Karena Bunga yang terus Berbunga. Memiliki istri yang gemar belanja dan berhutang membuat Jamil gelisah dan binggung. Semua hasil kerja kerasnya sebagai buruh kasar di pabrik asbes habis untuk melunasi bunga hutang mingguan bank keliling yang besarnya sudah melebihi pinjaman pokok. Yang lebih melilit adalah, bunga berbunga tiada habisnya.
Bank harian yang memberi hutang pada istrinya tak mau tahu. Setiap telat membayar, selalu ada denda. Jika denda tidak terbayar, maka denda akan diakumulasikan juga. Begitu seterusnya. Hutang benar-benar telah menjeratnya hinga dia tak mampu lagi berpikir. Dalam keputus asaan, Jamil hilang akal. Berkali-kali dia berniat gantung diri untuk melepaskan diri dari jerat hutang yang melilitnya. Tapi rasanya belum rela. Dia masih berharap istrinya akan berubah. Berkali-kali dia menimbang dan mencari alternatif lain, tapi tak juga ketemu solusinya. Jamil meneguhkan hati. Bahwa hanya bunuh diri yang bisa membebaskannya dari belenggu kesusahan yang ditimpahan pada dirinya oleh istrinya. Hanya bunuh diri. Tak ada jalan lain.
Maka, ketika malam hampir habis, Jamil keluar dari rumahnya dengan berbekal seutas tali. Dia menuju kebun kopi tetangga yang letaknya di dekat sebuah jalan sepi. Dia ingat, ditempat itu ada pohon jambu batu yang besar tapi tidak seberapa tinggi. Dia akan mengakhiri hidupnya di situ.
Dengan bergegas, Jamil menuju tempat yang akan dia gunakan untuk bunuh diri. Cahaya bulan sabit yang remang-remang menerangi langkahnya. Disetiap langkah, tekadnya semakin bulat. Tak terlintas sedikitpun keraguan .
Begitu tiba di tempat yang dituju, dia segera naik ke pohon jambu. Mengikat ujung tali di dahan pohon yang paling besar dengan simpul mati. Kemudian mengikat ujung tali satunya dengan simpul gantung. Lalu memasukan lubang simpul ke kepalanya hingga menjerat leher. Setelah semuanya selesai, tanpa pikir panjang Jamil meloncat turun. Tali gantung langsung menjerat lehernya tanpa ampun.
Ketika nafasnya tersekat, dia merasa takut dan panik dan ingin membatalkan niatnya. Dengan kedua tanganya, dia coba melonggarkan jeratan tali itu. Tapi semua sia-sia. Kaki Jamil coba meraih sesuatu untuk di pijak. Tapi jarak ke tanah dari ujung kakinya yang hanya 5 centi pun tak bisa dia raih. Berat tubuhnya semakin memperketat simpul gantung yang menjerat leher. Jamil kehabisan nafas dan pingsang.
Namun hanya untuk beberapa detik. Lalu dia seperti di paksa untuk sadar. Rasa sakit, perih dan sesak nafas semakin parah. Jamil melontarkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan coba untuk melepaskan diri dari jeratan, tapi semua sia-sia. Semakin dia bergerak, semakin kuat tali menjerat. Jamil merasakan kesakitan yang tiada terkira. Tubuhnya kelojotan penuh derita. Pontang panting kesana kemari. Dadanya terasa terbakar. Nafasnya tinggal satu dua. Matanya membeliak ngeri. Bibirnya ternganga lebar berusaha meraih oksigen sebanyak-banyaknya. Tapi rongga pernafasan sudah tersekat. Ingin dia teriak, tapi tak ada suara. Hanya lidahnya yang terjulur memgapai.
Lalu dia merasakan sakit seperti dikuliti. Sakitnya sangat luar biasa. Perlahan tapi pasti, rasa sakit yang bermula dari ujung jari kakinya itu merambat naik kesekujur tubuhnya. Jamil tak berkutik lagi. Lalu tiba-tiba sebuah sentakan maha dahsyat yang sangat-sangat menyakitkan membuat sukmanya terlontar keluar raga.
Jamil tersungkur mencium tanah. Mengeliat kesakitan dan melolong penuh penderitaan.
Penderitaan itu belum berakhir, ketika cahaya mentari pagi menyinari tubuhnya yang masih tersungkur di tanah. Rasanya seperti terbakar. Deritanya semakin bertambah ketika tiba-tiba orang banyak datang berbondong-bondong. Jalan mereka yang serampangan menginjak-injak tubuh Jamil. Jamil berteriak untuk memberitahu orang-orang itu akan keberadaan dirinya dan berharap salah satu dari mereka menolongnya an mengantarnya pulang. Tapi orang-orang itu tak memperdulikannya. Mereka sibuk mengerubungi sesosok tubuh yang tergantung di dahan pohon. Dengan susah payah, orang-orang itu memotong tali yang menjerat leher sosok itu dan membaringkan tubuh yang sudah kaku itu ditanah. Tepat di depan Jamil yang masih meringkuk menahan sakit.
Jamil terpekik ngeri melihat sosok yang terbujur didepannya. Wajahnya begitu mengerikan. Matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar. Jamil merasa kenal dengan orang itu, tapi tak ingat siapa, Bersambung
NEXT: Bagian 2