3 Wajah 1 Cinta bag 4 by Meysha Lestari

3 Wajah 1 Cinta bag 4 by Meysha Lestari.  Ruq menepati janjinya. Pagi-pagi sekali dia menjemput Jalal di apartemennya dan mengantarkannya ke Airport Agra. Dengan penerbangan pertama Jalal pergi ke Simla untuk melaksanakan amanat ayahnya yaitu menemui tuan Bharmal. Bharmal yang sudah di beritahu akan kedatangan Jalal menunggu pemuda itu diteras rumahnya. Jalal mengagumi rumah perkebunan yang sangat asri itu. Jalal mengulurkan tangan kearah tuan Bharmal, tapi tuan Bharmal malah merengkuh tubuh kekar Jalal dan memeluknya dengan akrab.

“Kau sudah besar Jalal, tampan dan gagah. Dulu terakhir aku melihatmu, kau masih siswa sekolah menengah yang lugu. Tapi sekarang… ~tuan Bharmal menatap Jalal dari ujung kaki ke ujung kepala~ lihatlah.. kau telah berubah. Apakah kau sudah punya pacar?” Ditanya begitu oleh tuan Bharmal, Jalal tersenyum simpul, “sepertinya tak ada wanita yang tertarik padaku, paman. Mugkin karena itu ayah menyuruhku menemui paman. Ini aku membawakan surat beliau.” Bharmal mengambil surat yang di sodorkan Jalal. Dia sebelah tanganya yang bebas, dia mengandeng Jalal masuk sambil berteriak memanggil istrinya, “Mainawati…coba lihat siapa yang datang!”

Seorang wanita separuh baya tapi masih terlihat cantik jelita, tergopoh-gopoh keluar dari ruang dalam. Melihat mainawati, Jalal langsung menghampiri wanita itu dan mengulurkan tanganya.  Mainawati tertawa bahagia menyambut uluran tangan Jalal, “kau tampan sekali nak. Apa kabar ibumu dan ayahmu?” Jalal menjawab khidmat, “mereka baik-baik saja, bibi. Ibu menitipkan salam untuk anda, salam rindu katanya.” Mainawati terlihat bahagia, “kau tau nak, ibumu adalah teman sepermainanku. Kami besar bersama. Sayang, jarak dan kesibukan membuat kami jarang berjumpa. Bukan hanya jarang, tapi bisa di bilang tidak pernah.  Tapi tak apa, dengan hadirmu disini, kerinduanku pada ibumu sedikit terobati.”

Bharmal yang telah selesai membaca surat dari Humayun menyahut, “tak perlu khawatir, Mainawati. Diacara pertunangan nanti, kau pasti akan bertemu teman kecilmu itu.” Mainawati dan Jalal saling bertatapan. Jalal hanya tersenyum. Manawati bertanya dengan sedikit rasa penasaran, “pertunangan siapa?” Bharmal dengan wajah bahagia menjelaskan, “pertunangan anak kita dengan Jalal.” Jalal tersentak kaget. Mainawati tambah heran, “anak yang mana?” Bharmal menyahut dengan antusias, “tentu saja dengan Salima. Dia putri tertua kita. Dia yang harus lebih dulu menikah. Baru yang lainnya.”

Mainawati menatap Jalal dengan rasa ingin tahu. Tapi melihat wajah pucat Jalal, Mainawati mencoba meredakan ketegangannya, “bukankah sebaiknya kita tanya Jalal dan Salima dulu?” Bharmal melambaikan tangan, “tidak perlu. Mereka sudah pasti setuju. Perjodohan mereka berdua sudah kami sepakati sejak lama. Karena itu Humayun mengirim Jalal kemari.” Bharmal menepuk pundak Jalal, “ayahmu selalu menempati janjinya. Dia yang mengusulkan pertunangan ini dulu, sekarang dia mengirimu untuk memenuhi janjinya itu. Percayalah, nak. Salima akan menjadi istri yang baik untukmu. Aku yakin itu.” Jalal dengan wajah pucatnya hanya bisa berdiam diri. tak tahu hendak berkata apa. Dia terlalu bijak untuk membantah tanpa melihat duduk persoalan sebenarnya.

Mainawati dengan senyum penuh pengertian berkata, “duduklah dulu, Jalal. AKu akan menyiapkan kamar untukmu. Malam ini kau harus menginap disini. Besok baru kita semua kembali ke Agra untuk membicarakan lebih lanjut tentang pertunangan kalian. Kami akan memberi kesempatan padamu untuk memutuskan menerima perjodohan ini atau tidak setelah kau melihat Salima.” Mendengar kata-kata lembut Mainawati, Bharmal yang semula hendak membatah, mengurungkan niatnya. Dia hanya tersenyum penuh keyakinan. Jalal pasti tidak akan menolak di jodohkan dengan Salima. Pria mana yang tidak tertarik dan ingin menjadikan Salima sebagai istrinya? Kecantikan, kelembutan,  kebaikannya, kedewasaannya, semua kualitas yang dibutuhkan oleh seorang wanita ada pada Salima.

Di Agra, Jodha sambil menenteng tas dan tangan yang di penuhi berkas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi siap berangkat kerja.  Ruq yang sedang sarapan di meja makan menyapanya, “sarapan dulu, Jodha didi. Aku sidah siapkan egg sandwich favoritmu.” Jodha mengampiri Ruq. Meletakan barang bawaannya di kursi lalu menuang secangkir kopi.  Sambil duduk Jodha berkata, “aku tidak pulang malam ini. Ada meeting dengan klien di Kanpur. Kalau lancar, besok aku pulang. Kalau tidak ya mungkin lusa.” Ruq mengangguk sambil lalu. Lalu dengan wajah berseri-seri dia bercerita, “didi, kau tau siapa yang datang kemari kemarin sore? Kau pasti tidak akan menyangka!” Dengan acuh tak acuh Jodha bertanya, “siapa?”

Ruq menjawab dengan antusias, “Jay Bhaisa. Dia ingin bertemu papa. Aku menyuruhnya menemui papa di Simla. Dia setuju. Dan aku mengantarnya tadi pagi-pagi sekali.”  Jodha tanpa mengalihkan matanya dari koran yang sedang di bacanya bertanya lagi, “Jay Bhaisa? Siapa dia?” Ruq menepukan tanganya di atas artikel yang dibaca Jodha, “Halooo! Jay Bhaisa! Kau tidak ingat? Putra paman Humayun daru Delhi.” Jodha menggeleng sambil mengeser tangan Ruq yang menutupi bacaannya, “aku tidak ingat!” Ruq dengan wajah senang berkata, “syukurlah kalau kau tidak ingat. Kalau kau melihat dia, kau pasti jatuh cinta padanya.” Jodha berguman, “mana bisa jatuh cinta semudah itu!”

Ruq dengan tatapan menerawang berkata lirih, “memang semudah itu. Pertama kali melihatnya, aku tidak mengenalnya. Tapi aku langsung jatuh cinta padanya. Aku ingin menikah dengannya.” Ruq mengenggam jarinya penuh harap, “kalau papa pulang, aku akan bilang pada papa, siapa tahu papa mau membicarakan perjodohan kami.” Jodha menggulung koran yang dibacanya dan memukulkannya ke kepala Ruq dengan perlahan, “jangan mimpi! Kalaupun ada perjodohan di keluarga ini, itu pasti perjodohan Salima didi. Karena dia kakak kita, dia yang akan mendapat prioritas pertama. Dan kau, tunggu giliranmu setelah aku.”

Ruq memanyunkan bibirnya dengan kesal, “berapa lama aku harus menunggu? Pria yang kau cari saja belum ketemu. Kecuali kau mau ku jodohkan dengan temanku yang mirip Anil Kapoor itu…” Jodha mencibir, “jangan coba-coba!” Setelah berkata begitu, Jodha segera meraup tas dan berkas-berkasnya lalau beranjak berdiri, “thx sarapannya. Aku pergi dulu! I’ll miss u yaa!” Jodha memberi isyarat kecupan dengan bibir sexynya. Ruq membalasnya dengan lambaian tangan.

Setelah berbincang-bincang dengan Bharmal dan Mainawati, Jalal di persilahkan istirahat di kamar. Jalal tidak menolak. Sambil berbaring di tempat tidur dia beprikir keras.  Hatinya bimbang dan binggung. Dia sama sekali tidak menyangka kalau dia akan di jodohkan dengan putri tuan Bharmal yang bernama Salima. Padahal bertemu Salima saja dia belum pernah. Bukan hanya itu, yang paling membuat dadanya sesak adalah, karena dia belum menemukan Jodha. Jalal telah berjanji dalam hati kalau dia hanya akan menikah dengan Jodha saja. Jodha seorang. Tapi jika keadaan tidak mendukung, dia harus bagaimana? Mengingkari janji ayahnya? Membantah perintahnya? Sama saja dengan durhaka.

Letih berbaring, Jalal berdiri di jendela. Sejauh matanya memandang dia hanya melihat pohon-pohon apel berjajar rapi dengan buahnya yang ranum bergayut di dahan. Jalal menantap sekeliling halaman sejauh yang bisa di jangkaunya. Dan dia tertegun tak percaya. Ketika dari arah jalan setapak yang menembus rimbunnya batang-batang apel, muncul  sesosok tubuh yang serasa pernah di kenalnya. Cara berjalannya, rambut sebahunya, postur tubuhnya mengingatkan dia pada seseorang.

Tubuh Jalal menegang. Dia mencoba menajamkan matanya untuk melihat wajah si gadis yang menunduk menekuri jalan. Lalu Jalal mendengar suara senandung. Hati Jalal terlonjak gembira. Dia kenal dengan suara itu. Itu suara Jodha. Tanpa pikir panjang, Jalal segera meraih kemejanya dan berlari keluar rumah. Bharmal dan Mainawati yang sedang duduk di ruang tamu terkejut dan bergegas mengikuti langkah Jalal. Saat mereka melihat kalau Jalal berlari menghampiri gadis yang sedang melangkah menuju halaman rumah, Bharmal dan Mainawati saling pandang dan tersenyum bahagia.

Jalal benar-benar tidak membuang waktu. Secepat kilat dia berlari ke arah si gadis yang sedang berjalan sambil bersenandung dengan wajah menunduk menekuri tanah.  Jalal menghentikan larinya tepat di depan si gadis. Si gadis tersentak kaget dan refleks menarik tubuhnya mundur beberpa langkah ke belakang. Jalal membuka mulut hendak memanggil nama Jodha. Si gadis mengangkat wajahnya dengan heran dan penasaran. Jalal terbelalak… 3 Wajah 1 Cinta bag 5

NEXT