Orang bilang Ati sangat beruntung. Betapa tidak, Ia punya segala sesuatu yang tidak di miliki wanita kebayakan. Ya Segala-galanya! Tetapi sayang, Ati sendiri tak pernah merasa dirinya beruntung.
Sementara Ita di sampingnya ribut sendiri, Ati hanya bisa mengerutkan bibir.
“Wah, dia masih membuntuti kita, Ti. Makin mendekat makin ngganteng, lho!” pekik Ita kegirangan sambil sebentar-sebentar melempar senyum ke belakang.
“Sudahlah, It. Jangan kampungan begitu.”
“Ei, dia mengajak main mat. Playboy barangkali ya Ti. Dadaah! Dah kamuu!”
“Bang, bang Becak! Belok ke kanan ya. Yang satu turun di sana…”
“Lho, Ti? Tak jadi bikin paper di rumahku?”
“lain kali sajalah. Biar kamu punya kesempatan untuk kenalan dengan…dengan playboy-mu itu.”
“Kalau aku yang dapat jangan iri ya. Yuk, sampai ketemu besok.”
“Hmmm kenapa harus iri? Ptotongan seperti itu kok di gandrungi..” gerutu Ati sambil membuka pagar rumahnya. Belum sempat ia melangkah masuk, tiba-tiba Vespa tua itu berhenti tepat di sampingnya.
“Selamat siang. Boleh saya mampir?” sapa si Playboy.
Ati membelalakkan mata tak percaya. Terlalu. Jadi sejak tadi sayalah yang di burunya. Tanpa menjawab ia segera membalikkan badan dan meninggalkan pemuda itu.
Si Playboya Cuma menyerigai. Dengan tenang di giringnya Vespanya ke depan garasi. Ia menekan bel, lalu duduk di serambi depan.
“Mau apa Anda di sini?!” hardik Ati tak kala membukakan pintu dan sama sekali tak menyangkah akan menemukan pemuda itu lagi.
“Kenalkan,” katanya seraya bangkit dan mengulurkan tangan. “Nama saya…”
Belum selesai pemuda itu bicara, Ati sudah berteriak-teriak, “Mas Tok! Mas Tok!” hatinya kalap bercampur takut.
Yang di panggil Mas Tok tergopoh-gopoh menjumpainya. Tak sempat pakai baju. Tak sempat menukar celana pendeknya, “ada apa? Ada apa?”
“Ada orang gila! Dia…dia dari tadi menguntit saya..”
Mas Tok mendelikkan matanya kearah pemuda itu dan dengan suara yang di wibawa-wibawakan, ia mengertak, “Apa betul saudara menguntit adik saya?”
Pemuda itu tersenyum sebentar lalu kembali duduk di kursi besai menghadap kearah kedua pemilik rumah.
“Betul,” jawabnya sopan.
“Sudah sejak tadi Mas Tok. Sejaks aya dan Ita main jackpot di kebayoran Theater. Orang ini sengaja berdiri di samping kamu dan terus-terusan memandang sambil pringas-pringis.”
“Apa betul Saudara sengaja pringas-pringis di samping adik saya?”
“Ya, betul,” jawabnya lagi.
“Orang ini pasti gila Mas Tok. Tak usah di tanyai lagi. Usir saja. Cepat usir, Mas Tok.”
“Lalu apa maksud saudara mengganggu adik saya?” kali ini Mas Tok agak menurunkan volume suaranya.
“Saya tidak mengganggu. Saya Cuma ingin melihat nona ini dari dekat.”
“Sudahlah, Mas Tok, buat apa sih di gubris. Usir saja,” lata Ati sambil mengguncang-guncang lengan kakaknya.
“Saudara pasti punya niat jelek. Kalau tidak untuk apa Anda menontoni adik saya dari dekat?”
“Kalau betul saya punya niat jelek, masakah saya berani duduk di sini?”
Sikap tenang yang di perlihatkan pemuda itu membuat mastok tak jadi marah. Penasarannya bertambah.
“Lalu untuk apa? Untuk apa saudara membuntuti adik saya?” tanyanya tak sabar.
“Karena adik sampean cantik. Tidak setiap hari saya berjumpa dengan seorang nona secantik adik sampean.”
Wajah Ati kontan beranti merah. Ia tak dapat beruat apa-apa lagi selain memutar tubuh dan berlari masuk kedalam rumah.
Sudah satu jam lebih Mas Tok be;um masuk juga. Si suruhnya Bik Ipah mengintip.
“Ada di garasi, Den. Lagi bikin betul mobil sama temannya.
“Astaga. Sudah gila rupanya Mas Tok. Akan saya adukan pada ibu kalau Ia pulang nanti..” guman Ati.
Tetapi terlambat. Ibu ternyata sudah ada di ruang makan menata piring. “Tiii! Tiii!” serunya. “Ayo makan!”
Dug. Jantung Ati berhenti berdegub melihat pemuda itu duduk di sisi Mas Tok, menyendok nasi seperti di rumah sendiri.
“Ini teman Mas-mu, Ti. Apa sudah saling kenal?”
“Belum, Tante,” sahut si teman Mas Tok. Serta merta dia bangkit dan menyalami Ati.
“Kenalkan, nama saya Abi,” katanya sambil menyerigai nakal.
Atik tak enak jika harus memperlihatkan muka masam di depan ibunya. Karea itu dengan berat hati di sambutnya salam si pemuda.
“Ati,” katanya pelan.
Mas Tok mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan tawa. Tak berani menatap adiknya maupun Abi. Takut tawanya sewaktu-waktu meledak.
FIKSI yang LAIN: