Sinopsis Ashoka Samrat episode 224 by Meysha Lestari. Di suatu tempat, terdengar pekik dan jerit kesakitan. Dua orang pria sedang di siksa. Mereka berdiri diatas balok berduri dengan tangan terikat dan nyala api di sekelilingnya. Kaki keduanya berdarah-darah tertusuk duri. Sambil menahan sakit mereka berteriak minta ampun. Seorang prajurit mucul dan menanyai mereka, “aku telah di kirim oleh mahanaya Kichak untuk menginterogasi kalian. Kalian tidak akan bebas kalau tidak menjawab pertanyaanku..” Prajurit menanyakan sesuatu, kedua tahanan itu menjawab kalau mereka tidak tahu. Si prajurit tidak merasa puas, dengan kejam dia mengambil besi panas dan menempelkannya di dada mereka. Kedua tahanan itu berteriak kesakitan. Seorang prajurit lain datang memberitahu kalau mereka telah mendapatkan info tentang pedangang ketiga, “tapi seseorang telah membunuhnya, tapi kenapa?” Prajurit pertama menoleh sambil menjawab kalau hanya Kichak yang tahu. Lalu dia berbalik menatap tahanan dan membunuh keduanya. Prajurit itu memberitahu temannya kalau Kichak pernah berkata, “siapa saja yang tidak berguna untuk kita hanya akan menjadi beban.”
Di sebuah kamar, Charu sedang duduk mendengarkan protes Shushim yang merasa tidak puas karena Ashoka yang akan pergi ke Takshshila. Perdana menteri Khalatak menyahut, “anda menginginkan Ashoka pergi ke Taksshila. Dia hanya menawarkan diri. Anda seharusnya gembira.” Shushim berkata kalau Ashoka pasti punya alasan untuk pergi kesana, “dia tidak nampak emosional saat membuat keputusan ini. Aku telah mengusulkan hal yang sama dulu, tapi dia terlihat enggan meninggalkan ibunya sendirian. tapi sekarang? Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba dia begitu perduli dengan negeri ini? Sesuatu pasti telah terjadi.” Charu dengan kalem menenangkan Shushim, “tidak masalah, dengan begitu kau punya kesempatan untuk mendekati ayahmu. AKu juga tidak akan melewatkan kesempatan ini. Aku akan memisahkan Samrat dari ratu Dharma.”
Ashoka berada ke kuil. Dia teringat kata-kata terakhir Chanakya tentang impiannya untuk menyatukan India. Kata-kata itu bergema di telinganya. Sambil menyembah patung Syiwa, Ashok berkata, “aku tidak pernah berpikir akan pergi jauh meninggalkan ibuku. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus membuat pengorbanan. Ku mohon, berilah aku kekuatan. Cinta ibu akan menguatkan aku, bukan melemahkan.” Airmata menggenang di mata Ashoka. Siamak muncul dan menyentuh bahunya dengan lembut. Ashok menoleh. Siamak berkata, “aku tahu bagaimana perasaanmu, kak. Aku tahu betapa sulitnya hidup tanpa ibu dan guru. Aku telah merasakan hal yang sama saat aku kehilangan guruku, pangeran Justin. Dia harus mati di depanku tapi aku tidak bisa menyelamatkannya. Aku tahu ketidakberdayaan dan rasa tidak aman yang kau rasakan. Kau juga harus melalui fase yang sama. Aku seringkali mendengar kata-kata terakhirnya secara tiba-tiba. Akupun sering memikirkan ibuku. Dia meninggalkan putranya secara tiba-tiba. Mengapa dia melakukan hal seperti itu? Dia seharusnya memikirkan konsekuensinya. Aku selalu berpikir bahwa aku akan memahami posisinya suatu hari ketika aku telah menjadi seseorang. AKu tahu hal buruk hanya akan berakhir dengan buruk pula. Kebaikan selalu menang. Tidak ada yang bisa menggantikan ibumu. Demikian pula, tak ada yang bisa mengisi tempat ibuku. Tapi aku akan selalu menjaga dan merawat ibu Dharma..” Ashoka terharu mendengar kata-kata Siamak. Dia merasa sangat berterimakasih dan lega, “aku hanya percaya padamu..” Ashok memeluk siamak. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan. Helena muncul dari balik pilar. Siamak dan Helena saling berpandangan dengan tatapan puas. Dari belakang punggung Ashok, wajah tulus Siamak berubah sengit. Dengan tatapan penuh kebencian Siamak membatin, “aku berharap kau tidka akan kembali Ashok. Dan jika secara kebetulan kau bisa kembali, maka tidak akan ada yang tersisa untukmu di sini!”
Dharma sedang mengemas pakaian Ashoka. Seorang pelayan datang sambil membawa laddo. Dharma menangis, teringat masa lalu ketika dia selalu memnyuapi Ashok laddo. Ashoka datang. Dharma cepat-cepat menghapus airmatanya. Ashok menyentuh pundak ibunya dan bertanya, “ada apa bu?” Dharma sedikit marah pada Ashok karena memutuskan pergi ke Takshshila tanpa memberitahu dirinya lebih dulu, “..aku tahu kau ingin menolong mereka. Aku tahu sangat penting bagimu untuk pergi kesana..” Ashok bertanya, “kalau begitu kenapa ibu bersedih?” Dharma menjawab, “karena kau tidak memikirkan ibumu ketika kau membuat keputusan. Kau bahkan tidak memberitahu aku. Kau sudah besar sekarang..” Ashoka merebahkan kepalanya di pangkuan Dharma sambil berkata, “aku memang sudah besar, tapi aku selalu menjadi anakmu. SItuasinya sangat mendesak hingga aku harus mengambil keputusan. Perjalanku tidak akan mudah, sangat sulit. Tapi anda adalah kekuatanku, bu. Anda akan membimbingku. Nilai-nilaimu tentang kebenaran, tentang dharma akan membantuku. Putra Dharma tidak akan membantu kecuali mengikuti dharma.”
Dharma membelai rambut Ashoka dengan penuh kasih sayang. Dia berkata, “aku tidak akan menghentikanmu untuk mengikuti dharma. Kekhawatiranku hanya satu, aku berharap kau tidak akan pernah menyakiti orang yang tidak bersalah.” Ashoka mengangkat kepalanya dari pangkuan Dharma. Dia mengusap air mata Dharma sambil berkata, “aku tidak akan melupakan nilai-nilai yang kau ajarkan dalam mencapai sesuatu. Aku akan menjadi pelindung. Aku berjanji, tidak akan menyakiti orang yang tidak bersalah.” lalu ibu dan anak itu berpelukan. Seorang prajurit datang untuk memberitahu Ashoka kalau Smarat memanggil nya. Ashok mengangguk. Sebelum pergi Ashoka berpamitan pada Dharma.
Bindu, Ashok dan Radhagupta berkumpul. BIndu mengatakan kalau dia ingin membahas rencana ini dengan perdana menteri. Tapi Radhagupta menyarankan sebaliknya, “samrat, sebaiknya kita membahas ini bertiga saja. Kichak telah mendapat di beritahu kalau Shushim yang akan datang, tapi kita mengirim Ashoka…” Ashoka setuju dan mengulang kata-kata Chanakya, “Acahry pernah berkata bahwa kita akan berhasil kalau bisa merahasiakan rencana kita. Kita harus memastikan tidak ada celah..” Ashok kemudian menjelaskan rencananya pada Bindu dan Radhagupta. Ashoka berkata kalau dirinya akan mengambil rute yang biasa di lalui pedangang, “ada kemungkinan Kichak tahu akan kedatangang kita. Dia mungkin akan mencoba untuk membunuh kita. Kita harus melindungi diri sendiri. Kita tidak tahu tentang pasukan dan orang-orangnya. Jika peperangan terjadi di dekat perbatasan, orang-orang yang tinggal di sana bisa jadi korban.” Bindu menanyakan saran Ashoka. Ashoka menyarankan jalur laut, “akan sulit menyerang kita di jalur itu. Akan membutuhkan berhari-hari berhasil jika mereka mencoba. Sebelum itu, aku pasti sudah memasuki wolayah Takshshila.” Bindu berkata kalau itu juga akan menjadi masalah buat mereka kalau ingin saling berhubungan. Ashoka menyahut kalau hal seperti ini yang mereka inginkan, “dengan cara ini, aku ingin memanfaatkan dan mengejutkan Kichak.” Bindu dengan khawatir bertanya, “bagaimana kau bisa melakukannya seorang diri?” Ashok dengan diplomatis menjawab, “seseorang yang mendapat restu dari guru dan orangtuanya tidak akan pernah sendiri, ayah.” Mendengar semangat Ashoka, Bindu tidak bisa berkata apa-apa lagi selain merestuinya.
Di depan pintu penjara, dua orang petugas penjara sedang berjaga ketika dua orang prajurit datang. Petugas penjara menahan kedua prajurit itu. Tapi si prajurit menunjukan surat. ~Kilas balik terlihat bagaimana Bindu memberikan surat yang telah di stempel pada Helena. Helena mengambil surat itu dan berkata, “anda harus menjaga keamanan dalam negeri sampai kita temukan orang bisa diandalkan.” Bindu mengangguk setuju. Lalu tanpa ambil tersenyum dan tanpa berkata apa-apa dia beranjak pergi meninggalkan Helena. Wajah Bindu segera berubah begitu Helena tidak melihatnya. Begitu pula wajah Helena, yang langsung terlihat licik begitu Bindu pergi. Kilas balik berakhir.~ Surat yang sama di berikan Bindu pada Helena yang kini ada di tangan si petugas penjara. Petugas penjara membaca surat itu dan mengizinkan kedua prajurit itu masuk. Ketika pintu rahasia telah terbuka, kedua prajurit itu segera membunuh si petugas penjara. Lalu tanpa membuang waktu segera masuk kedalam lorong rahasia dimana terlihat seorang lelaki tua dengan tangan terantai. Prajurit-prajurit itu melepas rantai lelaki tua, lalu dengan kepala tertutup membawnya pergi ke suatu tempat.
Saat lelaki tua itu berhasil membuka tutup kepalanya, dia telah berada di tepat asing. Helena datang menemuinya. Lelaki tua itu adalah Amadhya, musuh bebuyutan Chanakya. ~Kilas balik menunjukan bagaimana Helena menyuap prajurit untuk mendapatkan informasi tentang Amadhya. Kilas balik berkahir~ Begitu berhadapan dengan Amadhya, Helena memberitahu dia kalau musuh bebuyutannya, Chanakya, telah mati. Amadhya tertegun tak percaya. Dia tidak bisa menerima kenyataan kalau Chankya sudah mati, “bagaimana dia bisa mati tanpa kalah dari aku? Aku hanya butuh satu kesempatan. AKu akan mengalahkannya. Ini bukan kabar baik untukku. Apa gunanya hidup kalau tidak punya lawan seperti Chanakya yang menentangkku? Hidupku sudah kehilangan arti. Lebih baik mati!” lalu tanpa pamit, Amadhya melangkah pergi. Helena berteriak memanggilnya, “Chanakya sudah mati, tapi hidupnya belum berakhir. Pemikirannya, mimpinya, misinya..anda bisa mengakhirinya dan menjadi pemenang. Kemenangan sesungguhnya adalah ketika dunia melupakannya. Hal ini hanya bisa terjadi kalau anda dapat mencapai posisi yang lebih baik dari dia. Anda harus menyingkirkan 3 pangeran Magadha untuk itu. Shushim, Drupad dan Ashoka. Anda harus memusnahkan semua kemungkinan yang membuat dinasti Maurya bisa berkuasa di masa depan.” Amadhya dengan rasa penasaran bertanya, “bagaimana dengan pangeran Siamak?” Helena memberitahu Amadhya kalau Siamak adalah cucunya, “dia memiliki darah campuran Unani dan Khurasani. Dia bukan Maurya. Ini adalah keinginan terakhir anakku, pangeran Justin. Aku butuh bantuan anda untuk mewujudkannya. Aku bisa memberi anda apa saja sebagai imbalan.”
Mendengar tawaran Helena, Amadhya terlihat berpikir…. Sinopsis Ashoka Samrat episode 225 by Meysha Lestari