Selama waktu makan berlangsung, Abi bercakap-cakap terus dengan luwesnya. Seakan-akan keluarga itu sudah dikenalnya lama. ibu Ati tanpak senang pda Abi yang penu humor dan tak sungkan-sungkan itu. Dan Abi pun tak menyia-nyiakan kesempatan emasnya untuk menjalin percakapan dengan Ati dengan lagi-lagi melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang terpaksa Ati jawab.
“Mas Tok gimana sih!” tegur Ati dengan kesal seperginya tamu tak di undang itu. “Dimintai tolong untuk mengusir malahan mengajak makan. Muka saya ini mau di taruh mana?”
“Ya, jangan di taruh di mana-mana selain di situ. Kalau bukan karen amuka itu, kan si Abi tak bakal kemari…”
“Mas Tok brengsek! Mas Tok brengsek!” dengan bertubi-tubi di pukulnya punggung Mas Tok.
“Hus! Hus! Mbok jangan histeris begitu!” seru Mas Tok sambil tertawa dan pura-pura hendak menangkapkedua kepalan tangan yang masih terus saja menyerang. “Masa pemuda baik-baik harus aku usir. Aku salut sam adia. SI Abi itu tidak hanya berani, tetapi juga sopan. Dan yang paling menareik perhatianku, dia jujur. Kalau aku adalah kamu, akan kujadikan dia pacarku.”
“Mas Tok!”
“Sungguh. Zaman sekarang, satria macam dia sudah sangat langkah.”
“Aneh. Rupanya Mas Tok sama sekali tak bisa membedakan mana yang playboy dan mana yang betul satria.”
“Kamu salah Ti. Justru karena aku tahu persis seperti apa satria itu, maka adikku yang cuma semata wayang ini aku anjurkan untuk…. Auuu!” Mas Tok menggeleng-geleng sambil memegangi lengannya yang habis kena pilin itu. Sementara si punya ulah, sudah menghambur pergi.***
Dalam sekejab, Abi telah berhasil merebut hati seuruh keluarga. Semua, kecuali Ati.
Ia sering mengantarkan ibu berpergian. Menemani dan tidur bersama Mas Tol di akhir minggu. Menggoda Bik Ipah yang sudah agak tuli. Serta menakut-nakuti setiap kumbang yang berkunjung kerumah Ati.
“Saya tidak perduli kamu mau berteman baik dengan Mas Tok, mau menginap di sini, mau berbuat sesukamu di rumah ini, “ kata Ati pada suatu pagi, “tapi saya tidak suka dengan caramu mengusir semau teman pria saya.”
“Lho, memangnya saya pernah mengusir?”
“Jangan berlagak bodh. Kamu selalu berusaha mengusir mereka dengan turut duduk mengobrol dan menunggu sampai mereka akhirnya risi dan terpaksa pamit.”
“Lho, kenapa mereka harus risih?”
“Karena mereka semua mengira bahwa kamu adalah pacar saya.”
“Oh ya? Apa kamu berkata demikian pada mereka?”
“Tentu saja tidak.”
“Lalu mengapa mereka sampai mengira saya adalah pacar kamu? Mas Tok-mu kan juga sering mengajak mereka ngobrol.”
“Mas Tok itu kakak saya. Kamu ‘kan bukan apa-apa saya.”
“Lho, kamu bisa saja toh mengatakan bahwa saya adalah saudaramu. Supaya tidak di sangka pacar.”
“Mana mereka mau percaya kalau melihat…melihat caramu…caramu memandang saya.”
“Cara saya memandang kamu?” tanya Abi pura-pura terkejut. “Memangnya seperti apa cara saya memandang kamu?” Seperti ini?” tanya Abi separuh berisik sambil menarik tubuh Ati, mendekapnya dan menciumnya lama sekali.
“Lepaskan!” desis Ati. Tetapi Ia tidak berusaha meronta.
“Saya baru mau melepaskan kalau kamu mau mendengarkan saya baik-baik.” Digenggamnya kedua pergelangan ati erat-erat.
“Kalau teman-teman priamu itu betul-beul ingin memetik hatimu, segala rintangan harus berani mereka hadapi. Kalau melihat saya saja mereka sudah gentar, patutkan mereka kamu jadikan alasan untuk membenci saya?”
“Suatu hari saya akan meminta kamu mehadi istri saya. Kamu bersedia ‘kan? Stt, tak perlu di jawab sekarang. Tiga tahun lamanya sata berusaha mengenal kamu betul-betul dari dekat. DI luar kehendakmu kamu pun telah mengenal saya dengan cukupdekat, bukan?”
“Mungkin kamu tidak sadar, tetapi hubungan saya dengan kamu diam-diam lebih dekat daripada hubungan pasangan-pasangan lain yang mengaku pacaran. Kalau kamu pacaran dengan si Roy, si Agus, dan lain-lain temanmu itu, kalian hanya akan melihat yang indah-indah saja dari satu sama lain. Bicaranya yang indah-indah, bepergian ke tempat yang indah-indah. Tidak seperti kamu dan saya, yang sudah saling mengenal segi buruk masing-masing. Coba pikir, berapa banyak pasangan yang punya kesempatan untuk melihat keadaan satu sam alin sebelum tidur dan tepat sesudah bangun, dan berciuman setengah lima pagi masih dalam piyama dan daster?”
“Saya paling tidak sudah sering melihat rambutmu yang awut-awutan bila bangun tidur dan mendengar kata-katamu yang sering menyakitkan. Kamu sendiri juga sudah terbiasa bukan, dengan bau saya sehbais kerja di garasi….”
“Dan sudah terbiasa dengann omongan gombal-mu,” potong Ati. Abi tertawa.
“Ya, itu bagus, kan? Tapi bukan itu yang penting sebentulnya. Yang paling penting adalah: kita berdua sudah saling mengenal karakter satu sama lain. Dan kalau kamu mau jujur terhadap dirimu sendiri, kamu pasti akan mengakui bahwa kamu diam-diam juga menaruh hati kepada saya. Ya kan?”
“Tidak betul. Jangan mengada-ada, Abi. Saya menganggapmu tidak lebih dari…. Sekedar teman keluarga.”
“Yaa, proses yang terbaik memang harus melalui itu dahulu. Mula-mula teman keluarga. Lalu teman, baru terakhir kita berkeluarga.” Sambil berkata demikian di kecupnya kening Atu lalu di lepaskannya genggamannya.
Ati berjalan masuk di iringi senyum Abi. Tubuhnya terasa ringan sekali. Seringan gelembung-gelembung sabun yang sering di buatnya takkala kecil. Melayang-layang di tiup angin, memantulkan cahaya matahari. O, wanginya bunga melati di tepi rumah pagi itu. ***
Pada suatu pagi, di tahun kelima Abi mengenal Ati sejak pertemuannya di lobby Kebayoran Theater, Ati di lamarnya. Dilamar di depan sepiring nasi goreng di atas meja makan. Di hadapan ibu, Mas Tok, dan istri Mas Tok. Di kala hujan sedang turun teramat deras.
“ibu soih sama sekali tidak keberatan. Sejak dahulu ibu sudah mengganggap Nak Abi sebagai keluarga sendiri. Tentu saja ibu lebih senang lagi kalau Nak Abi mau menjadi putra ibu.”
“Kalau aku memang dari dulu sudah setuju. Masih ingat nggak, Ti, hari pertama itu aku bilang apa? Aku tahu kalian bakal jodoh. Intuisiku tak pernah meleset. Apalagi soal asmara. Ya, nggak, Ut?” istrinya Mas Tok Cuma mencibir.
“Gimana Ti? Mau nggak?”
“Apa boleh buat. Toh semua teman di kampus sudah mengira kita bakal kawin dalam waktu dekat ini.”
“Hei, darimana mereka tahu?” tanya Mas Tok terheran-heran.
“Darimana lagi kalau tidak dari mulut satria unggulan Mas Tok ini. Sudah sebulan ini ia menyebarkan berita bahwa saya telah bertunangan dengan dia. Bukan hanya menyebar-nyebarkan begitu saja, tetapi jelas-jelas memasang pengumuman yang malu-maluin itu di kampusku. Ia juga mengarang cerita=cerita bohong pada Ita si Bocor Mulut, tentang saya dan dia yang sudah tak terpisahkan lagi. Hm.. Apa tidak ada cara lain yang sedikit terhormat selain memeras saya dari belakang?”
“Ada,” sahut Abi serius. Dari jepitan piyamanya di keluarkannya surat kabar hari itu. Di bukanya pada halaman iklan, lalu di serahkannya pada Ati.
Yang lain berusaha turut membaca…. NEXT