Epilog Takdir by Meysha Lestari. Jodha merasakan seseorang menggosok-gosok tangannya dengan lembut. Ada rasa hangat menjalar kesekujur tubuhnya yang menggigil kedinginan. Sayup-sayup dia mendengar suara seseorang bicara. Jodha merasa mengenal suara itu. Dia ingin melihat siapa yang bicara, tapi matanya terasa lengket seperti di lem.
Kesadaran Jodha tiba-tiba terusik saat alam bawah sadarnya berhasil mengingat apa yang baru saja di alaminya. Sebuah kecemasan menjalari hatinya. Sebuah adegan mengerikan terbayang kembali di benaknya. Adegan ketika seorang lelaki mengayunkan belati untuk menikam Jalal. Refleks Jodha berteriak histeris” Tidaaaakkkk!”
Jalal yang duduk sambil menggengam tangan Jodha tersentak kaget. Dia cepat-cepat memegangi tangan Jodha dengan erat, takut kalau wanita itu coba melarikan diri lagi. Mendengar teriakan Jodha, para ratu dan pelayan berkumpul di kamar Jodha dan menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Jodha terduduk dengan nafas terengah-engah. Di wajahnya yang cantik terbayang kengerian yang dahyat. Bibirnya yang pucat menggumankan satu nama, “Jalal….” Jalal yang mendengar gumanan itu menepuk tangan Jodha dan menjawab, “aku ada di sini!”
Jodha menoleh kearah Jalal dengan tatapan terkejut dan takjub. Tanpa berkata apa-apa dia segera menghambur memeluk Jalal. Semua orang yang melihatnya tertegun tak percaya. Begitu juga Jalal. Dia terlihat binggung dan tak percaya. Jodha yang begitu membencinya, yang beberapa saat tadi lebih memilih bunuh diri dari pada bersamanya tiba-tiba memeluknya…
“Ratu Jodha!” Jalal coba melepas pelukan Jodha dengan perlahan. Tak ingin menyinggung perasaan wanita itu. Bukannya dia tak suka di peluk oleh wanita yang diam-diam di cintainya, tapi karena dia merasa tidak enak dengan para istrinya yang lain terutama pada Ruqayah yang menatapnya dengan mata merah menahan geram.
Jodha melepas pelukannya dan menatap Jalal dengan tatapan lega dan gembira, “syukurlah, kau baik-baik saja! Aku takut sekali. Aku….” Jodha seperti teringat sesuatu. Dia membalik-balik jubah yang di pakai Jalal, “kau tidak terluka kan?”
Jalal merasa jenggah dan memengang kedua tangan Jodha agar berhenti menyentuhnya, “ratu Jodha! Aku baik-baik saja…”
Jodha menatap Jalal tak mengerti, “Ratu Jodha? Mengapa kau memanggilku ratu? Pakaian apa yang kau pakai ini?” Untuk pertama kalinya Jodha memperhatikan di mana dia berada. Tempat tidur yang di dudukinya. Ruangan yang di diaminya, semuanya terasa asing.
Jodha mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ada banyak wajah yang di kenalnya, tapi mereka juga berpakaian aneh. Jodha hendak bangkit dari tempat tidur. Tapi jalal mencegahnya, “jangan! Jangan pergi kemana-mana. Diamlah di sini dulu. Kepalamu tadi terantuk batu saat aku coba menyelamatkanmu.” Pinta jalal sambil tetap memegangi tangan Jodha. Jodha memegang kepalanya. Memang terasa sedikit sakit. Ada benjolan kecil di bagian samping kepalanya. Jodha menyentuh bejolan itu dan meringis menahan sakit.
Hamida mendekati Jodha dan berkata dengan nada tegas meski lembut, “ratu Jodha, aku mungkin menganggapmu sebagai anakku sendiri. Tapi aku tidak akan memaafkan mu kalau kau coba menodai kehormatan keluargaku. Apa yang membuatmu berpikir untuk kabur dari istana ini? Ini adalah rumahmu. Kalau kau punya masalah, katakan padaku. Aku akan melakukan apa yang ku bisa untuk membantumu…”
“ibu…aku…” Jodha tidak mengerti apa yang di katakan Hamida, “aku…”
Hamida dan Jalal berpandangan. Jalal mengelengkan kepala pada ibunya. Hamida seperti mengerti, dia mengajak semua orang pergi dari kamar Jodha agar dia bisa istirahat. Jalal juga hendak beranjak pergi ketika Jodha mendahan pergelangan tanganya. Dengan nada memohon dia berkata, “jangan tinggalkan aku!”
Jalal kembali duduk di samping tempat tidur Jodha dan mengamati wajah cantik di sampingnya dengan tatapan heran. Setelah semua orang pergi, Jalal mengungkapkan rasa herannya, “aku tidak tahu permainan apa yang sedang kau mainkan Ratu Jodha. Beberapa saat lalu, kau kabur dari istanaku dan coba bunuh diri karena tak ingin tinggal di sini. Dan sekarang kau begitu lembut dan penuh perhatian. Apa yang kau pikirkan sebenarnya?”
Jodha balik menatap Jalal dengan heran, “aku juga tidak mengerti mengapa kau memanggilku ratu. Dan aku berada di mana ini? Ini bukan rumah sakit kan?” Jodha menatap perutnya yang kempes. Dia menyentuhnya dan tersentak, “bayiku..! Mana bayiku? Apakah aku sudah melahirkan?”
Jalal tersentak, “bayimu? Bayi apa? Apa yang kau katakan ratu Jodha? Bagaimana kau bisa punya bayi, kalau hamil saja tidak? Bagaimana kau bisa hamil kalau aku tidak pernah menyentuhmu!”
“Kau….!” Jodha benar-benar bingung, “aku tidak mengerti. Aku …”
Jalal mendekati Jodha, “kalau kau ingin punya bayi, maka kau harus membiarkan aku menyentuhmu. Mencumbuimu….” Jalal menyentuh tangan Jodha. Mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Jodha. Begitu dekat… tapi Jodha tidak menghindar seperti biasa. Dia diam menunggu. Ketika Jalal menahan wajahnya agar tidak semakin mendekat ke wajah Jodha, Jodha malah mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Jalal. Jalal terhenyak kaget. Cepat-cepat dia menarik tubuhnya menjauhi Jodha.
Jodha menatap Jalal dengan tatapan kecewa, “kenapa kau menjauhiku? Apakah kau marah padaku? Di mana bayiku? Aku ingin menggendongnya…”
Jalal berteriak keras sampai membuat Jodha tersentak kaget, “Hentikan, Ratu Jodha! Kau membuatku gila! Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya. Tapi jangan coba-coba mempermainkan perasaanku!”
Jalal dengan wajah menahan kesal beranjak pergi meninggalkan kamar Jodha, tapi Jodha cepat-cepat berdiri mengejarnya. Kepalanya terasa pusing dan berat, tapi dia tidak menghiraukan. Dia meraih tubuh Jalal dan memeluknya dari belakang. Jalal menghentikan langkahnya.
Jodha beruman lirih, “jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu!” Jalal tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Dia merasa seperti mimpi saja. Tapi pelukan Jodha, aroma harum tubuhnya…
Jalal menyetuh tangan Jodha yang mendekap dadanya dan berguman dalam hati, “ini bukan mimpi. Apakah dia…” Jalal membalikan badan dan balas memeluk Jodha dengan erat. Lama keduanya saling berpelukan.
Jalal menarik tubuhnya dan menatap wajah Jodha yang tenggada kearahnya dengan penuh kerinduan. Jalal mengelus pipi Jodha lembut, “aku harap ini bukan mimpi, ratu Jodha! Kau tidak tahu betapa selama ini aku sangat mencintaimu, lebih dari pada yang bisa kau bayangkan. Aku selalu menunggu dengan penuh harap…hari di mana hatimu akan terbuka untukku. Penerimaan dirimu atas diriku begitu penting Jodha! Sejak pertama melihatmu…aku merasa tidak lengkap tanpamu. Tapi kau selalu menjauhiku… menolakku, hingga aku merasa putus asa dan tidak berdaya. Aku sangat menginginkanmu dan selalu ingin bersamamu… sayangku!”
Jalal mencium lembut pipi Jodha. Jodha balas mencium pipi Jalal dan menatapnya penuh kasih sayang. Jodha berguman lirih, “aku juga sangat mencintaimu. Ingin selalu bersamamu. Jangan pernah tinggalkan aku. Berjanjilah!”
Jalal tersenyum, “aku berjanji. Aku akan selalu menjagamu, akan selalu di sampingmu. Tak akan ada yang akan memisahkan kita!”
Jodha terlihat sangat bahagia. Dia mengulurkan tanganya hendak memeluk Jalal, ketika tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berdenyut-denyut tak tertahankan. Jodha coba menahan rasa sakit itu sedaya upaya… tapi tak jua mampu menanggungnya. Akhirnya dia jatuh pingsan di dalam pelukan Jalal. Jalal dengan cemas berteriak memanggil tabib.