Bila Saatnya Tiba 48 by Sally Diandra. Semenjak pulang dari pulau Maluk, setiap hari Jalal selalu pulang malam selalu lebih dari jam 10 malam, hal ini membuat bibi Maham Anga resah karena rencana yang sudah dia susun sebaik mungkin tidak bisa segera terlaksana tapi hari ini dihari ke empat sejak kepulangan Jalal, bibi Maham Anga sudah membulatkan tekad untuk meminta Jalal agar pulang tidak terlalu malam. Pagi itu ketika mereka sedang menikmati sarapan pagi, bibi Maham Anga segera mengungkapkan maksudnya “Jalal, apakah hari ini kamu akan pulang malam lagi ?” ujar bibi Maham Anga sambil menikmati sarapan paginya, sementara Jalal sedang asyik menikmati teh panasnya sambil membaca surat kabar, Jalal tidak menjawab pertanyaan bibi Maham Anga, bibi Maham Anga sedikit kesal dengan perlakuan Jalal “Jalal … Kamu dengar pertanyaanku ?” tak lama kemudian Jalal menoleh kearah bibi Maham Anga “Ada apa, bibi ?” Nigar merasa was was, sarapan pagi ini terasa hambar baginya “Aku tadi tanya, apakah hari ini kamu pulang malam lagi ? Karena aku perhatikan sejak kepulanganmu dari pulau Maluk, kamu pulang malam terus, apakah nanti malam juga begitu ?”, “Aku belum tau, bi … Bisa jadi iya, bisa jadi tidak, memangnya kenapa ?” Jalal mulai penasaran dengan ucapan bibi Maham Anga “Aaah tidak apa apa, Jalal … Aku hanya ingin membuatkan makan malam buat kamu, karena rumah sebesar ini rasanya sepi kalau hanya aku dan Nigar yang menikmati makanan di meja makan ini, kalau ada kamu kan jadi tambah ramai” Jalal menghela nafas panjang “Oooh begitu, baiklah akan aku usahakan tapi aku tidak janji, bibi … Kalau begitu aku berangkat dulu … Nigar, aku duluan yaa” Nigar hanya mengangguk lemah “Iyaaa, kak … Hati hati dijalan” tak lama kemudian Jalalpun berlalu dari hadapan mereka, bibi Maham Anga tersenyum senang.
Sementara itu di pulau Maluk, pagi itu Jodha bangun dengan perasaan yang was was, semalam Jodha bermimpi buruk tentang Jalal, entah mengapa tiba tiba saja Jodha merasa bahwa Jalal tidak sayang lagi dengan dirinya dan pagi itu setelah selesai mandi dan sarapan pagi, ketika Shamshad hendak memberikan si kembar ke Jodha untuk disusui, Jodha langsung menolak “Aku tidak mau, Shamshad … Berikan mereka susu botol saja” semua yang hadir dimeja makan langsung tercengang dengan ucapan Jodha “Kenapa harus susu botol, Jodha ? Kalau ada ibunya, anak anakmu lebih baik minum ASI daripada susu botol” kali ini ibu Meinawati ikut membujuk Jodha “Di botol itu juga ASI ku ibu, Shamshad bisa memberikan ke si kembar !” tiba tiba suara Jodha terdengar meninggi “Aku bosan disini ! Aku mau pergi saja !” Jodha segera bangun kemudian belari keluar kearah pantai, Sukaniya yang hendak melarang Jodha tiba tba langsung dihentikan oleh ibunya “Biarkan, mungkin dia sedang sedikit gelisah karena jauh dari suaminya, nanti lama lama akan baikkan juga” namun ternyata anggapan ibu Meinawati justru meleset karena semakin siang, kondisi Jodha bukannya semakin membaik malah semakin memburuk, Jodha sama sekali tidak mau menyentuh si kembar, melihatnyapun Jodha tidak mau, kerjanya hanya melamun saja, tiba tiba Jodha bisa menangis tanpa sebab, kemudian marah marah tidak karuan kalau keinginannya tidak dipenuhi oleh Shamshad “Aku kan sudah bilang aku mau es kopyor, bukan susu ! Kenapa susu lagi yang kamu berikan ! Ganti !” Shamshad benar benar bingung dengan tingkah laku Jodha “Tapi, nyonya … Anda ini sedang menyusui lebih baik jangan minum es dulu, tidak baik untuk kesehatan anak anak” Jodha langsung marah
“Aku tidak peduli ! Aku mau es kopyor, Shamshad !”, “Ada apa ini, Jodha ? Ada apalagi ?” ibu Hamida yang mendengar teriakan Jodha segera mendekati mereka “Ini nyonya, nyonya Jodha tidak mau minum susu tapi malah meminta es kopyor” Jodha memandang Shamshad dengan perasaan marah “Bagus ! Teruslah kamu mengadu pada ibu !” ibu Hamida menggeleng gelengkan kepalanya “Jodha, Shamshad bukannya mengadu, dia itu benar … kamu baru saja melahirkan jadi jangan minum es dulu, kasihan si kembar” Jodha semakin kesal “Si kembar ! Si kembar ! Si kembar ! Kenapa semua orang lebih peduli pada si kembar ! Kenapa nggak ada yang peduli dengan diriku ?” tiba tiba Jodha menangis sejadi jadinya, ibu Hamida langsung memeluk Jodha “Siapa yang bilang tidak ada yang peduli denganmu Jodha, kami semua peduli, kami semua sayang denganmu” Jodha terus menangis dipelukan ibu Hamida dan tiba tiba kepalanya terasa berat dan pusing, badannya sedikit terhuyung, ibu Hamida bingung dengan perubahan sikap Jodha “Kamu kenapa Jodha ?”, “Kepalaku sakit sekali, ibu … Tiba tiba kepalaku pusing”, “Istirahatlah, mungkin kamu terlalu lelah, lebih baik kamu tidur saja ya”, “Aku mau minum obat dulu, ibu … Shamshad ambilkan obat pusingku, jangan lupa bawa pompa ASI nya sekalian, payudaraku terasa penuh dan sakit sekali” Shamshad segera menyiapkan keperluan Jodha “Kenapa tidak kamu minumkan ke si kembar, Jodha ?”, “Mereka pasti sudah kenyang, ibu … Buktinya mereka sudah tertidur pulas” ibu Hamida hanya menatap sedih melihat tingkah laku Jodha.
Ketika Jodha sudah tertidur pulas, sore itu ibu Hamida dan ibu Meinawati tampak duduk diteras depan sambil menikmati kudapan ringan dan teh panas mereka, sementara Bhaksi dan Sukaniya sedang mengajari Mehtab berjalan jalan ditepi pantai. “Aku tadi sudah ngobrol banyak dengan dokter Salima, dia dokter kandungannya Jodha” ibu Hamida mulai membicarakan soal Jodha “Lalu apa katanya ?”, “Dia bilang, mungkin Jodha terkena Baby Blues Syndrome, hal itu wajar, katanya hampir 50% seorang wanita mengalami rasa sedih dan khawatir pasca melahirkan, seperti yang dialami Jodha, hanya saja kita tetap perlu waspada” ibu Hamida diam sesaat “Waspada bagaimana, bu ?” ibu Hamida menghela nafas “Kita tidak boleh membiarkan kondisi Jodha ini berlarut larut hingga 2 minggu lebih, kalau tidak dia bisa terkena Postpartum Depression, semacam depresi akut, itu yang aku khawatirkan, bu” ibu Meinawati langsung menutup tangannya, seakan akan tidak percaya kalau Jodha akan mengalami hal semacam itu “Itu tidak mungkin, bu … Aku tau Jodha, dia itu anaknya pemberani, tegar dan tangguh jadi tidak mungkin dia akan depresi, dia pasti akan baik baik saja, aku yakin itu !”, “Aku juga sangat berharap begitu, bu”, “Dan tolong, Jalal tidak usah diberitahu terlebih dahulu, nanti dia malah juga ikutan setress mikirin Jodha, yang penting sekarang kita harus bisa membuat Jodha merasa nyaman dan normal kembali” ibu Hamida mengangguk tanda setuju.
Malam harinya, dirumah Jalal, Jalal pulang sekitar pukul 8 malam, begitu mendengar deru mesin mobil Jalal di garasi mobilnya, bibi Maham Anga segera bebenah diri menyambut Jalal “Selamat malam, Jalal” Jalal hanya mengangguk “Apakah kamu mau makan malam dirumah ?”, “Aku sudah makan tadi, aku mau kopi saja, bibi … Nanti tolong antar ke ruang kerjaku ya, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan malam ini, aku mau mandi dulu” bibi Maham Anga segera menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar, dalam hatinya berkata “Pucuk dicinta ulampun tiba ! Akhirnya kena kamu, Jalal !” begitu didengarnya Jalal masuk kedalam kamarnya, bibi Maham Anga langsung berjingkat naik keatas menuju ke kamar Nigar, Nigar yang saat itu sedang menyalin mata kuliahnya segera membuka pintu kamarnya dan dilihatnya bibi Maham Anga tersenyum lebar kearahnya “Nigar, sekaranglah saatnya kamu beraksi, ayoooo !” bibi Maham Anga langsung menggeret lengan Nigar menuju ke dapur dilantai bawah. Setelah sesampai didapur, bibi Maham Anga menyuruh Nigar duduk di meja makan kecil yang ada disana, saat itu pembantu rumah tangga keluarga Jalal sedang berkumpul diruangan mereka sendiri diruangan belakang khusus untuk para pembantu, biasanya kalau jam segini, mereka pasti sedang menonton serial sinetron favourite mereka, bibi Maham Anga sudah hafal dengan kebiasaan para pembantu tersebut. “Nigar, malam ini hanya ada aku, kamu dan Jalal” saat itu bibi Maham Anga sedang membuat secangkir kopi spesial untuk Jalal “Nah, ini dia kopinya … Sebentar lagi Jalal akan masuk ke ruang kerjanya, dia akan mengerjakan tugas tugasnya disana, jadi tugas kamu sekarang, kamu harus mengantar kopi ini untuknya dan tunggu disana sampai dia meminum kopi tersebut” Nigar gelisah dan was was, sedari tadi dimainkannya ujung bajunya dengan jemari tangannya “Kalau dia tidak meminumnya juga, bagaimana, bibi ?”, “Tugas kamulah yang merayunya agar Jalal mau langsung meminum kopinya, kamu tidak boleh keluar kamar itu selama Jalal belum meminum kopi tersebut” Nigar bingung dan gelisah “Tenang, Nigar … Santai … Jangan tegang, bayangkan begitu semua rencana ini berhasil maka kamu akan bisa menguasai semua kekayaan Jalal, kita akan kaya Nigar ! Kita bisa pergi kemanapun yang kita inginkan ! Kita bisa beli apapun yang kita mau ! Kita bisa melakukan banyak hal ! Bukankah itu menyenangkan, Nigar ? Jadi kamu harus berhasil melakukan rencana kita ini” Nigar masih gelisah, tak berapa lama kemudian bibi Maham Anga mendengar langkah Jalal memasuki ruang kerjanya, bibi Maham Anga langsung tertawa lebar “Nigar, mangsa kita telah masuk perangkap, sekarang giliranmu yang menjalankan permainan ini, ingat … Kamu tidak usah khawatir, aku ada disini untuk menolong kamu, begitu dia mulai mau memperkosa kamu, kamu langsung berteriak dan aku akan segera masuk ke ruang kerja Jalal dan memergoki dia yang mau berbuat tidak senonoh dengan adik tirinya sendiri, maka tamatlah riwayat Jalal … Dia bisa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, Nigar … Bukankah itu menyenangkan ?” bibi Maham Anga sudah tidak sabar menunggu insiden tersebut dengan mata yang berbinar binar sambil membayangkan semua kekayaan yang akan dia miliki kalau Jalal masuk bui. “Ayooo … Nigar, bawa cangkir ini dan antarkan ke Jalal, kamu ingat semua kan instruksiku ? Ayooo … Tenang, tarik nafas dalam dalam dan smile, tersenyumlah … Buat laki laki itu tergila gila padamu” bibi Maham Anga mengantar Nigar hingga ke pintu ruang kerja Jalal, Nigar yang membawa cangkir yang berisi kopi spesial Jalal merasa was was, gelisah dan takut hingga jemari tangannyapun basah, sampai akhirnya Nigar sampai di pintu ruang kerja Jalal… Bila Saatnya Tiba 49 by Sally Diandra