3 Wajah 1 Cinta bag 2 by Meysha Lestari. Begitu tiba di bandara Indira Gandi, Jodha melanjutkan penerbangan ke Agra. Sampai di Agra, Ruqaiya sudah menantinya. Melihat Jodha, Ruq segera berlari memeluknya dengan penuh kerinduan, “I miss you, Jodha. Salima didi juga titip satu ciuman untuk mu. Dia sedang pergi studytour dengan murid-muridnya ke Simla.” Ruq mencium kedua pipi Jodha secara bergantian. Jodha balas mencium kening Ruq dan memeluknya dengan kerinduan yang sama. Ruqaiya membantu Jodha menarik travel bag menuju ke mobilnya.
Melihat Jodha hanya diam selama perjalanan, Ruq tergoda untuk bertanya, “bagaimana liburannya, Jo? have fun?” Tanpa semangat Jodha mengangguk. Ruq jadi penasaran, “apa terjadi sesuatu di sana? Kau masih belum bisa melupakan Surya?” Jodha menatap Ruq, Ruq balas menatapnya. Dengan masam Jodha tersenyum, “aku sudah melupakan Surya.” Ruq bertanya, “lalu kenapa wajahmu terlihat murung begitu? Bukankah pulang dari berlibur seharusnya segar dan gembira?” Jodha memaksakan diri tersenyum agar tidak membuat adiknya cemas, “aku baik-baik saja. Penerbangan Santorini – Agra, telah membuat perutku terasa tidak enak.” Ruq dengan prihatin berkata, “bertahanlah, sebentar lagi kita tiba.”
Home sweet home. Itulah yang di rasakan Jodha saat dia membaringkan tubuhnya di ranjangnya yang dingin. Aneh nya tidak ada rasa bahagia. Yang ada hanya rasa hampa. Jodha merasa sebagian hatinya telah tertinggal di Santorini dalam genggaman Jalal. Menginggat Jalal, Jodha menjadi sedih. Kekecewaan dan penyesalan campur aduk menyesaki rongga dadanya. Dia teringat semua hari-hari yang di laluinya bersama Jalal. Hatinya terasa sakit saat menginggat Jalal meninggalkannya begitu saja setelah malamnya mereka berdua memadu cinta. Tapi Jodha tidak menyalahkan Jalal, dia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga hati dan dengan mudahnya terpesona pada pria asing yang baru di temuinya. Di mata Jodha, Jalal begitu sempurna. Wajah yang menawan, sifat penuh perhatian, ramah lingkungan dan..
Ruq terbelalak tak percaya mendengar penuturan Jodha, “kau pergi ke Santorini membawa hati yang luka dan kembali dengan luka yang sama tapi di sebabkan oleh dua orang yang berbeda. AKu tidak bisa percaya ini!” Jodha dengan enggan menyahut, “percayalah, aku mengatakan yang sebenarnya.” Ruq bertanya, “apakah kau tahu nama pria itu?” Jodha memutar bola matanya, “tentu saja aku tahu.” Ruq mengejar, “kau lihat kartu pengenalnya? SIM nya?” Jodha memelototi Ruqaiya, “kau pikir aku apa?” Ruq menggeleng tak percaya, “jadi kau tidak melihatnya.”
Jodha balas bertanya, “apakah kau akan memeriksa kartu identitas seseorang sebelum berkenalan?” Ruqaiya menyahut, “tentu saja. Apalagi di tempat wisata di mana sebagian besar penghuninya adalah pelancong. Siapa yang bisa menjamin kalau pria itu tidak memalsukan namanya saat berkenalan denganmu? Siapa yang mau menjamin kalau pria itu tidak sedang mengambil keuntungan pribadi dari keteledoranmu? Nebeng hidup darimu selama di sana, mendapatkan fasilitas apapun yang di inginkannya tapi kau yang mengeluarkan uang untuk semuanya…”
Jodha menyahut cepat, “dia tidak seperti itu. Dia yang membayar semua pengeluaran selama kami melakukan perjalanan wisata bersama. Semuanya…” Ruq dengan mata memicing sebelah bertanya, “lalu apa yang dia dapatkan sebagai imbalan? Seorang teman yang bisa mengusir kesepian?” Jodha berdiri dengan marah, “Ruq, jaga kata-katamu! AKu tidak mau mendengar kau bicara begitu padaku.” Ruqaiya mengendikkan bahu tanpa rasa bersalah, “aku hanya ingin tahu saja. Tidak mungkin dia rela mengeluarkan begitu banyak biaya tanpa mendapatkan imbalan apa-apa.”
Ruq menarik tangan Jodha agar duduk kembali, “habiskan sarapanmu. Aku sudah membuatnya dengan susah payah.” Demi menghargai Ruqaiya Jodha kembali ketempat duduknya dan melanjutkan sarapannya tanpa selera. Melihat itu dengan lembut Ruqaiya menyentuh tangan Jodha, “dengar Jodha didi. Aku mungkin adikmu, tapi aku juga punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga kehormatan keluarga kita. Jika terjadi sesuatu padamu karena kecerobohanmu, papa dan mama pasti tidak akan tinggal diam saja.” Jodha mengangguk dan berkata dengan ragu-ragu, “jangan kuatir, semua akan baik-baik saja.” Benarkah semua akan baik-baik saja? Jodha sendiri tidak yakin. Setelah bercinta dengan sembrono, hanya satu kekuatiran yang memenuhi benak Jodha, yaitu hamil.
Mirza hakim, menjemput Jalal di bandara Indira Gandhi. Begitu bertemu dengan Mirza, Jalal menanyakan bagaimana cara mencari seseorang yang di kenalnya tapi tidak tahu dimana alamatnya. Mirza malah menatap Jalal dengan heran. Setelah menyeret kakaknya masuk kemobil dan mengendarainya membela kepadatan jalan raya Delhi, Mirza bertanya, ” kau bisa pergi ke kantor polisi dan memasang pengumuman orang hilang di media massa.” Jalal menatap Mirza dengan kesal, “aku tidak mau menggunakan kedua jalan itu. AKu ingin menemukan orang itu secara diam-diam bukan dengan menarik perhatian orang.”
Mirza terlihat berpikir sebentar, “apa yang kau punya? Foto? Alamat? Nomor kartu Identitasnya? Nomor jaminan sosialnya?” Jalal menggeleng, “hanya sebuah foto dan nama.” Mirza mengangguk-angguk seakan mengeri, “di mana dia tinggal?” Jalal menjawab, “di Agra.” Mirza tersenyum penuh percaya diri, “Agra hanya sebuah kota kecil. Penduduknya tidak sebanyak Delhi, kurasa lebih mudah menemukan orang di sana dari pada di sini. Kalau kau mau, kita bisa mengirim detektif…” Jalal berteriak kesal, “Mirza, tidak kah kau dengar apa yang kukatakan? AKu tidak ingin menarik perhatian orang.” Mirza balas berteriak, “kalau kau ingin menemukan seseorang, kau harus memanfaatkan semua bantuan yang tersedia. Polisi, media massa, detektif, jejaring sosial… semua bisa di manfaatkan. Kecuali orang yang kau cari itu tidak mengenal sosial media..”
Menemukan Jodha adalah prioritas utama Jalal. Tapi dia ingin melakukan pencarian secara diam-diam dan tidak menarik perhatian. Jalal ingin menemukan Jodha secepatnya. Satu-satunya jalan yang mempunyai peluang besar untuk menemukan Jodha adalah menyewa detektif sswasta. Jalal bertanya-tanya dalam hati, apakah itu tidak terlalu berlebihan? Tapi untuk seorang Jodha, apa pun akan di lakukannya. Apalagi setelah apa yang terjadi diantara mereka, Jalal merasa di buru waktu untuk menemukan Jodha, untuk mengetahui keadaannya. Dengan bantuan Mirza, Jalal mengirim seorang detektif swasta ke Agra dengan berbekal foto Jodha. Tapi seminggu kemudian, detektif itu kembali dengan tangan hampa. Jalal menjadi cemas. Rasa takut kehilangan Jodha membuatnya berpikir yang bukan-bukan. Jalal bertekad akan pergi sendiri ke Agra untuk mencari Jodha. Sementara itu, dia juga menugaskan Mirza mencari Jodha melalui sosial media.
Jodha sendiri dengan diam-diam mencoba mencari Jalal melalui media Sosial. Tapi dia belum berhasil menemukannya. Waktu berlalu dengan cepat. Jodha merasa was-was dan tidak tenang. Seringkali malam-malam dia berdiri di depan cermin mengamati perubahan yang mungkin terjadi pada dirinya. Dia juga membeli alat penguji kehamilan. Setiap pagi setelah bangun tidur, dia menguji air kencingnya sendiri dan melihat hasilnya dengan harap-harap cemas. Jika hasilnya negatif, Jodha menarik nafas lega. Setelah beberapa hari melakukan test serupa dan hasilnya selalu negatif, Jodha mulai sedikit tenang. Tapi ketenangan itu tidak begitu melegakan, karena kini Ruqaiya dan Salima setiap kali bersua selalu menatapnya dengan rasa ingin tahu dan tatapan curiga. Tapi karena mereka tidak mengatakan apa-apa, Jodha pun diam saja. Hingga sampai pada suatu malam, sepulang Jodha lembur, Salima mencegatnya.
Dengan wajah lelah, Jodha bertanya, “ada apa didi? adakah hal penting yang ingin kau katakan?” Salima mengangguk dan menyeret Jodha masuk kekamarnya lalu menguncinya dari dalam. Jodha merasa heran, “ada apa?” Jodha duduk di tepi tempat tidur dan Salima berdiri bersendekap di depannya. Dengan ragu-ragu Salima bertanya, “apa yang sudah terjadi di Santorini? Apakah sesuatu telah terjadi padamu? Sesuatu yang membuatmu memerlukan test pack?” Jodha terhenyak mendengar kata-kata Salima yang to the point, “dari mana kau tahu?” Salima menyahut, “Ruqaiya melihatnya ketika bibi pembantu membawa plastik sampah dari kamar mandimu.”
Jodha memutar bola matanya dengan tak percaya, “bukankah mereka seharusnya membuang sampah itu dan bukan mengoreknya?” Salima menyela, “jangan mengalihkan pebicaraan, Jodha. Katakan padaku yang sebenarnya?” Selama ini, Jodha selalu terbuka pada Salima. Setiap kali ada masalah, mereka selalu mencari solusinya bersama-sama. Tapi kali ini, Jodha merasa malu untuk menceritakan apa yang sudah terjadi padanya di Santorini. Namun Jodha tidak punya alasan untuk mengelak. Dengan rasa takut dan was-was, Jodha menceritakan semuanya…. 3 Wajah 1 CInta bag 3 by Meysha Lestari