Dia Seperti Arnil by Ayi Yufridar

Dia Seperti Arnil by Ayi Yufridar. Vila berpagar hitam itu nampak begitu indah bila di lihat dari teras vilaku. Halaman vila itu di tumbuhi berbagai jenis bunga yang di tata dengan baik, mirip taman di rumah-rumah tradisional Jepang. Pemilik vila itu pastilah seseorang yang memiliki selera tinggi pada keindahan.  Dibandingkan dengan vilaku yang baru beberapa bulan di beli papa, vila itu nampak jauh lebi nyaman dan teduh. Mungkin pemiliknya seorang konglomerat sehingga dia memiliki banyak uang untuk membangun vila yang mewah dan indah. Sedang papaku hanya seorang pengusaha kelas menengah yang karena kegigihannya dapat membeli vila.

ANGELMAN-1Aku sering berjalan melewati vila itu bila pagi hari. Dan setiap pagi selalu kulihat seorang laki-laki paruh baya yang nampak asyik merawat tanaman. Laki-laki itu selalu tersenyum ramah padaku bila kebetulan kami bersirobok pandang. Terkadang dia berbasa-basi menawariku masuk ke dalam vila itu. Sesekali dia juga mengucapkan selamat pagi padaku. Melihat keramahan itu, aku sering teringat pada papa yang se;a;u ramah pada siapa saja.

Kalau hari mulai beranjak sore, dari vila itu terdengan denting piano. Lagu yang sering di mainkan adalah Don’t cry  dan November Rain-nya Gun N’Roses. Lagu itu di nyanyikan oleh seorang cowok yang menurut oendengaranku begitu mirip dengan suara Axl Rose.

Diam-diam aku sering mengikuti suara cowok itu … “Don’t you cry tinight, I still love you baby..”

“Nampaknya kamu sangat menyukai cowok itu, ” kata Endah suatu ketika. Sore itu aku sedang khusuk menyimak lagu Don’t cry yang di nyanyikan cowok itu.
“Bukan pada suara cowok itu,” sahutku meralat, “tapi pada lagu yang dimainkannya.”
“Don’t cry?” tanya Endah heran.
“Iya, kenapa?”
“Itukan lagu lama.”
“Tapi aku suka,” sahutku jujur. Endah nampak tersenyum tipis.
“Kamu poernah menyimpan kenangan bersama Asrnil tentang lagu itu?”
Aku mendelik cepat. Duh Gusti dari apa Kau buat hari makhluk-Mu yang satu ini. Tidakkah dia tahu bahwa kehadiranku di vila ini justru karena ingin mengubur semua kenangan bersama Arnil? Tidakkah dia tahu bahwa aku ingin memipus bayang-bayang Arnil dari benakku?
Tidak kugubris pertanyaan Endah. Sebagai jawabannya, aku sengaja memasang wajah cemberut. Biar dia tahu kalau aku tidak senang dengan pertanyaannya tadi.
“Sorry dech, aku memang terlanjur ngomong tadi. Tapi lain kali enggak lagi,” kata Endah kemudian tanpa perasaan berdosa. Setelah itu, Endah langsung menghambur ke dalam dan membiarkan aku melamun di teras.
Aku mencoba menyimak lagu itu lagi. tapi kali ini jadi tidak menarik lagi karena lagu tersebut sudah memasuki bagian akhir. AKu berharap cowok itu memainkan November Rain seperti biasa.
Beberapa menit menunggu, intr lagu November Rain belum juga terdengar. Dengan sedikit kecewa, kuangkat pantatku dari kursi yang terasa hangat. Suasana di luar sudah nampak remang-remang. Sebentar lagi senja akan datang.
***

Pagi menyibak dingin hawa pegunungan. Aku melangkah perlahan menyusuri jalan berkabut di depan vila. Jalan-jalan di daerah sini memang sangat mengasikkan. Selain bisa menghirup udara yang sejuk dan seratus persen bebas polusi, pemandangan sekitar pegunungan ini pun menyuguhkan keindahan yang luar biasa.

Sesaat aku mematung dan memperhatikan halaman vila berpagar hitam itu. Ada yang membuatku kagum pada beberapa pohon mawar yang tumbuh subur di halaman vila itu. Bunganya yang merah menyala nampak begitu indah di timpa sinar matahari pagi.
“Kamu menyukai mawar-mawar itu?” sapa sebuah suara tiba-tiba.
“Oh iya,” sahutku sambil memutar tubuh ke belakang. Di hadapanku kini tegak sesosok tubuh yang tidak ku kenal. Dia seorang cowok, memakai training warna bitu muda dan jaket parasut berlogo tim nasional sepakbola Jerman. Melihat jaket tersebut aku jadi teringat Arnil yang juga memiliki jaket serupa.
Samar kulihat cowok itu mengembangkan senyumnya. “Vila ini milikku, eh, maksudnya milik papaku. Kamu boleh mengambil bunga mawar itu kalau mau,” tawar cowok itu ramah.
“Oh terima kasih sekali,” sahutku senang. Kemudian cowok itu mengajakku masuk kedalam taman vilanya. Dipetiknya beberapa tangkai bunga mawar dan diserahkan padaku.
“Saya juga menyukai mawar merah ini, mengingatkan saya pada lagu Slank yang juga saya sukai,” ujar cowok itu.
“Tapi kamu jarang menyanyikannya. Aku malah sering mendengar Don’t Cry setiap sore.”
Cowok itu menatapku cepat.
“Kamu sering mendengarkannya.”
Aku mengangguk.
“Oh ya, kita belum kenalan. Siapa namamu?” tanya cowok itu kemudian.
“Pia.”
“Saya Dodi. Kita bertetangga rupanya. Sayang nggak pernah bertemu. Saya memang jarang di ruang selain sore hari.”
Aku menatap cowok itu spintas. Entah kenapa tiba-tiba aku menyukai carabicaranya yang akrab dan bersahaja.
“Kamu sendiri di sini?”
“Berdua dengan Endah, sepupuku.”
Cowok itu lalu mempersilahkan aku duduk didepan teras. “Kamu menggemari sepakbola, ya?” tanyaku menebak. Sekali lagi Dodi menatapku cepat.
“Kok tahu?” tanyanya penuh keheranaan.
“Jaket yang kamu pakai mirip sekali dengan jaket Arnil.”
“Arnil?”
“Iya, dia sahabat saya. Dia sering pakai jaket berlogo tim sepakbola Jerman kattena mengidolai salah seorang pemainnya.”
“Saya juga mengagumi permain Jerman.”
“Oh ya?”
Dodi mengangguk, “Saya kagum pada Lothar Matthaeus, kapten kesebelasan.”
Aku menggeragap. Kaget mendengar ucapan Dodi barusan. Lothar Matthaeus, bukankah dia juga pemain idola Arnil? Poster-posternya banyak memenuhi dinding kamar Arnil. Kenapa mereka bisa mengidolai pemain yang sama?
“Kalau boleh aku tahu, di mana posisi kamu?” aku menanyakan posisi yang ditempati Dodi dalam sepakbola.
“Libero.”
Sekali lagi aku tersekat kaget. Masya Allah, Arnil juga menempati posisi Libero di dalam timnya. Bagaimana mungkin mereka begitu sama?
“Kayaknya kamu juga mengerti tentang sepakbola?”
“Iya, aku membenari. Arnil memang sering ‘menculik’ku untuk menyaksikan dia latihan  atau bertanding. Tak jarang aku menemaninya nonton siaran langsung sepakbola di RCTI. maka mau tak mau akujadi banyak mengerti tentang dunia olahraga yang di gemari banyak orang itu.
kami terus mengobrol di halaman vila itu sampai kurasa sinar matahari mulai menghangat. Rasanya aku betah ngobrol dengan Dodi beberapa menit. Gaya bicaranya yang enak di dengar, senyumnya yang ramah serta kegemarannya pada sepakbola mengingatkanku pada Arnil. Tapi aku harus segera kembali kalau tak ingin Endah menyusul ke sini.

“Aku sudah kenal dengan cowok itu,” laporku pada Endah yang tengah menyiapkan sarapan pagi.
“Cowok yang di seberang vila itu?”
Aku mengangguk.
Dia tentu sangat tampan, ” kata Endah seperti pada dirinya sendiri.
“Kalau yang itu memang nggak usah di ragukan. Tapi itu sama sekali nggak penting buatku,” aku membantu Endah mengangkat makanan ke meja.
“lantas?”
“Cowok itu banyak sekali kesamanaanya dengan Arnil.”
“Contohnya?”
“Dodi menggemari sepakbola. Bahkan posisi dan pemain idola mereka juga sama.”
“Cuma kebetulan, Pia.”
“Iya. Kebetulan yang mengejutkan.”
Endah mengangkat bahu. Lalu bersiap untuk menyantap makanannya.
“Nampaknya kamu tertarik dengan cowok itu,” ujar Endah sambilmemberi piring padaku.
“Bukan pada cowok itu,” aku meralat. “Tapi pada kesamaannya dengan Arnil.”
“Apa bedanya?”
“Jelas berbeda. Bila menyangkut masalah ketertarikan, masih belum ada yang mampu menggantikan tempat arnil di hatiku,” kataku tegas.
“Lho, katanya kamu ingin melupakan Arnil..”
“Ucapanmu selalu salah. Siapa bilang aku ingin melupakan Arnil? Aku hanya nggak mau tenggelam dalam kesedihan setelah Arnil pergi. Aku ingin memupus bayang-bayang Arnil dari benarkku. Tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiranku untuk melupakan Arnil.”

Endah bungkam. Tapi aku tahu itu tidak akan berlangsung lama. Dia memang bukan tipe cewek yang tahan diam berlama-lama. Endah memang sedikit cerewet dan ceplas-ceplos, tapi aku sangat menyukainya.
“Jadi, kesimpulannya kamu masih berlum bisa membuka hatimu untuk cowok lain?”
“Iya, setidaknya untuk saat ini,” tegasku. Kulihat Endah menghela nafas panjang. Mungkin dia kecewa mendengar jawabanku. Karena aku yakin dalam otaknya ada sebuah nama yang akan di tawari padaku untuk menggantikan posisi Arnil.
Beberapa menit lamanya kami saling berdiam diri.
“Sore nanti Dodi mengundang kita ke vilanya.” kataku kemudian.
“Kamu menerimanya?”
“Aku nggak bilang begitu. Aku akan menerima undangannya bila kamu ikut serta.”
Endah menatapku sekilas.
“Aku ikut,” jawabnya, “siapa tahu cowok itu…siapa namanya tadi?”
“Dodi.”
“Iya, siapa tahu Dodi nanti kecantol aku,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum. Kemudian kami sama-sama melanjutkan sarapan kami yang sudah agak kesiangan.

***

Kian hari persahabatanku dengan Dodi semakin akrab saja. Kami sering berdiskusi tentang apa saja terutama tentang kegemaran Dodi yaitu sepakbola. Kalau sudah bosan bercerita, kami suka jalan-jalan melihat pemadangan.
Dodi juga sering main ke vilaku. Terkadang, kami mengajak Endah bermain kartu. Dari persahabatan itulah aku mengenal pribadi Dodi lebih jauh.
Menurutku Dodi memenag sebuiah pribadi yang menarik. Cowok itu benar-benar duplikat Arnil. Baik kegemaran, tingkah laku maupun postur tubuhnya yang tinggi dan kekar.
Aku nggak mengerti mengapa DOdi begitu banyak persamaannya dengan Arnil. Sekali waktu pernah aku berpikir kalau Dodi adik sepupunya Arnil atau di antara mereka ada hubungan darah yang menyebabkan mereka begitu sama. Namun hal itu tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin.
Arnil nggak punya sudara yang lain. Dia anak tunggal. Adik dan kakak sepupunya memang banyak. Aku mengenal mereka karena Arnil sering mengikutsertakan aku dalam acara keluarganya.
Ketika masalah ini aku katakan pada Endah, dia hanya tersenyum. Lalu katanya, “cuma kebetulan, Pia.”
“Aku nggak percaya pada kebetulan yang begituan,” sanggahku.
“Lantas kalau nggak percaya kamu mau apa? Mau menuntut Dodi karena memiliki banyak kesamaan dengan Arnilmu?”
“Kamu gila?” kataku nggak senang. Bukan pada ucapan Endah barusan, tapi pada caranya mengucapkan “Arnilmu”. Dia tidak menjaga perasaanku dansembrono dalam mengeluarkan kata-kata.
Namun Endah tetap Endah. Gadis itu malah tertawa menanggapi makianku.
“Nggak usah terlalu di pikirkan. Di dunia ini memang banyak manusia yang mirip. Contohnya aku,” ujar Endah.
“Kamu?”
“Iya. Kalau kamu perhatikan baik-baik, aku ini mirip-mirip Winona Ryder lho.”
Aku tertawa sambil menonjok bahu Endah, “huu..GR!”
“Bukan GR, tapi percaya diri,” tukas Endah. Tawanya kembali berderai.
Percakapan dengan Endah memang tidak menghasilkan apa-apa. Pernah juga aku menyinggung kemiripan itu pada Dodi. Saat itu, kalau tidak salah, aku dan Dodi sedang duduk-duduk di teras vila.
“Arnil? Rasanya kamu pernah menyebutkan nama itu,” ujar Dodi. “Siapa dia sebenarnya? Pacar kamu ya?”
Pertanyaan Dodi yang beruntun membuat aku gelagapan. Dengan susah payah kuanggukan kepala sebagai jawaban. Memang sulit sekali menentukan status hubunganku dengan Arnil. Di bilang pacaran, kami belum pernah menyatakan isi hati masing-masing. Meskipun aku yakin kami saling mencintai. tapi di bilang nggak pacaran, hubungan kami berdua menunjukkan bahwa kami adalah sepasang kekasih.
“Kenapa Arnil nggak menyertaimu kemari?” tanya Dodi memotong lamunanku.
“DIa sudah meninggal tiga bulan lalu..”
“Stop, nggak usah di lanjutkan. Aku mengerti.”
Waktu itu aku langsung berdiam diri. Bukan karena sedih atau ada alasan lain. Tapi memang aku ggak tahu harus bilang apa, dan bagaimana.
“Lebih baik kita bicara yang lain saja. MIsalnya tentang rencana kamu selanjutnya. Oh ya, berapa lama lagi kamu tinggal di sini?”
Tergantung keadaan. Bisa jadi masih cukup lama bila aku betah, tapi juga bisa besok kalau keadaan di sini sudah membosankan,” jawabku. “Kamu sendiri?”
“Masih lama. Aku harus menunggu adikku yang akan tiba di sini.”
Begitulah. Pembicaraanku dengan Dodi akhirnya melenceng dari yang kurencanakan semula. Dodi bercerita tentang adiknya, kuliahnya dan semua yang pantas untuk di ceritakan. AKu hanya mendengarkan saja sambil sesekali memberi komentar.

***

Semenjak itu aku nggak pernah lagi mempersoalkan kemiripan Dodi dengan Arnil. Aku sudah menganggapnya sebagai suatu kebetulan seperti yang di katakan Endah.
Minggu pagi, setelah lari-lari di sekitar pegunungan, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah itu aku sudah berjanji pada Dodi akan main ke vilanya bersama Endah.
Aku sengaja membasahi rambut agar terasa lebih segar. Dengan rambut basah yang setengah basah karena tidak ada pengering, aku menuju halaman vila untuk menemui Endah yang tadi kulihat di situ. Tapi ternyata dia tidak ada. Aku langsung menyusulnya ke vila Dodi karena mengira Endah pasti sudah berada di sana.
Kusenyumi tukang kebun Dodi yang tengah merawat tanaman. Semenjak akrab dengan Dodi, tukang kebun separuh baya inipun ikutan akrab denganku.
Aku menginjakan kaki di teras vila Dodi dengan riang. Tapi aku urung mengentuk pintu ketika melihat sosok Endah bersama Dodi di ruang utama. Di bauri rasa penasaran, aku merapatkan kuping mencuri dengar percakapan mereka.
“Terima kasih, Dod. kamu telah membantuku melupakan kesedihan Pia. Mudah-mudahan dia bisa lepas dari bayang-bayang Arnil denga kehadiranmu.”
“Tapi aku benar-benar capek. Menjadi orang lain ternyata sama sekali nggak gampang.”
“Tapi kamu akan terus berusaha kan Dod?”
“Tentu. Demi kamu dan Pia, aku akan terus berusaha menjadi Arnil yang sebenarnya. Meskipun….”
Aku terlejut bukan main. Ya Tuhan, jadi selama ini Dodi telah bersandiwara menjadi seorang Arnil? Jadi semua kemiripannya dengan Arnil hanya kamulflase agar aku menemukan pribadi Arnil dalam dirinya?
Dan Endah. Aku sungguh nggak menyangka kalau sepupuku itu berdiri di belakang semua kebohongan ini. Apapun alasannya aku nggak bisa menerima perlakuan ini begitu saja. Mereka telah mempermainkan perasaanku.
Setengah berlari, aku meninggalkan tempat ini.

THE END