IRENE

IRENE. Begitu aku memanggilnya. Adik-adik ku memanggilnya tante. Dan memang dia tante ku, adik dari papaku. Usianya yang hanya beda 2 tahun denganku membuatku terbiasa memanggilnya Irene saja. tak peduli jiuka ayah dan ibu serta nenek selalu menegurku. Lidah ini sudah terbiasa memanggilnya begitu. Dan tante… Irene sepertinya tak keberatan.  Kami kuliah di Universitas yang sama, hanya beda Fakultas saja. Aku masuk teknih mesin, sementara dia memilih jurusan kedokteran.

Irene selalu tampil casual dan cantik. Pakaian santainya jean dan T-shirt. Rambut di potong segi pendek dan kaca mata mungil bertenger di hidungnya yang mancung. Siapa saja yang melihatnya pasti akan terpesona. banyak mahasiswa yang tergila-gila padanya. Dan setiap kali aku mengantar dan menjemputnya untuk pulang bersama, aku melihat wajah-wajah iri di mata mereka. Jika sudah begitu, aku hanya bisa tertawa bangga sekaligsu geli. Bangga karena bisa membuat rekan sekampus nyengir kecewa dan geli karena aku di cemburui dengan tante ku sendiri.

Lalu aku menyadari kalau aku ternyata telah benar-benar jatuh cinta pada Irene, tanteku sendiri. Aku coba menyembunyikan perasaan itu dalam-dalam dan coba menepisnya. Tapi semakin hari rasa cinta itu semakin bergelora. Aku tak mampu lagi menahannya. Dan bertekad untuk mengungkapkannya pada Irene.

Suatu siang, Irene dan aku duduk berdua di taman rumah. Irene merasa heran karena minggu pagi seperti itu, aku tidak keluar seperti anak-anak muda biasanya.

Irene bertanya, “kenapa Gus? mama mu melarang kamu untuk pacaran sebelum kuliahmu selesai?”

Aku menggeleng geli. Sekolot-kolotnya mama, dia tidak akan mendikte diriku untuk hal yang satu ini. Malah mama terkesan masa bodoh, selama aku selalu mengingat pesannya agar tidak menghamili anak gadis orang sebelum menikah, mama akan sangat gembira. Bagiku, mama adalah sosok ibu yang sangat bijaksana. Irene terkikik geli saat ku ceritakan tentang mama yang menyuruhku memanggilnya tante. Melihatnya begitu rileks, aku mencoba mengatakan isi hatiku padanya. Aku memancingnya dengan menceritakan legenda Gunung Bromo.

Tapi Irene tidak paham dengan cerita itu dan terlihat binggung, “sebentar, Gus. Aku nggak ngerti apa maksudmu, tadi kau bilang tentang mama mu yang menyuruhmu memanggilku tante, lalu legenda gunung bromo… maksudmu apa?”

Aku menatapnya ragu, “aku… aku mencintaimu Irene..”
Irene terbelalak , “apa kamu sadar apa yang sudah kau katakan?”
Aku menyahut, “umurku hanya beda 2 tahun denganmu..”

Irene menggeleng, gusar.  
“Bukan itu!” sentaknya dengan nada marah, “apa kau lupa kalau aku ini adik papamu? Aku ini tantemu!! Buang jauh-jauh pikiran tak waras itu dari kepalamu. Aku tak mau mendengarnya lagi!”

Lalu Irene bernajak pergi dengan wajah merah padam menahan marah. Aku berusaha memanggilnya, tapi dia melesat cepat dan masuk ke kmobilnya. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bisa mendekatinya… (by: @Mardiansyah)