Sinopsis cerpen Terlontar ke Dunia by Meysha Lestari. Cerpen Terlontar ke dunia merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Anggana Memanah Angkasa karya Wawa Adam. Anggana memanah angkasa adalah sebuah buku terbitan Balai Pustaka yang berisi kumpulan cerpen karya Wawa Adam, yang pernah (masih??) menjadi salah satu editor Majalah Wanita Indonesia SARINAH. Pertama membaca buku ini ketika saya masih duduk di bangku SMA. Begitu membaca langsung tertarik dengan kumpulan cerpen yang ada di dalamnya. Ada 7 judul cerpen dalam buku itu, salah satunya adalah Cerpen Terlontar kedunia. Berikut ini SInopsisnya…
Sinopsis cerpen Terlontar ke tengah Dunia karya Wawa Adam
Cerpen Terlontar ke tengah dunia ini berkisah tentang seorang pria bernama Tohir, yang berbakat dan berkemampuan tapi kurang rasa percaya diri. Dia sebenarnya mampu melakukan apapun yang di tugaskan padanya, tapi karena dia merasa minder dan tidak percaya pada kemampuannya, dia menjadi pecundang di mata orang-orang yang mengenalnya. Bukan karena kegagalan, dia belum pernah gagal, karena dia tidak pernaha mencoba, tapi karena kurangnya rasa percaya diri dan sifat minder yang besemayam di hatinya, sehingga apapun yang akan dia lakukan, sebelum melakukannya, dia sudah memutuskan kalau dirinya tidak bisa.
Dengan keahliannya melempar pisau, dia bisa saja membunuh Belanda yang berjaga di tepi sungai dengan sekali lempar seperti yang di suruh abangnya. Tapi tanpa tanpa mencoba, dia malah melempar pisaunya ke semak-semak. Kalimat terakhir yang diucapkan abangnya pada dirinya dengan senyum mengejek adalah, “Pengecut!” Dan kata-kata itu selalu terngiang di benaknya sesering dia menarik nafas. Lalu Halima, gadis yang di jodohkan dengannya tapi tidak sedikitpun dia menaruh rasa. Di malam pertama mereka demi memenuhi tanggung jawabnya, dia menyentuh Halima yang terlihat begitu pasrah. Tapi sebuah pikiran terlintas di benaknya saat melihat gadis itu terbaring menunggu. Pikirnya, hanya karena satu perbuatan, maka gadis yang tidka di kenalnya ini akan terus mengikuti kemana ia pergi dan melahirkan cucu-cucu yang di kehendaki ibunya. Dengan terpaksa dia menunaikan tugas sebagai suami seperti yang di harapkan Halima dan semua orang darinya. Tapi semakin dia coba, semakin hatinya tak tega melihat Halima menangis dengan wajah berkerut menahan sakit. Dia memutuskan untuk menghentikan perbuatannya dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Lalu malam itu juga dia pergi meninggalkan Halima, meninggalkan kampungnya.
Ketika usianya 50 tahun, seorang tamun berpakaian compang camping dengan tubuh penuh luka berdarah memasuki gubuknya. Sambil menghunus golok dia berkata, “jangan berani panggil tetangga atau polisi…biarkan aku mati di sini!” ancamnya sebelum jatuh pingsan. Dengan iba dia merawat dan mengobati luka-luka tamu itu. Saat sadar, tamu itu protes, “kenapa aku masih hidup? Aku tak mau kembali ke nerakan itu! Biarkan aku mati! Kubunuh kau kalau aku tak jadi mati!” Dari igauannya, tohir tau kalau tamunya itu telah membunuh orang. Lalu ketika polisi datang untuk menangkapnya, si tamu dengan tatapan penuh kebencian meneriaki Tohir, “Pembunuuuh!”
Tohir tercenung memikirkan tuduhan dari tamu yang pembunuh tersebut. Dalam hati dia berkata, “ya..kenapa tak ku biarkan saja dia mati? Apa bedanya ia mati di lantai guukku atau mati di hadapan regu tembak? Toh bagaimanapun juga dia tetap akan mati. Belanda itu dahulu juga harus mati, di tanganku atau di tangan abangku, tak ada bedanya….”
Memang tak ada bedanya, baru sekarang Tohir menyadarinya. Tak ada gunanya berusaha mengubah penderitaan hidup orang lain. Masing-masing orang punya penderitaannya sendiri-sendiri. Halima juga harus menderita untuk menyambung garis keturunan manusia. Entah itu keturunannya atau keturunan laki-laki lain. Tamunya taadi pasti akan lebih bahagia mati sebagai pembunuh yang berhasil lari daripada pembunuh yang tertangkap..
Penderitaannn….? guman Tohir berulang-ulang. Siapa yangs ebetulnya menderita? Alangkah bahagianya mereka yang tak pernah menganggap hidup ini suatu penderitaan… #wawa_adam