menderita dengan membatalkan kontrak kerjanya… sekali lagi karena aku. Dan aku… mau tidak mau merasa bersalah pada mereka. Apakah salah kalau kemudian aku memikirkan mereka?” ucap Jodha.
Jalal menyahut, “tentu saja salah. Memikirkan pria lain dan membayangkan pria lain ketika seorang istri sedang bersama suaminya… itu dosa. Hanya seorang pelacur yang bisa melakukan itu!” Jodha terbelalak marah, “dengan kata lain kau mengatakan aku *pelacur karena memikirkan Ranvir ataupun suryabhan singh saat bersamamu? Picik sekali pikiranmu!” Jalal balas berteriak marah, “beraninya kau mengatakan aku picik?” Jodha menjawab, “kecemburuan telah membuatmu berpikiran picik, sempit dan tidak bijaksana sebagai mana seorang pria dewasa seharusnya bersikap dan bertindak. Kau hanya menurutkan emosi mu dan ke egoisanmu belaka. Apakah kau pernah memikirkan bagaimana peraaan suryabhan ketika kau menolak proposalnya? Atau perasaan keluarga Ranvir ketika melihat anaknya merana? Tidak pernah bukan? Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri saja. “
Ucap Jalal sambil tersenyum masam, “oh jadi itu pendapat mu tentang aku? Seorang yang egois, picik, tidak bijaksana yang selalu bertindak menurutkan emosi? Wow.. well done miss Jodha! Kau telah memberikan analisa menyeluruh tentang kepribadianku. Sungguh malang nasibmu karena menjadi istri seorang yang egois, picik dan apapun yang kau pikirkan tentang aku. Aku kasihan padamu!”
Jodha membalas, “aku lebih kasihan padamu… karena telah menikahi seorang pelacur!” Mendengar itu Jalal terbelalak, dengan wajah memerah menahan marah. Jalal tidak tahu harus berkat apa untuk membalas ejekan Jodha. Kata-katanya telah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Dengan marah, jalal melangkah kepintu dan membukanya, tapi sebelum keluar dengan nada mengancam dia berpesan, “jangan pernah berpikir untuk keluar dari kamar!” lalu dengan kasar dia menutup pintu hingga terdengar suara berdebam. Sepeninggal Jalal, Jodha langsung berlari kekamar mandi, tak lama kemudian dia keluar lagi dengan wajah lega.
Jodha menghenyakkan pantatnya di sofa. Dia memikirkan apa yang baru terjadi barusan. Bagaimana mudahnya sebuah percakapan kecil berubah menjadi sebuah pertengkaran. Bagaimana Jalal me-ngatai-nya ‘pelacur’ dan dia mengatai Jalal ‘picik’. Jodha tahu, Jalal tidak bermaksud mengatainya begitu. Tapi tetap saja Jodha tidak terima. Jodha tidak akan membiarkan Jalal lepas begitu saja setelah menggunakan kata-kata itu padanya. Jalal harus minta maaf dan membayar perbuatannya. Agar di masa-masa yang akan datang, dia berhati-hati kalau berbicara. Karena apapun yang terjadi, mereka berdua adalah suami istri yang harus saling menghormati dan bukan saling mengatai. Jodha berjanji, dia akan meminta maaf pada Jalal karena telah mengatainya picik setelah Jalal meminta maaf padanya karena menggunakan kata pelacur di depannya.
Tak tahu harus melakukan apa, Jodha menonton TV dan membaca majalah. Hampir separuh halaman majalah di bacanya ketika terdengar suara ketukan di pintu. Jodha melirik kargu gesek yang tergeletak di meja. Pasti Jalal pikirnya. Tapi Jodha tak mau mengambil resiko. Dia masih ingat percobaan penculikan dirinya beberapa hari yang lalu. Jodha mengambil vas yang ada di atas meja. Mengeluarkan bunganya dan memegang vas seperti memegang senjata. Suara ketukan di pintu semakin keras. Jodha segera bergegas melangkah ke pintu sebelum siapapun yang ada di luar sana mendobraknya. Jodha mengintip dari lubang pintu. Memang jalal. Namun dia tetap berusaha waspada, Jodha memutar handel pintu sambil mengangkat vas di tangannya. Dengan tak sabar pintu di dorong dari luar. Jodha mundur kebalakang. Jalal masuk kedalam dan menatap vas yang ada di tangan Jodha dengan tatapan curiga. Lalu katanya, “kuharap kau tidak berniat memukulku dengan vas itu?” Jodha mengerling kesal, “aku senang kau mengetahui niatku.” lalu Jodha melangkah kemeja untuk mengembalikan bunga-bunga kertas kembali ke dalam tempatnya. Jalal menyodorkan bungkusan yang di bawanya pada Jodha sambil berkata, “ini untukmu. Makanlah… jangan sampai ada orang mengatakan aku tidak berperasaan karena membiarkan seseorang mati kelaparan.” Jodha melirik ekspresi wajah Jalal saat mengatakan kalimat itu. Wajahnya yang tampatn di buat-buat kesal, bibirnya dipaksakan untuk cemberut. Jodha menahan senyum. Melihat itu, Jalal melototkan matanya dengan pura-pura marah. Jodha tanpa membuang waktu mengambil bungkusan dari tangan Jalal dan meletakkannya di meja. Dia membuka bungkusan itu, isinya Gobi Paratha kesukaanya dan beef steak sandwich ukuran jumbo yang telah di potong dadu. Jodha mengambil gobi paratha dan memakannya. Sebenarnya dia lebih suka memakan gobi paratha untuk sarapan. Tapi dari pada kelaparan karena ‘Mr Jalal” yang sedang marah tidak mengajaknya maka malam, Jodha tak masalah memakannya. Meski itu artinya akan menambah beberapa ons lemak kedalam jaringan bawah kulitnya. Jodha mencuwil potongan kecil gobi paratha dan menyuapkan ke mulutnya. Jodha menikmati makan malamnya dengan santai sambil membaca majalah. Sesekali Jalal meliriknya, tapi melirik saja, tidak menyapa atau berkata apa-apa. Jodha bukannya tidak tahu kalau dirinya di lirik, dia hanya pura-pura tidak tahu.
Setelah selesai makan, Jodha masuk ke kamar mandi danmenyikat gigi. Setelah mengganti baju tidur dibalik pintu lemari, Jodha naik ke tempat tidur, menghidupkan lampu tidur dan menyusup kebawah selimut. Dia sama sekali takmau menegur Jalal, yang terlihat acuh tak acuh dengan pandangan yang fokus ke layar tv. Jalalpun begitu, melihat Jodha berangkat tidur, dia hanya melirik sekilas. Pura-pura tak perduli padahal dalam hati kecilnya dia berharap Jodha akan mengajaknya tidur bersama seperti biasa. Tapi Jalal tahu, Jodha pasti masih marah karena kata ‘pelacur’ yang terceplos dari mulutnya. Dia sendiripun masih tidak bisa terima Jodha mengatainya picik dan egois. Dalam hati Jalal berkata, “Jodha harus minta maaf karena mengatakan aku picik dan egois. Setelah itu aku akan minta maaf karena menggunakan kata ‘pelacur’.”
Setelah matanya mengantuk, Jalal mematikan TV dan beranjak ke kamar mandi. Taklama kemudian dia keluar, mematikan lampu dan naik ke atas ranjang. Dia membaringkan diri di sisi kiri tempat tidur dengan berbaring miring ke kiri. Sedangkan Jodha yang sepertinya sudah terlelap, tidur di sisi kanan dan berbaring miring ke kanan. Untuk pertama kalinya mereka tidur bersama tapi saling memunggungi…… Takdir bag 45