Takdir bag 60 by Tahniat. Di Agra keluarga Jalal dan Keluarga Jodha berkumpul di rumah Jalal. Begitu pula teman-teman dekatnya seperti Rahul dan Freya. Dan yang paling mengejutkan adalah, Ayah Jodha, Tuan Ram Kapoor dan Menawati juga datang. Begitu Jodha turun dari Mobil, Hamida bano segera menyongsongnya. hamida memeluk dan mencium kening Jodha, lalu memberkatinya. Saat melihat perut Jodha yang besar, mata Hamida berkaca-kaca. Dia menyentuh dan mengelusnya dengan lembut. Tiba-tiba dengan tatapan yang di sadis-sadiskan Hamida berkata dengan nada mengancam, “kau harus menjaga cucu ku dengan baik, Jodha. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan memaafkanmu…!” Jodha tahu ibu mertuanya hanya bercanda karena itu dia hanya tertawa sambil menganggukan kepala. Hamida belum selesai, sambil merangkul bahu Jodha dia kembali berkata, “..dan jika kau marah pada Jalal, atau Jalal menyakitimu,… datanglah ke rumah, jangan kabur lagi. Kau tidak tahu kegelisahan seperti apa yang kau berikan padaku… saat kau menghilang begitu saja. Ingat Jodha, kau bukan menantu.. tapi anak perempuanku.” Jodha dengan perasaan terharu memeluk Hamida bano. Jalal menyadarkan Hamida kalau banyak orang yang sedang menunggunya, dan meminta Hamida menyambung reuni kecilnya nanti saja. Hamida mengangguk.
Freya menyambut Jodha dengan sebuah pelukan hangat. Freya menyapa, “kemana saja kau? tak terpikirkah untuk menghubungiku?” Jodha berisik, “suamimu teman dekat Mr J, bagaimana bisa aku mempercayakan rahasia yang sangat besar padamu?” Jodha mengedipkan matanya yang di sambut Freya dengan tawa khasnya. Jodha melihat Jalal berpelukan dengan Rahul dan mendengar Rahul berkata, “hi bro… senang melihatmu lagi.” Jalal sambil lalu bertanya, “bagaimana office?” Rahul mengangkat jempolnya yang di sambut Jalal dengan tawa. Setelah menyalami tuan Khan, Jodha dengan sedikit was-was menghampiri Mainawati dan tuan Ram. Jodha hendak memberi salam pada Mainawati dengan menyentuh kakinya. Mainawati melarang Jodha melakukan itu. Dia menarik tubuh Jodha dan memeluknya sambil menangis, tidak sanggup berkata apa-apa hanya memanggil nama Jodha saja, “Jodha…anakku… ” Setelah Mainawati melepas pelukannya, Jodha mendekati ayahnya yang berdiri mematung dengan wajah datar. Ini pertama kali sejak pernikahannya, Jodha melihat sosok ayahnya. Ada kerinduan di mata Jodha, tapi melihat wajah datar Ram, Jodha berniat untuk menahan diri. Melihat Jodha dengan perut besar berdiri didepannya, wajah Ram yang datar dan keras meleleh. Dia segera memeluk Jodha tanpa aba-aba. Jodha sempat terkejut melihat reaksi ayahnya. Jodha melirik Mainawati dan menaikkan alisnya. Mainawati mengangguk dan tersenyum. Ram berbisik lirih di telinga Jodha, “maafkan ayah, Jodha…!” Jodha dengan perasaan terharu menatap ayahnya dan tersenyum bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Jodha selain mendapat perlakuan baik dari ayahnya.
Jodha hendak memberi salam dengan menyentuh kakinya. Tapi Ram dan Jalal secara bersamaan menahan tubuhnya. Saat Jodha sudah meluruskan tubuhnya, Jalal segera merangkul Jodha di depan Ram dan memberi salam pada ayah dan ibu mertuanya. Lalu dengan ramah Jalal berkata, “sesuai janjiku, aku telah membawa putrimu kembali ayah. Jadi kerja sama kita tetap bisa dilanjutkan, bukan?” Ram tersenyum dan mengangguk, dengan sedikit malu dia menghapus air yang menggantung di pelupuk matanya dengan sapu tangannya. Jalal menepuk bahu mertuanya, lalu dengan nada mengingatkan dia berkata, “aku ingin proyek itu selesai pada waktunya, kalau tidak anda harus memberi aku seorang Jodha lagi sebagai kompensasi..” Ram dan Mainawati tertawa. Jodha kaget dan menatap Jalal dengan tak percaya. Jalal mengangkat alis matanya dan dengan wajah tak bersalah bertanya, “kenapa? kalau ada Jodha lain yang lebih penurut, tidak suka marah-marah, tidak suka kabur… apa salahnya?” Jodha mncubit lengan Jalal. Jalal mengadu dengan mesra. Sepanjang sisa pertemuan, Jodha selalu menyempatkan diri duduk di samping Ram dan berbincang-bincang akrab denganya. Melihat itu Jalal dan Mainawati tersenyum penuh arti.
Saat seorang diri di dapur, mainawati mendekatinya, mengelus kepalanya dan memberitahu Jodha, “kuharap kau tidak marah lagi pada ayahmu, Jodha. Begitu tahu kau kabur dan tidak ada yang tahu kau ada di mana, dia sangat panik dan gelisah. Selama ini aku menduga kalau dia tak punya hati karena begitu kasar dan tega padamu. Tapi ternyata aku salah. Jauh di lubuk hatinya dia sangat menyayangimu. Di bahkan tidak dapat tidur nyenyak sampai dia mengetahui kalau kau ada bersama Surya..”
Jodha mennghapus airmata di pipinya, “aku tidak pernah marah pada ayah, ibu. Tidak pernah. Aku selalu berdoa semoga ayah memberikan hak ku sebagai seorang anak. Aku ingin di sayang ayah dan di perlakukan dengan baik. Sekarang aku telah mendapatkan hak itu… aku sangat bahagia, ibu. Sangat bahagia…” Jodha dan Mainawati saling berpelukan. Diantara kerumunan keluarga dan teman-temannya, Jalal mencuri pandang ke arah Jodha dan Mainawati dan turut merasa bahagia. Reuni keluarga itupun berlangsung dengan hangat dan penuh ke akraban.
Setelah para tamu pergi, Jodha pergi ke kamarnya diikuti Moti yang menenteng travel bag Jodha. Home sweet home, itulah yang di rasakan Jodha saat masuk ke kamarnya. Jodha menatap sekeliling, kamarnya terlihat rapi, tidak berubah sedikitpun. Persis seperti saat di tinggalkannya dulu. Melihat reaksi Jodha, Moti tersenyum, “selama kau pergi, mister selalu tidur di kamar ini. Dia tidak pernah tidur di kamarnya. Tapi aku tidak yakin kalau dia sempat terlelap, karena setiap pagi, ketika aku menyiapkan sarapan untuknya, aku selalu mendapati matanya merah dan wajahnya kuyu, seperti orang yang habis begadang semalaman. Dia benar-benar bersedih Jodha. Bahkan di hari kau pergi dari rumah ini, Mister mengusir nona Ruqaiya dan melarangnya datang kemari lagi…”
Jodha menoleh ke arah Moti dan ingin menanyakan sesuatu, tapi Jalal sudah lebih dulu datang. Jodha segera membatalkan niatnya. Jalal memberi isyarat agar Moti pergi. Setelah hanya berdua, Jalal mendekati Jodha memeluk tubuhnya dari belakang dan mengelus lenganya dengan lembut, “kenapa kau pergi ke kamar ini? Mulai sekarang kau akan tidur bersamaku di kamar sebelah.” Jodha tanpa pikir panjang menyahut, “aku tidak mau. Aku mau tidur disini saja. Kau tidurlah di sana…” Jalal membalikan tubuh Jodha hingga menghadap ke arahnya, “mana bisa begitu? Sebagai suami istri, kita harus tidur di ranjang yang sama. Dalam suka ataupun dalam duka. Bahkan kalau kita sedang bertengkar sekalipun, kau tidak boleh meninggalkan kamar itu…karena meninggalkan kamar itu artinya kau meninggalkan suamimu!” Jodha memicingkan matanya, “aturan siapa itu?” Jalal tertawa menyerigai ramah, “Jalaluddin Muhammad membuat peraturan, dan Jodha bai akan mematuhinya.” Jodha dengan lembut menatap Jalal dan mengelus pipinya, “suami tidak menyuruh istri, dia memintanya…” Jalal menatap Jodha sambil tersenyum penuh arti. Dia menunduk sebentar seperti berpikir, lalu tiba-tiba dia menekuk lututnya di hadapan Jodha. Reflek Jodha menahan bahu Jalal dengan kedua tanganya dan menariknya agar berdiri, “tempatmu bukan di kakiku… tapi di hatiku.” Jalal tersenyum bahagia mendengarnya. Dia memegang bahu Jodha dan menatapnya lama. lalu dengan suara lembut dia bertanya, “maukah kau tidur denganku di kamar sebelah?” Jodha menjawab, “wanita tidak suka di tanya..” Jalal tersenyum lagi, “tidurlah denganku di kamar sebelah.” Jodha memutar bola matanya, “terlalu menuntut.” Kali ini Jalal tidak tersenyum, dia terlihat berpikir keras, hingga muncul kerutan di keningnya. Lalu dengan hati-hati dia kembali bertanya, “kalau kau tidak keberaran, kau bisa tidur denganku di kamar sebelah.” Jodha tersenyum melihat kegigihan Jalal, dengan sepenuh hati dan perasaan dia mengangguk. Jalal tertawa bahagia dan mendekap Jodha erat di dadanya.
Waktu semakin cepat berlalu. Usia kandungan Jodha sudah menginjak bulan ke delapan. Selama masa kehamilannya hingga sekarang, Jodha tidak rewel dan mandiri. Apapun yang dia inginkan, dia berusaha memenuhinya sendiri. Tidak ingin merepotkan dan mengganggu kesibukan Jalal di kantor. Kecuali untuk hal-hal yang tidak bisa di lakukannya.. seperti ketika dia sangat ingin memakan roti canai dari Agra. Jalal dengan termos tahan panas pergi ke Agra untuk membelinya. Bagaimanapun susahnya, Jalal selalu berusaha memenuhi semua keinginan Jodha. Ketika Jodha memaksa ingin melihat Jalal melakukan lompat katak, meski Jalal tidak suka, dia dengan senang hati melakukannya. Dengan imbalan, Jodha akan memijat kakinya. Atau ketika pagi-pagi sekali Jodha ingin pergi ke kuil bersama Moti, Jalal turut bangun pagi dan pergi menemaninya. Hal-hal kecil seperti itu tanpa mereka sadari telah membuat jalinan antara keduanya menjadi semakin akrab. Pernikahan bukan lagi hanya sebuah formalitas, tapi kehidupan yang menganggumkan.
Ternyata tuhan tidak pernah bosan mencobai umatnya, sampai mereka menjadi baik dan memahami betapa penting kehidupanya. Malam itu sepulang dari dinner, Jodha dan Jalal menonton Tv sampai larut malam. Jodha tertidur dengan bersadndar di bahu Jala. Tidak tega membangunkannya, Jalal membopongnya ke kamar. Bayangkan… betapa kuatnya Jalal, membopong tubuh Jodha yang berperut buncit sambil menaiki tangga. Kebesaran cinta dapat menjadi motivasi untuk melakukan apa saja. Jalal membaringkan Jodha di samping kanan tempat tidur. Sedangkan dia berbaring di sisi kirinya. Dia tidak segera tidur. Dia berbaring miring dengan menggunakan bantal yang di tekuk untuk menganjal kepalanya. Jalal mengawasi Jodha yang sedang tidur. Matanya terpejam rapat, wajahnya menyiratkan kedamaian. Sampai saat ini, setiap kali mengawasi Jodha tidur. Jalal seringkali masih tidak percaya kalau wanita yang di nikahinya untuk balas dendam, telah membuatnya tergila-gila dan bahagia. Dalam hati Jalal berkata, “Jodha, aku tak lengkap tanpamu. Kau telah melengkapiku. Dan anak kita ~Jalal mengelus perut Jodha dengan lembut~ akan membuat keluarga kecil kita sempurna..” Lalu Jalal tertidur dengan seulas senyum di bibir dan wajah penuh kedamaian.
Pagi harinya, Jodha bangun lebih dulu. Dia lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat seorang pria mengendap-endap di samping tempat tidur Jalal dengan sebuah belati di tangan. Jodha berteriak histeris. Jalal terbangun…pria itu mengayunkan pisaunya kearah Jalal. Melihat itu, tubuh Jodha seketika lemas dan sedetik kemudian….Jodha pun tergeletak pingsang EPILOG