Kidung Camar Pulang by Benny Ramdhani. Badai dan kabut yang berbaur membuat suasana kian mencekam. Vita berusaha menerobos tantangan alam itu cuma dengan lampu senter kabutnya. Ia nggak peduli air hujan yang sudah menyelusup flanelnya, melewati raincoat kuningnya. Ia harus buru-buru sampai ke arah suara ribut di lembah gunung yang ditapakinya.
“Vita, syukur elo sampai juga! Kita harus segera membawanya turun,” Arief menunjuk seorang peserta pendidikan dan latihan dasar yang terbaring.
Bibir cowok itu tampak kelu, sesekali bergetar seperti hendak meneriakkan kesakitannya. Vita langsung menggigit bibirnya sewaktu memeriksa perut cowok itu yang membiru. Ternyata ia tak cuma dehidrasi, tapi juga infeksi lambung.
“Cepat bawa turun! Seharusnya kalian mggak perlu menunggu komando gue! Cepat!” Vita berteriak lantang.
Tenggorokannya yang kering kehausan membuat Vita terjaga dari tidurnya. Rupanya bayangan itu telah membuat keringatnya keluar berlebihan. Diliriknya sebentar jam beker di atas meja. Sebentar lagi pukul enam pagi.
Vita mengusap rambutnya ke belakang. Diteguknya air putih yang biasa ia siapkan di atas meja. Masih agak malas Vita meninggalkan kamar. Ia memandang sederatan foto yang memadati dinding kamar.
Matahari terbenam di pantai selatan, sunrise di puncak Gunung Slamet, kawah putih Gunung Patuha, sampai riak Danau Segara Anakan di Rinjani. Semua menjalin keindahan di balik petualangan yang dilakukan Vita.
Mana mungkin gue ninggalin ini semua, Vita membatin.
“Mbak Vit, ada telepon!” teriak lantang dan ketukan pintu yang dilakukan Deza memaksa Vita segera meninggalkan kamarnya.
“Lain kali nggak perlu teriak-teriak begitu, Za!” hardik Vita kesal.
“Kirain Mbak Vita masih tidur.”
Vita bergegas ke ruang tengah setelah sekali lagi memelototi adiknya. Diambilnya gagang telepon yang digeletakkan di atas meja kecil.
“Vita di sini. Dengan siapa nih?” sapa Vita seperti biasanya.
“Yola. Ada berita penting, Vit. Kayaknya kami nggak bisa ngajak elo ke Pantai Pangumbahan lusa,” suara Yola terdengar ragu.
“Kenapa? Jangan mentang-mentang gue kena skorsing kampus lantas kalian jauhi. Acara kali ini di luar kegiatan klab kita, kan?” sewot Vita.
“Semalam Rob datang ke markas. Dia nggak ngizinin kami ngajak elo.”
“Kenapa? Apa alasannya?”
“Dia nggak jelasin apa-apa. Sebaiknya elo temui Rob aja. Sudah ya, Vit!” Yola buru-buru meletakkan horn-nya. Ia nggak mau kebagian getah atas kesewotan Vita.
Usai mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Vita langsung menutup mukanya dengan telapak tangan. Ia masih belum mengerti dengan rentetan kejadian yang tak menyenangkan hatinya.
Diawali saat ia menjabat komandan lapangan pendidikan dan latihan dasar pada kelompok pecinta alam di kampusnya bulan lalu. Vita tak menyangka cobaan yang harus dihadapinya begitu berat. Salah seorang peserta meninggal akibat dehidrasi dan infeksi lambung saat berada di medan. Peristiwa itu membuat rektorat menskoring ketua panitia dan komandan lapangan selama satu semester. Buntutnya, Papa dan Mama, yang memang sejak semula tak mengizinkan Vita menjadi petualang, membuat pilihan untuknya, tetap berpetualang atau tak pernah menginjak lagi rumah ini.
“Maaf, teman-teman, kali ini gue benar-benar akan berhenti. Ini keputusan orangtua gue, kecuali gue bisa menawarnya suatu saat nanti,” cetusVita di depan teman-teman klabnya, tiga minggu yang lalu.
“Gue nggak pernah percaya pada burung camar yang bilang bakal berhenti terbang, padahal belum seluruh pantai dia jelajahi,” celetuk Dion, si rambut gondrong.
Vita cuma mengangkat bahunya. Ternyata apa yang dikatakan Dion tak keliru. Ia tak betah melewati hari-harinya begitu saja tanpa cerita-cerita petualangan. Maka saat ia mendengar beberapa temannya akan memburu matahari tenggelam di Pantai Ujung Genteng lantas membantu pelepasan penyu ke laut di daerah Pangumbahan, ia buru-buru mendaftarkan diri dalam rombongan.
Dan kini Rob menghalanginya.
“Mbak Vita, minggu depan aku pinjam peralatan hiking-nya ya,” suara Deza membuat kepala Vita terdongak.
“Buat apa? Kamu pengen ikut-ikutan kakakmu ini. Memangnya sudah punya izin dari Papa dan Mama? Mendingan kamu sibuk dalam organisasi kayak Mama dan Papa. Mereka nggak pernah suka anaknya naik gunung atau nyusurin pantai!” Mulut Vita terkunci mendadak. Ia baru sadar Mama sedang berdiri di dekatnya sewaktu Deza mengedipkan mata.
“Mama dengar kamu akan jalan-jalan lagi,” ucap Mama sambil duduk di dekat Vita. Kalau di hari Minggu pakaiannya serapi itu sudah bisa ditebak Vita. Pasti Mama akan pergi dengan Papa ke pertemuan suatu yayasan sosial.
“Pasti dari Rob?” terka Vita.
“Semalam waktu kamu dan Deza ke bioskop sampai larut malam, Rob datang ke sini. Dia menunggu kamu cukup lama,” tutur Mama.
Dan selama menunggu kedatanganku, Mama mencekoki Rob dengan banyak hal, tebak Vita dalam hati. Dapat dibayangkan cara Mama membujuk Rob agar membantu seorang Vita menjauhi gunung. Mama dengan lihai memilih kalimat dan berbagai cara agar Rob bisa mati-matian mencegah Vita pergi ke Pantai Pangumbahan.
“Rob anak yang baik. Mama senang kamu akrab dengannya. Dia juga merencanakan untuk menghentikan hobinya naik gunung dan semacamnya itu.”
Vita terhenyak. Nggak percaya. Bagaimana mungkin si Macan Gunung itu berikrar sedemikian rupa? Apa komentar anggota klab pecinta alam yang lain di kampusnya bila mendengar hal ini? Pasti Mama telah menghasut Rob habis-habisan!
“Lho, mau ke mana kamu?” tanya Mama melihat Vita yang sedang diajak bicara malah berdiri. Padahal ada satu hal yang teramat penting yang masih ingin disampaikan kepada Vita.
“Vita mau menemui Rob, Ma.”
“Rob janji akan ke sini siang ini.”
“Vita ingin menemuinya pagi ini juga,” tegas Vita.
***
“Selamat pagi, Vit!”
Vita cuma terdiam di ambang pintu kamar kos Rob. Ia pandangi pundak kukuh di depannya. Mestinya sejak setengah tahun lalu ia sudah bisa bersandar di pundak itu bila hatinya galau seperti saat ini. Tapi Vita masih riskan melakukannya.
“Masuklah. Gue ke rumah semalam,” ujar Rob.
“Sebelum atau setelah kamu datang ke markas, memaksa teman-teman kita untuk melarang gue pergi bareng mereka?” tanya Vita setelah duduk di salah satu kursi.
“Gue lakuin itu untuk kebaikan kita semua,” jelas Rob. Ditatapnya mata tegar gadis di depannya. Mata seekor camar.
“Elo terlalu berlebihan, Rob. Gue pikir itu percuma. Gue tetap akan pergi.”
“Sekalipun nyokap nggak kasih izin?”
“Gue nggak akan minta izin,” sahut Vita.
“Terserah elo kalau memang demikian. Gue tetap megang amanah nyokap elo. Karena elo tetap bersikeras melanggar ikrar elo dulu, maka jangan salahin kalo gue ninggalin elo,” ancam Rob datar.
“Rob!” Vita tak percaya kalimat itu akan dilontarkan Rob. Pengorbanan cinta dan hobi Rob untuknya benar-benar mengada-ada, seperti keputusan pemuda cengeng belasan tahun.
“Gunung, pantai, camar… semua pun akan kutinggalkan,” susul Rob samar. Ia menyembunyikan alasan kuat yang mendorongnya mengucapkan semua itu. Satu-satunya yang ia inginkan, Vita mengurungkan niatnya kembali berpetualang.
Vita berdiri buru-buru. Sebelum meninggalkan kamar Rob ia masih sempat berkata, “Baik, Rob, kalau itu keputusan elo. Gue hargai. Tapi gue harap elo nggak nyesel dengan keputusan yang tergesa-gesa itu!”
Entah berapa kerikil yang ditendang Vita dalam perjalanan pulang ke rumah. ***
Masih terlalu gelap sebenarnya untuk ke luar tenda. Vita yang mulanya ingin mengawali pagi ini dengan menapaki pantai taman laut Ujung Genteng memilih tempat lain di sebelah barat. Didudukinya bibir dermaga kecil Belanda yang tinggal puing-puing.
Angin pagi yang berhembus membuat Vita menyipitkan matanya. Mata yang masih lelah karena semalam ia tak cukup tidur.
Tadi malam untuk kedua kalinya tidur Vita menyajikan ulang peristiwa satu bulan yang lalu. Ia bangun dari tidurnya dan menafsirkan maksud alam mengulangi mimpi itu.
Apakah ini semata-mata karena kegelisahanku? Vita membatin. Karena aku telah melanggar ikrarku sendiri? Karena Rob meninggalkan aku?
Sejujurnya, Vita memang nggak tenang sejak keberangkatan kemarin subuh. Berangkat dari rumah, ia membawa beban batin atas pelanggaran ikrar yang dibuatnya sendiri. Vita belum tahu apakah Mama dan Papa akan mengusirnya begitu mereka tahu putrinya kembali berpetualang.
Lalu Rob. Teman-temannya seperti tahu kejadian yang dialaminya bersama Rob. Mereka memandang Vita dengan mata menyalahkan. Vita sudah berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa mereka harus menghargai keputusannya.
“Pokoknya kalian nggak perlu pusing-pusing mikirin aku dan Rob. Soal Rob kemudian berhenti berpetualang itu juga urusannya. Siapa tahu itu cuma gertak sambalnya. Kita semua tahu kan, bagaimana gilanya ia naik gunung. Dan soal aku sendiri, kalau ada apa-apa yang terjadi denganku, aku akan menanggungnya sendiri. Nggak perlu kalian merasa bersalah,” tutur Vita panjang lebar.
Vita cuma yakin ia tak akan apa-apa pergi tanpa Rob. Walau kemudian pada perjalanan baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan seseorang yang selalu menemaninya berpetualang. Mati-matian ia menepis perasaan kehilangannya.
Vita memandang sekeliling pantai. Ia berharap perjalanannya kali ini tak diganggu beban apa-apa lagi. Dihirupnya udara pantai segar. Matahari mulai menebarkan cahayanya, menyibak keindahan pantai.
Vita ingin sekali sesekali membawa Mama dan Papa ke pantai atau gunung. Agar mereka dapat mengerti mengapa Vita begitu menyukai gunung dan pantai. Keindahan alam itu tak bisa ia bawa ke rumahnya cuma dengan foto belaka.
Dilihatnya di kejauhan Dion dan Akuy tengah membawa kakap merah hasil belian dari nelayan. Vita bermaksud meninggalkan dermaga menuju taman laut. Tapi mendadak Akuy menyodorkan HP-nya. Rupanya sinyal portal yang dipakai Akur lumayan kuat juga.
“Vit, elo harus pulang!” suara Rob.
“Kenapa? gue baru sehari.” Vita bingung.
“Mama meninggalkan kita kemarin sore….”
***
“Teruskan saja petualanganmu, Vit. Lupakan larangan Mama. Sesaat sebelum pergi, Mama sudah menyadari kekeliruannya melarangmu berpetualang. Papa juga tak berhak melarangmu.”
Itu kalimat yang dilontarkan Papa saat menyambut kepulangan Vita ke rumah. Hati Vita semakin giris karena kalimat itu terus membayanginya saat ia bersimpuh di makam Mama.
“Maafkan Vita, Ma,” Vita bergumam dengan mata basah. Tangisnya sudah habis dalam perjalanan pulang. Ia merasa ada setumpuk dosa yang menghimpitnya. Bagaimana mungkin putri satu-satunya melewati upacara pemakaman yang sakral itu.
“Nggak usah nangis, Vit,” pinta Rob halus. Ia memberi kekuatan pada Vita dengan genggaman tangannya.
“Mengapa elo nggak segera nyeritain soal penyakit Mama kalo elo emang udah tahu, Rob?” sesal Vita tanpa maksud menyudutkan Rob.
“Mama yang meminta agar gue nggak ngasih tau. Mama nggak ingin kelihatan lemah di depanmu. Gue pikir, ketegarannya menurun pada elo, Vit.”
Vita termangu. Siapa yang menyangka jantung Mama sudah rapuh, padahal sehari-hari ia tampak sehat dan penuh aktivitas. Kalau saja ia tahu sebelumnya, Vita akan terus berada di sisi Mama.
“Elo akan meneruskan petualanganmu, Vit?” usik Rob.
Vita menggeleng. “Gue bisa ninggalin hobi gue itu, asal elo janji nggak ninggalin gue, Rob,” kata Vita.
“Gue janji!”
Tanpa ragu-ragu Vita menyandarkan kepalanya di bahu Rob. Sejak pagi tadi di pantai Ujung Genteng, ia menyadari betapa berartinya bahu Rob saat kegalauannya hadir. Pada sosok Rob, Vita akan membawa akhir semua petualangannya.
Vita dan Rob meninggalkan makam yang masih gembur itu. Senja telah larut ditelan malam. Vita berdoa dalam-dalam agar dukanya turut larut bersama senja.
THE END