Sinopsis Ashoka Samrat Mahaepisode 270 by Kusuma Rasmana. Di dalam biara Wiswawidyalaya, hampir semua penghuninya berkumpul mengelilingi Ashoka yang terbaring setengah sadar dalam kondisi luka parah diperutnya. Mereka semua dalam keadaan cemas melihat kondisi Ashoka. Seorang tabib berupaya mengobati luka Ashoka dengan ramuan dan menutup luka dengan kain. Ashoka yang setengah sadar mengigau menyebut tentang musuh Magadha yang berbahaya harus dikalahkan. Acharya Dewaratha yang duduk disebelahnya menanggapi dan meyakinkan dia akan tiba saat halnya itu menjadi kenyataan. “Sekarang kau harus sembuh dan pulih dulu,” kata Acharya Dewaratha lagi, namun Ashoka tetap terus mengigau.
“Janji yang aku berikan kepada ibuku untuk mempersatukan India tidak akan terwujud,” racau Ashoka.
Tabib menjelaskan kepada Acharya dan hadirin bahwa luka Ashoka terlalu dalam, sehingga akan sulit pulih karena kehilangan darah terlalu banyak. Semua yang hadir semakin diliputi rasa cemas mendengar itu. Mereka juga khawatir
Mahanayaka Kichaka dan prajuritnya bisa datang sewaktu-waktu. Acharya minta kepada para penghuni biara agar memperketat pengamanan disekeliling biara.
Sementara di suatu tempat di wilayah pinggiran Magadha, Sushima dan seorang temannya sedang dalam perjalanan berkuda melintasi sekelompok orang sedang bersuka ria menari bergembira dalam suatu perayaan di sebuah kuil, sambil memainkan alat musik tambur. Sushima dan temannya turun dari kuda dan mencari tahu ada peristiwa apa itu di tempat itu sehingga orang-orang bergembira. Seorang lelaki berpakaian serba putih menawarkan prasad (makanan yang telah dipersembahkan) kepada Sushima, namun Sushima memberikan prasad itu kepada temannya. Sushima bertanya ada kejadian apa sehingga mereka gembira. Lelaki itu menjelaskan bahwa Tuhan telah mengirimkan malaikat untuk membantu mereka. “Banyak orang yang bersalah telah dibunuh. Dhananjaya, penagih pajak pendukung Kichaka telah mati kemarin, demikian juga Wirayana. Kichaka telah kehilangan pendukung setia dengan kematian dua orang ini. Dia seperti orang cacat yang kehilangan anggota badan sekarang. Segera Kichaka pun akan mati oleh orang itu”, kata lelaki itu.
Sushima yang tertarik dengan keterangan orang itu bertanya apakah orang itu kaum Yunani atau Parsi.
Lelaki itu menggeleng dan menjelaskan, “Bukan Yunani atau Parsi atau keduanya, dia salah satu dari kita, orang India asli. Dengan kemauannya senfdiri dia bisa melakukan hal yang sangat sulit. Dia masih sangat muda, namun dia mampu membangkitkan keberanian orang-orang untuk melawan dan tidak takut berdiri menantang ketidakbenaran. Dia adalah yang pertama memberi kesempatan para perempuan untuk ikut berjuang melawan orang-orang dan penguasa lalim itu. Dia adalah juru selamat dan penolong orang-orang yang tak bersalah”, lelaki menjelaskan dengan semangat.
Mendengar itu, Sushima dan temannya teringat akan Ashoka. Dia pun bertanya bagaimana penampilan dan rupa orang yang dipuji-puji itu.
Kembali lelaki itu menjelaskan tentang penyelamat itu, dengan membandingkannya dengan Matahari (Surya). “Wajahnya seperti Matahari yang memancarkan sinarnya ke segala arah, seperti itulah penampilannya”.
Sushima sangat kesal mendengarnya, “Cukup pujianmu itu! Apakah kau tahu siapa namanya?” Lelaki itu hanya bengong melihat orang didepannya marah.
“Aku akan mencari tahu sendiri!”, kata Sushima berlalu dari situ. Teman Sushima buru-buru minta maaf kepada lelaki berbaju putih atas kelakuan Sushima barusan sebelum pergi.
Langkah Sushima terhenti saat dia mendengar seruan orang-orang di kuil itu. Mereka berseru “Jay Bholenath, Jay Janani!” (Terpujilah Dewa Shiwa, Hidup Ibu pertiwi).
Seruan itu makin jelas mengingatkan Sushima akan sesesorang yang dibencinya atas nama tahta.
Sushima pun melangkah kembali kepada lelaki yang terus berseru, “Jay Bholenath, Jay Janani!”.
Sushima bertanya apa maksud seruan lelaki itu. Lelaki itu menerangkan bahwa pemuda penyelamat itu mengobarkan semangat melalui slogan seruan ini kepada semua orang.
“Sekitar satu bulan sejak pemuda itu datang ke sini, kapal yang ditumpanginya tenggelam, namun pemuda itu selamat”, kata lelaki itu menjelaskan lagi.
Mendengar keterangan itu, Sushima mulai berfikir dan menghubungkan peristiwa yang dialami Ashoka. “Waktunya sama, hampir sebulan sejak kapal yang ditumpangi Ashoka
tenggelam. Apakah orang itu Ashoka?. Aku sendiri harus ke kota Takhsashila untuk mencari kebenaran itu”, bathin Sushima berfikir keras.
Kembali ke biara Wiswawidyalaya, dimana Ashoka terbaring tak berdaya karena lukanya yang dalam. Tabib kembali mengatakan bahwa raga Ashoka sepertinya terus melemah, hampir tidak ada denyut nadi yang berdetak.
“Aku tak menyangka kalau dia harus….,” kata tabib. Acharya Dewaratha dengan marah mengingatkan, “semua orang disini
berharap dan percaya kepadanya. Penting sekali dia tetap hidup!”. Namun tabib hanya bisa menjawab pasrah, “hanya keajaiban yang bisa mengembalikan paling tidak denyut nadinya. Dari yang kupahami kondisi Ashoka saat ini telah kalah dalam pertarungan antara hidup dan mati!”. Semua yang hadir di situ sedih mendengar kata-kata tabib tentang kondisi Ashoka.