The DUKUN: Prolog

Melihat gadis cantik itu terbaring dengan kaki lumpuhnya yang semakin hari semakin mengecil membuat hatiku miris. Bagaimana bisa, gadis yang dulu ceria, mahasiswa sebuah fakultas Psikologi, tiba-tiba terkapar tak bisa jalan hanya karena penyakit panas tak berkesudahan.

Anehnya, meski sudah berobat ke banyak dokter, tidak ada satupun yang bisa mendiagnosa penyakit apa yang diderita Melisa dan apa penyebabnya. Mereka hanya sepakat pada satu kesimpulan, kalau Melisa tidak akan bisa berjalan lagi selama-lamanya karena syaraf-syaraf di kakinya sudah mati.

Kehilangan kemampuan berjalan bagi seorang gadis se-energik Melisa adalah kutukan. Tapi gadis itu terlihat begitu tabah menjalani semuanya. Tetap tersenyum dan terlihat tegar. Meski aku yakin, jauh di dasar hatinya yang paling dalam, pasti dia menangis.

Aku tidak bisa membayangkan jika cobaan itu terjadi padaku. Aku pasti sudah bunuh diri karena putus asa. Untungnya Tuhan tidak menyayangiku sebesar Dia menyayangi Melisa. Sehingga aku tidak perlu merasakan penderitaan sebesar yang di tanggungnya.

Aku tidak mengenal Melisa. Tapi aku tahu tentang dia dari Youtube. Bu Ning, ~ The dukun, begitu aku dan Melani memanggilnya~ telah begitu rajin mengupload video Exorcistnya.

Dan kali ini secara live.

Aku menonton sambil membayangkan seolah-olah aku berada disana, diantara para pasien yang hendak berobat.

….lalu aku merasakan tubuhku seringan kapas dan tiba-tiba saja aku sudah ada disana…. diantara para pasien yang sedang melihat proses exorcism Melisa.

Jika sudah begini, tak ada pilihan lain bagiku selain pergi tidur dan memfokuskan diri pada sukmaku. Kalau kupaksakan melakukan sesuatu dengan sukma yang tidak lengkap, maka hasilnya tidak akan sempurna. Aku segera membaringkan tubuhku di sofa.

Sekian mil dari jasad ku, sukmaku sedang melihat proses pengobatan yang di lakukan bu Ning. Aku menyandar di sandaran tempat tidur dengan relax. Aku yakin, tak ada yang akan bisa melihatku bahkan para pemilik Indra keenam itu. Aku melihat Melisa berbaring di tempat tidur yang ada di depanku di kelilingi oleh bu dukun dan asistennya. Dia mengeliat-ngeliat kepanasan dan kesakitan saat bu dukun dan asisten memijat tubuhnya.

Aku tahu yang berteriak-teriak itu bukan Melisa. Melainkan seekor siluman ular berwujud kuntilanak. Tapi di mataku sekarang dia adalah Melisa. Karena aku telah menutup mata batin ku dan hanya melihat apa yang aku inginkan saja.

Aku tidak memiliki Indra keenam. Tapi aku bisa melihat gaib melalui mata batin. Mungkin hanya sedikit dari kalian yang tahu bedanya antara Indra keenam dan mata batin dan banyak yang menganggapnya sama. Tidak masalah. Tidak penting pun. Maksudku bagi orang awam… tapi bagi praktisi supranatural sangat-sangat penting….

Aku melihat bagaimana bu Ning menanyai siluman ular itu. Dan dengan lancar dia menjawab pertanyaan bu Ning. Suaranya terdengar lembut dan manja. Tapi aku tahu itu cuma kamulfase belaka. Faktanya, dia sangat berbisa.

Sesaat aku jatuh hati pada siluman itu, sampai dia menceritakan apa yang sudah dia lakukan pada Melisa. Bagaimana dia menyiksa gadis itu , mematikan saraf-saraf di kakinya agar lumpuh.

Aku marah.

Aku menyentuh kaki Melisa. Siluman ular berteriak kesakitan. Bu Ning kaget, “ada apa?”

“Sakit bu…”

“Sakit kenapa?”

“Ada yang megang…”

Bu Ning pura-pura memarahi asistennya, “jangan di pegang-pengang.! Nggak nggenah arek-arek ini….! ” Asistennya menyambut ucapan bu Ning dengan tawa. Aku meneruskan aksiku. Kusentuh ibu jari kaki Melisa. Aku merasakan aliran energiku tertahan. Aku memfokuskan diri.

Melisa berteriak-teriak kesakitan. Bu ning yang merasa terganggu memarahi asistennya. Asistennya mengelak, “siapa yang pegang? Nggak ada yang pegang-pegang kok..”

Bu Ning melotot kearahku sambil berteriak, “hei mbak, jangan di pegang kakinya. Ayo lepaskan!”

Aku menatapnya dengan kaget. Cepat-cepat ku tarik jemariku dari ibu jari Melisa. Aku tidak menyangka dia bisa melihatku. Dia menatapku penuh selidik, “kamu pasien?”

Aku mengangguk ragu. Bu Ning bangkit dari duduknya.

“Sakit apa?” tanyanya sambil mendekat.

“Sakit…..” aku berpikir keras mencari alasan. Belum sempat aku menjawab, bu Ning telah menyergap sukmaku dengan tangan besarnya. Aku mengecil dalam genggamannya.

“Kamu dukun santet ya?” tuduhnya.

“Bukan.”

“Kamu Mata-mata? Kamu datang untuk siapa?” tanyanya garang.

“Untuk nonton….”

“Jangan bohong.!” bentaknya.

“Tidak percaya.. ya sudah! Lepaskan aku!” Aku menggeliat dari genggamannya dan terlepas dengan mudah. Ku lihat bu ningsih sedikit kaget.

“Hebat kamu!” pujinya.

“Tidak sehebat ibu…” ucapku sambil tersenyum. “Aku bukan mata-mata apalagi dukun santet. Aku hanya datang untuk nonton. Tidak ada niat apa-apa.”

Aku tahu bu Ning tidak mempercayai ucapanku. Dia menyerigai, memperlihatkan bibir dan gigi-giginya yang merah oleh darah. Di kedua sudut bibirnya aku melihat taring.,,

“Dewi Kali …..” gumanku penuh kekaguman.

Aku melihat bu Ning mendekat. Aku mundur sejauh mungkin. Hatiku gentar melihat taringnya dan mulutnya yang kini menganggah lebar. Kalau sampai tertelan, nasibku pasti akan sama dengan setan-setan dalam perutnya.

“Not a chance..” Tanpa buang waktu aku segera menarik sukmaku kembali ke raga ku. Menjauh dari tempat itu.

Bersambung

Baca Horror: