Sinopsis Ashoka Samrat episode 2. Bindusara telah sadar dari pingsannya. Dengan tertatih-tatih dia keluar dari gubuk dan menatap kesekelling. Tiba-tiba dia mendengar suara seorang wanita. Bindusara menoleh, dia melihat Dupatrati sedang memberi wejangan pada anak didiknya, para pendeta muda tentang bagaimana mengendalikan amarah, balas dendam, memaafkan dan mencintai serta melindungi sesama..
Bindusara mendengarkan wejangan Dupatrati dengan wajah penuh ketertarikan. Bindusara tersenyum. Dia teringat perjuangan Dupatrarti dan kawan-kawan saat mengobatinya dan membuatnya sadar dari pingsan. Bindusara juga teringat bagaimana dia di serang, terbayang kembali saat anak panah melayang dan menancap di dadanya. Ada tatapan marah dan penuh dendam di matanya. Terbayang kembali bagaimana musuh membantai prajuritnya dan bagaimna dia melarikan diri hingga terjatuh ke dalam air terjun.
Dupatrati masuk kedalam gubuk sambil membawa mangkok obat. Tapi tidak menemukan Bindusara. Dengan was-was, Dupatrati berlari keluar dan bergegas mencari Bindu. Dia melihat Bindu berjalan tergesa menyeberangi danau. Dupatrati mengejarnya, “aku menunggu beberapa hari hingga kau sembuh untuk bertanya bagaimana semua ini bisa terjadi? bagaimana kau sampai di serang. Tapi kau pergi tanpa mengatakan sesuatu. Jika kau bertanya padaku, maka aku tidak akan membiarkan kau pergi dari sini karena kau belum sembuh total.” Bindu menjawab, “aku harus segera kembali, dewi.” Tapi Dupatrati mencegahnya karena dia belum sembuh benar, “tidakkah kau berpikir kalau musuh dapat menemukanmu?” Bindu menjawab, “mereka berhasil melukaiku sekali, tapi sekarang aku akan…” Dupatrati memotong, “kalau kekerasan di balas kekerasan, lalu bagaimana kekerasan ini akan berakhir?” BIndu menyahut, “kalau kau berada di posisi ku, kau akan tahu, dewi.” Dupat balas berkata, “aku tidak punya musuh, tidak terluka, tidak punya masalah, tidakkah kau ingin berada di posisi saya?” Bindusara menatap Dupat dan merasa meragu. Dupat mengajak Bindusara kembali kepondok dan beristirahat. Bindu teringat kebaikan Dupatratri. Dupar berkata, “sampai kau sehat benar, keselamatanmu menjadi tanggung jawabku. Ikutlah denganku!” Dupatrati membalikan badan hendak melangkah peri. Tapi Bindusara menahanya dengaan bertanya, “kau siapa? Kenapa aku merasa tidak lengkap setelah bertemu denganmu? Mengapa aku merasa setiap kata yang kau ucapkan adalah benar? Ketika kau berbicara tentang kedamaian aku memikirkan mengapa orang-orang menganggap anak perempuan tidak berharga? Ketika berada di dekatku, aku merasa lengkap. Kau menyelamatkan hidupku!” Dupat menyahut, “aku hanya menjalankan kewajibanku.” Bindusara berkata kalau kewajiban Dupat memberinya hidup baru, “aku tidak tahu namamu, tapi bagiku kau adalah Dharma.” Dupat menatap Bindu dengan tertegun. Bidu berkata lagi, “kau memberiku kehidupan dengan membawaku ke rumahmu. Berilah aku satu kehidupan lagi dengan memberiku tempat dihidupmu, di hatimu..” Bindu mengulurkan tanganya meminang Dupat. Dupat menatap Bindu dengan tegang, tak tahu harus berkata apa. Setelah lama saling tatap dan berada dalam keraguan, akhirnta Dupatrati membalas uluran tangan Bindusara… keduanya terlihat bahagia..
Akhirnya Bindusara menikahi Dharmanya. Keduanya terlihat bahagia duduk bersanding di depan altar saling mengucapkan sumpah setia. Dan di malam perkawinan mereka, Bindusara mendatangi Dharma di kamarnya. Keduanya dududk di pembaringan, Dharma tersipu malu saat Bindusara menyentuhnya. Mereka saling bertatapan… “Dharma…” panggil Bindusara.
Pagi harinya, Bindusara terbangun. Dia menoleh ke samping dan tidak menemukan Dharma. Bindu terlihat berpikir sesaat, lalau seulas senyum tersungging di bibirnya. Di luar, sekelompok penunggang kuda di pimpin Mir Khorasan menghampiri pondok Dharma. Khorasan turun dari kudanya dan melangkah memasuki rumah sambil hendak mencabut pedang untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba muncul Bindusara menghadang Mir Khorasan sambil mengayunkan tongkat. Keduanya saling bertatapan. Mir Khorasan terkejut melihat Bindu masih hidup. Dia teringat keteguhan Chanakya yang begitu yakin kalau Bindu masih hidup. Khorasan menyapa Bindu, “kau masih hidup?” Dengan sarkastis Bindu bertanya, “tidakkah kau bahagia melihat aku masih hidup?” Khorasan menjawab, “aku berjanji pada Noot untuk membawamu pulang, dan kau bertanya apakah aku bahagia atau tidak?” Bindu berkata kalau dia tidak percaya pada siapapun sekarang. Khorasan memberitahu Bindusara klau putranya tewas dalam serangan itu dan anak gadisnya menjadi janda sebelum menikah. Khorasan mengajak Bindusara pergi bersamanya karena seluruh Magadha menannti kedatangannya, “begitu jiga Noor, dia menunggu kedatanganmu!” Bindu memberitahu Khorasan kalau dia tidak bisa menikahi Noor. Khorasan kaget dan berkata kalau dirinya bisa menerima apapun, kecuali penghinaan, “kalau seperti itu, kami tidak akan membantumu melindungi Magadha. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menolak menikahi Noor? Mengapa kau melanggar janjimu Samrat Bindusara?” Dharma berdiri mendengarkan pembicaraan itu terkejut, dia terlihat bingung, “Samrat Bindusara?” Tempayan yang di bawa Dharma terlepa dari tanganya dan jatuh ketanah menghasilkan suara yang berisik. Bindusara menoleh kearah Dharma.Khorasan yang kaget, segera menghunus pedangnya kearah Dharma. Dharma berjalan mendekati mereka. Khorasan bertanya, “siapa kau?” Sambil menatap Bindusara, Dharma menjawab, “Pelayan Samrat.” Dengan tongkatnya, Bindusara menurunkan pedang Khorasan yang terhunus kearah Dharma. Bindusara memberitahu Khorasan kalau Dharma adalah orang yang menyelamatkan nyawanya dan dia juga adalah..
Belum selsai Bindusara menyelesaikan kalimatnya, Dharma sudah bersimpuh di hadapan Bindu sambil menyembah, “Samrat, saya beruntung telah melayani anda. Anda telah sembuh sekarang. Pergilah, rakyatmu, negerimu..membutuhkan dirimu. Penuhi janji yang telah kau buat. Aku menjaga hidupmu seperti kau menjaga Magadha. Pergilah…!” Khorasan mengajak Bindu peri. Bindu menatap Dharma untuk terakhir kali lalu dia peri bersama rombongan Khorasan.
Dlam pernjalanan, Binndusara teringat bagaimana Dharma meminta Bindu memenuhi janjinya. Bindu mengatakan kalau Dharma kini adalah istrinya dan itu suatu kebenaran, “kau istriku, kau ratu. Tempatmu adalah di istana.” Dharma mengingatkan Bindusara kalau cinta yang membuat Bindu mekupakan tugasnya bukanlah cinta, “cinta kita harus menjadi sebuah keberuntungan untuk Magadha.” Bindusara setuju dengan ucapan Dharma dan berjanji kalau dirinya akan kembali begitu kewajibannya terpenuhi. Dharma menyahut, “aku tidak membutuhkan janjimu. Aku percaya kau akan kembali.” Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Sebelum pergi, Bindusara memberikan sebuah cincin pada Dharma.
Di istana Magadha sedang verlangsung prosesi penobatan Justin menjadi Raja Magadha. Pendeta mengumumkan kalau mulai sekarang putra raja Chadragupta Maurya, pangeran Justin akan menjadi raja Magadha, dan semua perintahnya harus di patuhi. Justin tersenyum licik sambil melirik mahkota dan singgasana. lalu setelah arti selesai di lakukan, dengan tamak dia melangkah menuju singgasana. Justin dan Helena saling berpandangandan tersenyum bahagia. Sekelompok resi menghampiri Helena dan menyodorkan baki yang berisi mahkota. Helena hendak memakaikan mahkota itu ke kepala Justin ketika tiba-tiba terdengar suara Khorasan menyuruhnya berhenti. Helena dan Justin terlihat marah dan heran, dengan sengit Helena bertanya, “kenapa?” Khorasan tidak menjawab, dia hanya melangkah minggir untuk memberi jalan. Dari belakangnya, muncul Samrat Bindusara. Semua yang hadir tertegun dan senang melihatnya kcuali Pendeta yang bersekongkol, Helena dan Justin. Bindusara berjalan dengan gagah ke arah singgasana. Helena dan Justin saling berpandangan, helena memberi isyarat pada Justin, Justin menganggul. Helena melirik Mahkota di tangannya dengan tatapan kecewa. Begitu Bindusara dekat, Helena segera meletakan mahkota di nampan dan berlari menyambut Bindusara dengan wajah pura-pura bahagia.Dengan senyum penuh kepalsuan, Helena berkata, “sekarang Mgadha tidak perlu apa-apa lagi. Samrat Bindusara sudah kembali dengan selamat.” Dengan kepiawaiannya menyembunyikan rasa kecewa, Helena memimpin yang hadir mengelu-elukan Bindu. Charumitra dengan airmata bahagia memberi hormat pada Bindusara sambil berkata, “melihat anda baik-baik saja, saya percaya pada tuhan lagi. Saya yakin Sushim tidak akan menjadi yatim.” Bindusara tersenyum pada Charumitra dan tersenyum penuh pengertian. Bindusara kemudian menghampiri tahtanya dan di sambut Justin dengan wajah penuh penyesalan, “aku pikir, Magadha kehilangan segalanya, tapi ternyata tidak…” Justin memeluk Bindu dan menampakkan sifat licik di balik punggungnya. Bindussara melepas pelukan Justin. Kembali terdengar suara khalayak mengelu-elukan namanya. Justin mempersilahkan Bindusara menuju tahtanya, sementara dirinya, seperti pahlawan kalah perang meninggalkan singgasana dengan wajah penuh ketidakpuasan. Helena memasangkan Mahkota ke kepala Bindusara sambil berkata, “aku tidak bisa menerima bahwa kau sudah mati. AKu percaya kau masih hidup, dengan kembalimu, tuhan membuatku bahagia. Setelah apa yang terjadi di Magadha, kini semua akan baik-baik saja.” Justi menyambut ucapan ibunya dengan sengit, “tapi kita harus cari tahu siapa yang mencoba membunuh Samrat. Dia harus di beri hukuman yang berat.” Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, semua mata tertuju ke pintu gerbang. Di sana dengan langkah pelan namun pasti, Chanakya berdiri dengan penuh wibawa, menatap Bindusara dengan tatapan penuh kasih sayang. Semua yang hadir berdiri memberihormat. Begitu pula Bindusara dan anggota kerajaan. Chankya mengangkat tangan, Bindusara kembali duduk di tahtanya. Dengan saura tegas berwibawa, Chanakya berkata, “tidak akan terjadi apa-apa dengan membunuh preman-preman itu. Karena musuh sebenarnya adalah dia yang menyuruh preman-preman itu membunuh samrat.” Chanakya melambaikan tanganya ke belakang, Helena dan Justin terlihat tegang ketika salah seorang preman yang tertangkap di bawah masuk. Lalu dengan sengit keduanya ibu anak itu bergantian menanyai preman. Ketika Justin maju hendak memukulnya, Chanakya melarang. Chanakya menyuruh preman memberitahu siapa yang menyrusuh dirinya membunuh Bindusara. Preman mengatakan tidak tahu siapa dia, karena orang itu memakai kedok. Orang itu berkata kalau dirinya akan di beri uang yang banyak kalau mau membunuh raja. Bukan itu saja, bahkan orang itu berjanji kalau Samrat baru di nobatkan, dia akan diangkat sebagai kepala pasukan Magadha. Mendengar itu Justin berteriak, “diangkat menjadi kepala pasukan? Sebelum itu terjadi aku akan membunuhmu sekarang.” Justin mengangkat pedangnya. Tapi sebelum pedang itu mengenainya, si preman sudah jatuh tersungkur dengan wajah membiru. Dokter di panggil untuk memeriksanya. Helena berkata kalau hidup preman itu sangat penting, “dia bisa membawa kita pada musuh sebenar.” Tapi tabib mengatakan kalau nyawa preman itu sudah tidak tertolong lagi karena dia telah minum racun. Dan racun itu dapat membunuh siapapun. Helena berkata kalau dia tahu racun apa itu, “itu adalah racun yang sama yang menyebabkan tanda bitu di kepalamu Samrat.” Bindu menyentuh tanda biru di keningnya. Helena memberitahu kalau racun itu adalah racun yang sama yang di berikan pada ibu Bindu saat dia masih ada dalam rahimnya. Dengan heran Bindusara bertanya, “ibu saya di beri racun?” Helena mengangguk. Chanakya mengatakan kalau itu bukan yang sebenarnya. Helena menanyai Chanakya, “bukankah ratu durdhara terbunuh oleh racun ini? Dan hanya dirimu saja yang membawa racun itu masuk ke istana, achari?” Chanakya menjawab, “ya. AKu yang memberikan racun itu. Tapi alasan sebenarnya adalah…” Helena mengejar, “kau tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya. Aku tidak bisa memaafkanmu untuk itu!” Akhirnya demi memperjelas masalah, Chanakya memberitahu bindusara kalau dirinya dulu selalu memberikan racun itu pada Raja Chandragupta dalam jumlah kecil. Chandragupta tahu itu. Semua itu Chanakya lakukan agar Chandraagupta kebal terhadap racun jika ada musuh yang berniat meracuninya. Tapi entah bagaimana caranya, racun itu masuk kedalam tubuh ibu bindusara. Sebenarnya dengan jumlah racun yang sedikit itu, nyawa ratu bisa di selamatkan, tapi Bindusara masih ada di dalam rahimnya. Demi menyelamatkan Bindusara, dan masa depan Magadha, maka dengan sangat terpaksa mereka membelah perut ratu untuk mengeluarkan bindu. Mendengar cerita itu, Bindu dengan wajah sedih bertanya pada Chanakya, “mengapa anda tidak pernah menceritakan perihal ini ssebelumnya?” Chanakya menjawab pertanyaan Bindu dengan rasa sesal, “jika anda anggap saya membunuh ibumu, kalau anda berpikir begitu, maka anda boleh menghukum ku. Saya siap di hukum mati. Saya tidak akan melawan tuduhan ini. Saya hanya menjalankan kewajiban saya untuk Magadha. Pengorbanan dan jasa saya untuk Magadha. Keputusan ada di tangan anda, Samrat.” Justin menimpali, “Achari benar. Apakah anda masih berpikir kalau Achari bukan pelakunya? kami menunggu keputusan anda.” Helena turut bersuara, “kejahatan adalah kejahatan. Dan hukuman setimpal untuk siapa saja yang melakukan kejahatan.” Bindu terlihat berpikir keras dan ragu untuk mengeluarkan keputusan. Suasana menjadi tegang. Semua menanti keputusan Bindu. Chankya yang melihat keraguan Bindu berkata, “ketegangan ini tidak terlihat baik untuk seorang samrat. Di negara yang kulayani seumur hidupku, negara yang sama, jika niatku di ragukan, maka aku tidak layak untuk Magadha. Aku akan pergi dari istana. Mungkin aku berada jauh dari istana, tapi Magadha tidak bisa jauh dari dariku. Aku akan selalu berdoa untuk magadha. Dan kapan saja Magadha membutuhkan aku, aku pasti akan kembali untuk Magadha.” Setelah memberi hormat, Chanakya dan rombongan meninggalkan istana Bindusara. Helena, Justin dan pendeta saling lirik dengan senyum licik tersungging di bibir. Charumitra menatap prihatin kearah Bindusara yang terlihat sedih dan kecewa tapi tak tahu harus mencegah atau membiarkan Chanakya meninggalkan istananya.
Pengumuman segera di sebarluaskan ke seantero negeri kalau Samrat Bindusara masih hidup dan baik-baik saja. Serta rakyat yang datang memberi informasi tentang musuh akan mendapat hadiah. Raja Veer yang pernah mengaku menjadi rasa Magadha dan menyebabkan Magadha berada dalam lautan api di hajar habis-habisan oleh Khorasan dan di penggal kepalanya di hadapan rakyat. Magadha kembali damai di bawah pemerintahan Samrat Bindusara.
Di desa, Ayah Dharma meminta dharma mengirim kabar pada Samrat Bindusara akan kehamilannya. Tapi Dharma menolak, “jika dia tahu bahwa saya mengandung anaknya, dia akan meninggalkan tugasnya. Dia telah berjanji akan datang kembali setelah melakukannya tugasnya itu.” Bersamaan dengan itu, Bindusara benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia menangkapi penjahat dan musuh negara serta menciptakan kedamaian di Magadha. Semua rakyat mengelu-elukan Samrat di manapun dia berada.
Di halaman rumah, ayah Dharma sedang melakukan puja. Dharma berdiri di depan pintu memperhatikan sambil mengelus perutnya yang semakin besar. tatapan Dharma melayang jauh. Di ateringat cincin pemberian Bindusara. Dharma menatap cincin itu dan tersenyum penuh harap.
Di istana, Bindusara yang di cekap kerinduan pada Dharma menghibur diri dengan minum anggur sampai jatuh tertidur. Dharma pun begitu. Hari-harinya di lalui dengan penuh kerinduan pada Bindu. Sambil memasak Dharma membayangkan kembali kenangan indahnya bersama Bindusara. Dia mengelus perutnya. Tanpa sadar air mata menetes di pipinya. Jika terdengar langkah kaki kuda lewat di jalan depan rumahnya, Dharma segera berlari menyambut, berharap itu adalah derap kaki kuda Bindusara. Tapi harapan hanya tinggal harapan. Bindusara tidak kunjung datang. Dharma hanya bisa memeluk tiang pagar sambil menangis penuh rindu.
Beberapa waktu kemudian, Bindusara memenuhi janjinya untuk menikahi Noor Khorasan. Pesta meriahpun di gelar. Di malam perkawinan, Bindusara mendatangi Noor di kamarnya. Saat memasuki pintu, Bindu teringat upacara pernikahannya dengan Dharma. Tapi dengan cepat Bindu membuang jauh pikiran itu. Bindu mendekati Noor dan duduk di pembaringan. Dia menatap Noor yang cantik dengan penuh kekaguman. Noor melirik mesra ke arah Bindusara dan berkata, “hatiku telah di curi oleh anda dalam kompetisi itu. Dan hari ini saya menyerahkan tubuhku padamu.” Noor merebahkan tubuhnya. Bindusara tersenyum dan iku rebah miring di samping Noor. Dengan lembut Bindusara menyentuh Noor. Noor malas menyentuh pundak BIndu. Tiba-tiba Bindu teringat malam pertamanya dengan Dharma. Dengan cepat Bindu menarik tubuhnya menjauhi Noor. Noor tersentak bangun. Dengan kecewa Noor bertanya, “siapa dia yang membuatmu menjauhi ku?” Bindu menjawab, “seseorang yang membuat aku sadar akan tugasku. Yang memaksaku memenuhi janjiku pada Magadha. Aku tidak memberitahu siapapun tentang dia. AKu tidak akan bisa mencintaimu seperti aku mencintai dia. Maafkan aku!” Bindusara emberitahu Noor kalau dia menikahi dirinya hanya untuk memenuhi janjinya pada Khorasan, “aku telah memberikan hati dan tuuhku pada orang yang telah menyelamatkan aku. Setelah bertemu dengannya aku merasa lengkap. Aku akan segera membawanya kesini. Dia sangat baik dan kau akan senang bertemu denganya.” Noor merasa cemburu dengan menahan geram yang disembunyikannya di balik senyuman,dia bertanya, “siapa dia? tak bolehkah aku mengetahui namanya?” Bindusara teringat saat dia memberi nama Dupatrati dengan Dharma. Bindusara tersenyum, “namanya Dharma.”
Noor berlari keluar dari kamar sambil menangis. Dia berpapasan dengan Khorasan. Melihat putrinya tidak bahagia di malam pengantinya, Khorasan bertanya, “kenapa Noor?” Noor memberitahu Khorasan kalau Bindusara telah jatuh cinta pada Dharma dan akan menjadikannya seorang ratu, “dia telah menikahinya.” Khorasan berguman, “mustahil!” Dia ingat saat dia bertemu Dharma dan bIndusara mengenalkan gadis itu padanya. Dengan geram Khorasan berkata, “Noor, aku bisa membakar apapun hingga menjadi abu untuk menghentikan airmatamu.”
Dharma sedang duduk di halaman sambil menumbuk sesuatu ketika Khorasan datang. Dengan wajah bahagia, Dharma menyambutnya, “aku tahu dia akan memanggilku. Silahkan masuk, aku akan bersiap-siap.” Khorasan dengan geram berkata, “dia Samrat. Dia menghabiskan malam bersamamu dan kau berpikir akan menjadi ratu Magadha?” Dharama tertegun kaget. Dia teringat bagaimana Bindusara melamarnya, lalu mereka menikah dan melakukan malam pengantin. Dharma berkata, “apa yang anda katakan? Dia menikahiku dan saya sedang mengandung anaknya.” Dengan licik Khorasan berkata, “dia tahu hal ini akan terjadi, karena itu dia menyuruhku untuk menghabisimu.” dengan pedang terhunus, Khorasan siap menebas Dharma. Tapi ayah Dharma yang mendegar ribut-ribut keluar dan membentak Khorasan, “beraninya kau berkata seperti itu padanya!” Khorasan dengan sekuat tenaga menedang dada orang tua itu dan menebas lehernya. Dharma berteriak, “ayah!” Tapi tak bis aberbuat apa-apa. Melihat dirinya dalam bahaya, Dharma segera melarikan diri masuk kedalam rumah danmenguncinya. Khorasan dan anak buahnhya menunggu di depan pintu gerbang. Melihat Dharma mengurung diri di pondok, Khorasan memerintahkan anak buahnay membakar pondok itu. Seketika itu juga api melahap pondok beratap alang-alang itu. Dalam pondok Dharma tergeletak di lantai sambil mengerang kesakitan. Rintihannya terdengar sampai ketelinga Khorasan. Khorasan tersenyum puas. Setelah api semakin besar, Khorasan mengajak anak buahnya meninggalkan rumah Dharma.
Dalam kesakitannya Dharma berdoa memohon bantuan dari dewa. Lalu muncullah singa yang perkasa. Sambil mengaum, singa itu berputar mengintari ruangan. APi pun berhenti menyebar. Sang singa kemudian mengaum keras. Bersamaan dengan itu Dharma melahirkan. Kembali singa mengaum keras. Dengan di kelilingi oleh api yangbelum padam, Dharma membopong bayinya sambil berkata penuh bahagia, “aku menjadi lengkap setelah memilikimu. Kau akan di panggil Ashoka.” NEXT: Sinopsis Ashoka Samrat episode 3