Sinopsis Ashoka Samrat episode 3. Achari Chanakya bernarasi, “sudah 14 tahun aku jauh dari Magadha tapi aku tetap berdoa untuknya. Aku meragu, bagaimana jika waktu menghapus budaya yang telah aku dan Chandragupta Maurya tetapkan…” Selama 14 tahun Chanakya menghabiskan waktunya dengan menulis buku, menanti dan mengamati Magadha dari kejauhan. Seringkali dia berdiri di atas puncak batu tertinggi sambil menatap hamparan tanah Magadha.
Chanakya sedang berdiri di depan padepokannya ketika muridnya, Radhagupta datang memberitahu kalau Raja Ujjain, Chatiraj telah menyerang kota mereka.
Pasukan Magadha di bawah pimpinan Bindusara, Justin dan Khorasan tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Bindusara menatap sekeliling tanah lapang itu, tidak ada kelebatan manusia selain dirinya dan pasukan. Khorasan berkata, “Chatiraj pasto bersembunyi di sini.” Justin menyahut, “kita membawa pasukan besar, dia pasti tahu kedatangan kita, mungkin dia telah melarikan diri.” Khorasan menyarankan agar mereka bersiap untuk berperang. Tapi Bindu tidak setuju, “tidak! Justin benar. Kita harus terus kedepan dan melihat kebenarannya.”
Achari Chanakya berkata kalau Chatiraj sebenarnya adalah raja yang baik. Tapi dia menentang Magdaha, karena itu dia akan mendapat masalah besar. Radhagupta bertanya, “bagaimana kalau seluruh India terbakar dalam perang ini?” Chanakya dengan tatapan menerawang berkata kalau dia mulai meragukan masa depan magadha, “kita butuh Samrat yang lebih tangguh daripaa Samrat Bindusara.”
Di medan perang yang sepi itu, Bindusara memerintahkan beberapa perwiranya yang tangguh untuk maju kedepan bersama dirinya, sedangkan yang lain tinggal di belakang. Belum jauh Bindusara dan pasukan pilihannya melangkah, sebuah panah api menluncur dan membakar tanah di belang Samrat dan di depan pasukannya. Sehingga antara Bindusara dan pasukannya di pisahkan oleh lautan api. Saat Bindusara dan pasukan pilihan sedang terkaget-kaget, tentara Chatiraj muncul dari dalam tanah dan langsung menyerang mereka. Pertarungan sengitpun terjadi. Bindusara, Justin dan Khorasan berjuang keras merobohkan pasukan musuh yang mengepungnya. Tapi musuh seperti aliran air, satu tumbang, yang lain datang menyerbu. Sementara itu dari atas bukit Chatiraj memperhatikan pertarungan yang tak seimbang itu dengan seksama. Melihat anak buahnya di bantai, sambil mengangkat pedang, chatiraj turun dari kudanya dan maju ke medan pertempuran langsung berhadapan dengan justin. Keduanya pun bertarung dengan sengit. Satu kesempatan Justin berhasil menjatuhkan Chatiraj, kesempatan lain Chatiraj berhasil menjatuhkan Justin. Bahkan di satu kesempatan Chatiraj hampir saja membunuh Justin untuk Bindusara berhasil menahan laju pedang. Justin terpana tak percaya melihat aksi Bindusara. Pertarungan antara Chatiraj dan bindusara pun berkangsung dengan hebat. Masing-masing mempunyai kekuatan dan strategi yang hebat. Sampai di suatu saat, Bindusara berkali-kali berhasil melukai Chatiraj. Di satu titik yang menentukan, saat Bindusara lengah, Chatiraj berhasil menusukan pedang ke perutnya. Merasakan perutnya terluka, untuk terakhir kalinya, Bindusara menebaskan pedangnya kearah Chatiraj yang langsung tewas seketika. Justin yang melihat itu dari jauh tertegun tak percaya melihat Bindusara jatuh bersimpuh di tanah dengan pedang menacap di perut. Secepat kilat Justin berlari, membuang pedangnya dan membantu Bindusara…
Dalam keadaan pingsan, Bindusara di bawah ke istana. Tabib segera datang memeriksa. Noor Sambil menangis menghampiri Bindusara, dengan sedih dia berkata, “Samrat, kau adalah hidupku. Aku tak akan membiarkan apapun terjadi padamu.” Mendengar kata0kata Noor untuk sesaat Bindusara membuka matanya. Noor menatap ayahnya meminta dukungan. Khorasan mengangguk menenangkan. Dengan penuh kasih Noor menatap Samrat. Dalam keadaan setengah sadar, memanggil nama Dharma. Bindusara terbayang saat dia melamar Dharma, kembali dia berguman, “Dharma.” Noor tesentak, hatinya terluka. Begitu pula Khorasan. Kedua ayah dan anak itu saling berpandangan. Sekali lagi Bindusara menyebut nama Dharma. Dengan marah Noor berlari meninggalkan tempat itu di iringin tatapan prihatin Khorasan.
Achari Chanakya mendapat kabar dari muridnya kalau Bindusara terluka dan Magadha terbakar dalam kerusuhan. Pewaris tahta, pengeran Sushim dan pangeran Siamak tidak mampu bertindak karena terlalu muda, tapi mereka bersaing merebut tahta. Kalau terus sepertiini, Magadha akan hancur. Achary Chanakya berkata, “bukan para pangeran, tapi ibu mereka yang sedang bersaing. Satu sisi ada Charumitra yang memiliki darah hitam di nadinya..”
~Charumitra sedang mengadakan ritual ilmu hitam dengan mengorbankan nyawa manusia. Di hadapan Sushim dan korbannya dia merapal mantra, “malam ini adalah malam gerhana. AKu mengorbankan 3 nyawa agar anakku Su shim menjadi Raja. Tuhan, terimalah persembahanku ini.” Bersamaan itu, di hadapan mereka 3 orang di ikat dan di bakar hidup-hidup. Melihat itu Charumitra tertawa. Pada Sushim dia berkata kalau Bindusara sedang sekarat, “bersiap-siaplah untuk menjadi raja baru.”~
Achary Chanakya juga berkata, “di sisi lain, putri Khorasan, ratu Noor juga berjuang untuk membuat anaknya pengeran Siamak menjadi raja menggantikan Bindusara.”
~Noor dan Khorasan sedang memperhatikan Siamak berlatih pedang. Noor terlihat bangga. Pada Khorasan Noor berkata, “bagaimanaku caranya, anakku harus menjadi Samrat. Itu janjiku!” Khorasan mengangguk setuju.~
Achary Chanakya berkata, “para pangeran yang di asuh oleh ibu yang tamak, bagaimana bisa menjadi masadepan Magadha? Negeriini ingin Samrat seperti Chandragupta. yang bisa mengambil keputusan. Magadha menginginkan darah Maurya, seorang ksatria yang bisa menentukan, memberi kesejahteraan, sangat kuat…” Seorang murid menyela, “tapi..dinasti Maurya tidak punya pangeran yang seperti ini.” Pertanyaan pendeta muda itu di jawab oleh auman seekor singa yang hanya Chanakya saja yang bisa melihatnya. Chanakya menoleh kearah singa itu, sang singa melengos lalu membalikan badan. Chanakya tersenyum.
Di istana Magadha, kondisi Bindusara belum ada perubahan. Tabib masih mencoba mengobatinya secara lebih intensif. Di padepokannya, Chanakya bersiap-siap untuk menemukan Samrat baru dengan bantuan singa jelmaan Chandragupta Maurya. Demi mencapai tujuannya, Chanakya di dampingi murid setianya Radhagupta menerobos hutan mengikuti jejak singa. hingga sampailah merek di sebuah tempat, ketika tiba-tiba singa menghilang. Sesaat Chanakya terlihat kebingungan. Seorang anak kecil meloncat dari atas pohon menghadangnya. Dengan gagah anak itu berkata, “kalau anda ingin lewat anda harus membayar pajak.” Chanakya dengan kalem bertanya, “siapa kau, meminta pajak?” Sianak menjawab kalau dia tangan kanan Samrat, masa depan Magadha, “aku Shatrujeet. Semua orang harus membayar pajak.” Dengan kalemnya Chanakya kembali bertanya, “siapa samratmu?” Jeet menjawab, “dia yang memecahkan masalah orang-orang. Lekas berikan pajaknya.” Sambil tersenyum Chanakya memberi Shatrujeet beberapa keping koin untuk membayar pajak, “bolehkan aku bertemu samratmu?” Shatru dengan bangga menjawab, “kenapa tidak? Dia bisa menyelesaikan berbagai masalah.”
Seorang anak dengan topeng singa berdiri dengan gagah. Dia adalah Ashoka. Anak-anak lain memberitahukan pada khalayak siapa dia. Dia adalah samrat baru Magadha, yang sangat kuat dan pemaaf. Anak-anak mengelu-elukan dia. Semua orang desa berkumpul untuk menonton. Seorang pria berkomentar, “anak itu akan menjadi Samrat? Melihat pakaiannya aku tidak yakin kalau dia bisa mengatur makanannya.” Ashoka mengeram marah. Dengan bersalto dia menghampiri si pria yang mencelanya. Dia berdiri dihadapan pria dewasa itu tanpa gentar, “Samrat tidak di tentukan dari pakaiannya, tidak dari kekayaannya tapi dari perbuatannya. Tilakku akan di buat dari tanah negeriku.” Ank-anak pendukungnya segera membuat formasi layaknya sebuah tahta. Ashoka duduk diatas punggung kawannya. Kawan yang lain meraup debu dari tanah. Dengan gestur yang gagah, Ashoka membuka topengnya. Temannya lalu memasangkan tilak di keningnya. Setelah itu terdengar anak-anak mengelu-elukan gelarnya. Chanakya dan Radhagupta melihat semua adegan itu dengan rasa ingin tahu. Saat melihat wajah Ashoka, Chanakya tersenyum tipis.
Penduduk yang lain yang hadir di tempat itu berkata, “Samrat Bindusara mungkin sakit, tapi masih hidup. Jika dia tahu semua ini, maka kita semua pasti di hukum mati.” Ashok menyahut, “kalau hidup saja sepeerti mati, kenapa peduli dengan hukuman mati? Samrat sering mabuk. Dia tidak dekat dengan rakyat. Dia memiliki banyak wanita di sekelilingnya tapi rakyatnya sekarat. Samrat menghitung istrinya dan orang-orang ram-ram Satye.” Anak-anak segera membopong Ashoka sambil bersorak, “ram-ram Satye.” Radhagupt tertawa mendengarnya. Saat Chanakya menatap kearahnya, tawa Radhagup langsung terhenti. Seorang penduduk menegur Ashok yang memperolok samrat, “samrat sedang kritis dan kau malah mengolok-olok dia.” Dengan salto yang membuat Chanakya an orang-orang terpesona, Ashok mendarat tepat di hadapan orang itu, “aku tidak sopan dan samrat ignoran (tidak perdulian). Orang yang ingin tahta adalah musuh nyata samrat,” Chanakya terkesan. Ashok melanjutkan, “semua orang ingin tahta, baik itu bangsa Yunani, ataupun Khorasani. Kita tidak punya jalur perdangangan ataupun makanan. Dan Samrat tidak menegakkan keadilan. Tidak ada harapan. Hanya aku harapan kalian. Datanglah padaku dengan rasa sakit dan kalian akan kusembuhkan.” Dengan gagah, Ashok duduk kembali di “tahta”nya. Anak-anak kembali mengelu-elukan Ashok. Sedang asyiknya berteriak-teriak memuja Ashok, tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit Magadha bersenjata lengkap. Anak-anak segera berlari menyelamatkan diri. Tinggal ashok yang terjatuh di tanah tak berdaya. Para prajurit mengelilinginya dengan pedang terhunus, “mengapa kau mengolok-olok Samrat kami? Tangkap dia!” Prajurit hendak menangkap Ashok yang terbaring di tanah. Tapi dengan gerakan salto yang cantik, Ashok berhasil meloncati para prajurit dan membebaskan diri dari kepungan. Ketika para prajurit terpana, dengan cepat Ashok mengambil langkah seribu untuk menyelamatkan diri. Chanakya mengamati insiden itu dengan rasa ingin tahu.
Dengan kecerdasan dan kesigapannya, Ashok membuat sibuk prajurit yang mengejarnya, meski itu artinya membuat porak-poranda dagangan orang dan menganggu sarang tawon. Meski akhirnya dia tertagkap juga. Pada prajurit yang menangkapnya ashok berkata, “kalau aku jadi samrat, aku akan menghukummu.” Prajurit menjawab, “setelah apa yang kau lakukan, kau bisa di bunuh.” Ashok menepis tangan prajurit yang memeganginya, “aku tahu, aku harus membayar suap membebaskan diri. ~Ashok mengeluarkan cincin emas bermata kepala singa pemberian Bindusara pada Dharma~ Ini ambil..!” Ashok menunjukan cincin itu di hadapan prajurit. Prajurit tergiur. Tapi sebuah tangan lebih dulu mengambil cincin itu dari tangan Ashok, tangan Achari Chanaknya. Dengan rasa ingin tahu, Chanaknya bertanya,”dari siapa kau mendapatkan cincin ini? Siapa kamu? Siapa namamu?” Ashok menjawab, “aku Ashok, Samrat Ashok!” Chanaknya ingat bagaimana Chandragupra dulu juga punya kelakuan yang sama ketika masih anak-anak dan menawari Acharaya menjadi gurunya. Chanakya tersenyum dan berkata paa Ashok, “samrat, mencuri adalah sebuah kejahatan. bagaimana kau mendapatkan cincin ini? Katakan paaku!” Untuk sesaat Ashok terlihat tegang. Tapi sudut matanya melihat kuda Acharaya, timbul ide cerdik di benaknya. Tiba-tiba dia terduduk di depan kaki Acharaya, menyembah dan berkata, “saya pikir hidup asaya akan berubah setelah berntemu denganmu. Terimakasih telah datang.” Lalu dengan perlahan dia bangkit, tatapannya terkunci pada cincin. Chanakya tidak menyadari itu. Setelah tubuhnya hampir tegak, dengan sekuat tenaga dia merebut cincin di tangan Chanakya lalu berlari ke arah kuda dan menaikinya dengan sigap. Sebelum melaju, Ashok sembat menoleh kearaf Acharaya Chanakya sambil tersenyum penuh kemenangan. Prajurit berniat mengejarnya tapi Chanakya melarang. Chanakya terpesona oleh gayanya dan kecerdasannya. Begitu Ashok lenyap, Singa yang sama muncul di atap gazebo dan menatap kearah mana Ashok menghilang. Chanakya memahami isyarat itu dan tersenyum bijak. Pada radhagupta Achari Chanakya berkata, “Radhagupta, cari tahu siapa anak itu dan di mana dia tinggal. Kita sudah menemukannya.”
Shatrujeet dan anak-anak yang lain bersantai di bawah pohon sambil membicarakan Ashoka. Jeet berkata, “Samrat kita tertangkap bahkan sebelum menjadi Samrat.” yang lain bertanya, “apakah kira-kira kita juga akan di tangkap?” Belum selesai mereka membahas masalah itu, terdengar derap kaki kuda dan ashok duduk diatasnya. Anaka-anak tertawa gembira dan segera menyambutnya. Ashok turun dari kuda dan menegur teman-temannya, “kalian ingin menjadi orang kepercayaan ku tapi meninggalkan aku begitu saja? Kalian pengecut!” Ashok menendang salah punggung salah satu anak yang ada di dekatnya. Anak itu terjengkang ke tanah dan kawan-kawannya menahan tawa. Jeet bertanya bagaimana Ashok dapat lolos dari prajurit? Dengan sombong Ashok menjawab, “mereka tidak bisa menangkap Samrat. Berapa banyak pajak yang kalian kumpulkan hari ini?” Seorang anak segera menggelar kain putih di atas tanah dan menjatuhkan koin ke atasnya. Tindakannya itu di ikuti oleh anak-anak lain. Mereka semua mengeluarkan koin dan menjatuhkannya di kain putih. Ashok jongkok mengambilin koin itu sambil berkata, “ini bukan pajak, tapi kepercayaan orang pada Samrat baru. Ayo bersoraklah untukku.” Anak-anak hendaka mengangkat tangan dan mengelu-elukan Ashok ketika tiba-tiba mereka semua menggurungkan niatnya dan tertunduk bungkam. Ashok dengan menghardik menyuruh mereka memuji Samrat baru. Tapi tak seorang pun yang berani membuka mulut. Lalu terdengar suara Dharma, “panjang umur Samrat! Panjang umur Samrat!” Dengan tegang Ashok berbalik dan menatap Dharma dengan rasa bersalah. Saking tegangnya, sampai koin yang tertampung di tanganya terjatuh. Melihat itu Dharma bertanya, “darimana kau dapatkan koin-koin itu?” Ashok tidak menjawab. Dharma menatap anak-anak. Satu persatu mereka menjawab pertanayaan Dharma mewakili Ashok. Ada yang bilang Ashok membantu orang dan di beri hadiah. Ada yang bilang Ashok menyelamatkan anak yang jatuh ke danau. Ada juga yang bilang Ashok berdoa pada dewa dan dewa bahagia lalau memberinya koin sebanyak itu. Dharma tentu saja tidak percaya begitu saja. Dengan sikap keibuanya, dia mendekati Ashok, memegang bahunya dan berkata, “tatap mataku dan katakan yang sebenarnya!” Ashok mengumpulkan koin-koin yang barjatuhan sambil berkata, “orang-orang memberiku koin karena mereka percaya padaku. Mereka memberikannya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Aku akan menggunakan koin ini untuk pasukanku kelak.” Dharma dengan lembut tapi tegas berkata, “kau harus mengembalikan koin-koin dan juga akan mendapat hukuman.” Mendengar kata-kata Dharma, secepat kilat teman-teman Ashok melarikan diri. Ketika Ashok menoleh untuk meminta dukungan mereka semua sudah lenyap. Ashok tersenyum masam, dengan wajah memelas dia memohon, “biarkan aku kelaparan tapi jangan beri aku hukuman yang itu, ma.” dharma tidak bergeming, “kau seharusnya berpikir sebelum melakukan hal ini. ” Ashok merajuk.
Dharma membuat ramuan herbal pahit sebagai hukuman untuk Ashoka. Ashok merayu, “maafkan aku, ma. Aku tidak mau minum obat itu sebagai hukuman.” Dharma tidak memgubrisnya. Dia menyerahkan cangkir berisi herbal pahit pada Ashok, “minumlah!” Dibawah tatapan tajam Dharma, Ashok meneguk obat itu, tapi hanya satu tegukan, dia sudah merasa kepahitan. Sambil nyengir Ashok berkata, “sangat enak, tapi aku tidak bisa minum lagi.” Dharma menjelaskan, “obat herbal itu sangat bagus untuk ingatanmu. Agar kau tidak pernah lupa kalau kau bukan Samrat, tapi rakyat biasa. Minumlah!” Ashok pura-pura akan meminum ramuan itu, tapi ketika Dharma lengah, Ashok segera meletakkan gelas dan cepat-cepat kabur. Dharma mengejarnya sambil memanggil-manggil Ashok. Ashok terus saja berlari, pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul Chanakya, Ashok segera menghentikan langkahnya. Melihat Chanakya, Ashok langsung ngomel, “kalau anda datang untuk mengeluh tentang saya, biar saya katakan, aku telah mengatakan yang sebenar padanya..” Ashok melirik Dharma. Dharma memberi hormat pada Chanakya dan bertanya, “anda siapa?” Ashok yang menjawab, “dia Achary Chanakya, guru besar Samrat Maurya.” Mendengar itu Dharma teringat pernikahannya dengana Bindusara, begaimana dia menunggu bindu kembali, bagaimana ayahnya terbunuh, bagaimana Khorasan mengatakan kalau Bindusara memerintahkan dirinya untuk menghabisi Dharma. Mengingat itu semua, Dharma tertegun…. NEXT: Sinopsis Ashoka Samrat episode 4